Kisah Perbedaan Manusia
RAS ADALAH KONSTRUKSI SOSIAL, BUKAN CIRI BIOLOGIS. ITU ADALAH KONSENSUS ILMUWAN—JADI MENGAPA MASIH BANYAK YANG RAGU?
Untuk menantang rasisme, kita harus menentukan kisah apa yang akan diceritakan.
KKISAH ASAL USUL MANUSIA ADA di mana-mana. Di Amerika Serikat ada mitos tentang Manifest Destiny, bahwa pemukim Eropa ditakdirkan untuk menyebar ke barat ke seluruh Amerika. Di Tiongkok, Homo erectus yang tersisa dikenal sebagai Manusia Peking digunakan untuk mengeklaim silsilah Tiongkok yang tak terputus kembali ke setidaknya 700.000 tahun, dengan petunjuk bahwa ini adalah nenek moyang langsung dan di antara yang pertama ada di dunia untuk memanfaatkan api.
Di India, kaum nasionalis religius menampilkan bahwa legenda yang luar biasa seperti yang digambarkan epos Hindu kuno bukanlah sekadar alegori, tetapi benar-benar terjadi. Seorang ilmuwan India yang terkemuka bahkan mengatakan bahwa kisah tentang perempuan yang melahirkan seratus anak adalah bukti kemampuan orang India kuno dalam teknologi reproduksi maju yang baru sekarang ditemukan kembali.
Kunjungilah museum dan monumen nasional di manapun di dunia ini dan Anda akan melihat pertunjukan kejayaan yang menggambarkan negara dalam cahaya terbaiknya, menyajikan narasi kebesaran terkadang dibungkus dengan gagasan keunggulan etnis atau ras. Untuk meresponnya di waktu ini, kita mesti memutuskan apa kisah yang mau kita ceritakan tentang diri kita sendiri dan siapa kita.
KEYAKINAN MENGAKAR pada perbedaan populasi menjadi alat politik yang paling sering digunakan. Nazi di Jerman berusaha untuk mendefinisikan orang Jerman, mengumpulkan bukti untuk argumentasi pengecualian rasial. Tidak hanya sejarah, tetapi biologi dan arkeologi juga sudah lama direkrut menjadi upaya untuk menegaskan perbedaan kelompok. Menjual ilusi populasi, bahwa secara alami mereka lebih baik dari yang lainnya.
Seiring waktu, kisah ini dapat menjadi kelindan identitas dengan cara yang halus dan berbahaya, melekatkan diri mereka sendiri ke dalam pemahaman tentang siapa kita. Mereka bahkan dapat memutarbalikkan cara pikir ilmuwan masa kini tentang perbedaan manusia.
Sejarah tentang ras adalah pengingat bahwa sains bukan hanya tentang teori dan data, tetapi juga tentang fakta mana yang direkrut ke dalam kisah yang kita ceritakan tentang variasi manusia. Naturalis dan ilmuwan Eropa pada Abad Pencerahan pernah memutuskan bahwa manusia mungkin terbagi ke dalam kelompok diskret dengan cara yang sama seperti beberapa spesies hewan lainnya, sebelum secara semaunya mengatur batasan untuk kategori ini. Mereka memberikan makna untuk warna kulit, menggunakan stereotip budaya yang luas tentang temperamen, kecerdasan, dan perilaku. Ide dari ilmiah semu ini dilanjutkan untuk memengaruhi pengobatan Barat selama berabad-abad. Mereka membentuk dasar bagi program eugenika Nazi untuk pembersihan ras dan Holocaust.
Setidaknya sejak 70 tahun silam, tidak dapat disangkal bahwa ras adalah konstruksi sosial dan para pemikir abad ke-18 itu tersesat dalam asumsi mereka. Meskipun demikian, banyak ilmuwan masih bekerja dengan keyakinan bahwa ras itu nyata secara biologis. Kisah ini melekat begitu kuat, bahkan ketika sudah jelas bahwa kita adalah satu spesies manusia yang secara genetik tidak dapat dibagi, tetaplah sulit bagi banyak peneliti untuk melihat lebih jauh.
Spekulasi media sosial pada awal 2020 bahwa orang kulit hitam tidak dapat menangkap virus, berubah hanya dalam beberapa bulan sebelum menjadi klaim bahwa mereka lebih rentan terhadap itu. Ilmuwan pun bertanya-tanya, apakah perbedaan genetik di antara ras-ras itu mungkin memainkan peran dalam angka kematian, meskipun hampir tidak ada data untuk mendukung pernyataan itu. Penentu kesehatan sosial, termasuk kemiskinan, geografi, dan pekerjaan, diabaikan secara menyedihkan.
Itu yang terjadi, sampai pembunuhan George Floyd pada musim semi 2020. Mendadak ada pergeseran yang gamblang pada narasi seputar ras dan kesehatan.
Fakta ilmiahnya tetap sama: Ras adalah konstruksi sosial seperti selama ini. Namun sekarang terdapat perbincangan global tentang apa arti sebenarnya dari ras dan bagaimana efek eksplisit dan implisit dari rasisme secara mendalam berdampak pada tubuh. Fisikawan, saya perhatikan, mulai terpanggil untuk meneliti lebih lanjut status sosial ekonomi, diet, lingkungan beracun, dan prasangka dalam pelayanan kesehatan. Saya diundang untuk berbicara tentang pekerjaan, bias dalam sains di sekolah kedokteran, dan institusi ilmiah di penjuru dunia.
Perkembangan ini membuktikan bahwa lingkungan politis memiliki pengaruh yang sangat besar pada pertanyaan yang diajukan ilmuwan dan jawaban yang mereka berikan. Ketika latar belakang untuk kisah manusia adalah satu dari perbedaan alami kelompok, peneliti pasti pertama-tama akan melihat faktor genetik dan bawaan. Namun, ketika latar belakangnya adalah konteks yang lebih historis, menunjukan ras menjadi produk faktor sosial, alihalih fokusnya bergeser menjadi bagaimana kelompok masyarakat hidup dan bagaimana mereka diperlakukan. Penataan ulang yang halus itu menolong kita untuk mendiagnosis di mana masalahnya, daripada di mana kita bisa membayangkannya.
KITA MASIH DALAM PERJUANGAN atas kisah perbedaan manusia. Kelompok kanan jauh dan nasionalis etnis menjelajahi jurnal ilmiah untuk mencari bukti yang dapat mendukung klaim mereka. Mereka berpendapat, sejarah manusia telah ditentukan berdasarkan ras yang lebih kuat secara genetik. Selain itu ketidaksetaraan sosial hari ini adalah hanya produk dari perbedaan bawaan di antara populasi.
Baru-baru ini, dua karya tulis yang diterbitkan pada awal 90-an oleh psikolog kontroversial Kanada ditarik dari jurnal Psychological Reports. Pasalnya, editor baru menyadari bahwa karya ini “tak etis, cacat secara ilmiah, dan berdasarkan ide dan agenda rasis.” Karya tulis dengan kekurangan serupa sedang ditinjau oleh jurnal-jurnal lainnya. Kita harus mempertanyakan bagaimana karya-karya ini dikelola untuk dipublikasikan pada kesempatan pertama. Mungkin itu turun ke kisah yang beberapa ilmuwan ingin percaya, bahkan di hadapan bukti tak terbantahkan.
Akademisi sering mengeklaim bahwa mereka dituntun oleh data, bukan oleh politik. Namun, menarik untuk mencatat seberapa banyak politik telah membentuk cara ilmuwan berpikir tentang perbedaan manusia. Ini bukan kebetulan, sebagai contoh, bahwa eugenika sebagai mata pelajaran serius,menyusut setelah Perang Dunia II. Hal ini berkat upaya dari antirasisme dalam sains dan antropologi. Bukanlah sebuah kebetulan bila beberapa kebohongan paling mencolok tentang pikiran dan tubuh perempuan mulai dibantah sejak 1970-an, berkat perkembangan studi tentang feminis.
Namun demikian, tentu saja, selalu saja ada orang yang ingin mempertahankan kisah usang. Di dunia tempat populisme dan nasionalis etnis mengalami kebangkitan, ini bukanlah hal mengejutkan. Cerita asal kita, cara tradisional kita melihat dunia, dapat dirasakan seperti selimut keamanan di masa-masa sulit. Untuk mereka yang merasa lebih banyak mengalami kehilangan terkait kesetaraan ras, kelas, dan gender, tampaknya tidak ada insentif untuk mengubah narasi.
Ilmuwan perlu berhati-hati tentang narasi menyeluruh yang mereka sajikan. Apakah hal ini salah satu yang menekankan pentingnya persatuan dari spesies kita? Contohnya, apakah kita secara genetik lebih mirip dibandingkan spesies primata lainnya, dan perbedaan individu itu jauh melebihi perbedaan kelompok apa pun? Ataukah ini adalah salah satu narasi untuk mencari batas genom kita, demi perbedaan kecil pada statistik antarpopulasi, yang secara sadar atau tidak telah memecah kita dengan cara lainnya?
Bagaimanapun juga, faktanya mungkin sama, tetapi yang terpenting, ini adalah kisah yang kita ceritakan ke diri kita sendiri.
ILMUWAN PERLU BERHATIHATI TENTANG NARASI YANG MEREKA SAJIKAN. INIKAH SALAH SATU CARA YANG MENEKANKAN PENTINGNYA PERSATUAN SPESIES KITA?