PERJUMPAAN KITA DENGAN KENDARAAN LISTRIK
INOVASI BISA MENYELAMATKAN BUMI, WALAUPUN TIDAK INSTAN.
INDONESIA MASIH DI BAWAH negara-negara lain soal teknologi kendaraan listrik. Jalanan kota belum ramai dengan kendaraan ramah lingkungan. Walau di luar negeri sudah banyak yang menggunakan kendaraan listrik, secara reliabilitas, pengguna kendaraan listrik di Indonesia memiliki pengalaman yang sama, kata pemilik Tesla Model 3 Standard Range, Nanang Hamdani Basnawi. Terutama dari sisi ekonomis.
Tak ada oli yang diperlukan. Masalahpun minim terjadi. Namun dealer resmi kendaraan listrik saat ini belum banyak. Urusan pemeliharaan, harus dicari sendiri. “Tapi zaman sekarang kan mencari yang seperti itu tidak susah, kita belanja sparepart, komponen, lewat ebay kek, ebay motors kek. Secara mekanikal semua bisa diatasi,” ujar pria yang menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bumiloka itu.
Biaya listrik untuk satu kilometer adalah Rp216,7. Jika perjalanan tak sering dilakukan, Nanang bisa dua minggu tak mengisi daya. Sekali mengisi daya, dengan perhitungan satu kwh Rp1.444,7, ia mengeluarkan Rp83.792,6. “Dibanding menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin, jauh lebih murah. Mungkin sepertiga sampai seperempatnya saja,” katanya.
JARAK ADALAH KEGELISAHAN pe ngendara. Ini dikenal dengan range anxiety: kecemasan mampu tidaknya kendaraan listrik mencapai suatu titik.
Selain mengisi daya di rumah, SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) sendiri belum ada di semua tempat. Berdasarkan data per Mei 2021, jumlah SPKLU di Indonesia masih kurang dari 150 unit, yang tersebar di 120 lokasi: Jakarta 70 unit, Sumatra 3 unit, Banten 15 unit, Jawa Barat 18 unit, Jawa Tengah 13 unit, Jawa Timur, Bali, dan NTB 23 unit, Sulawesi 1 unit, dan Maluku 1 unit.
Namun, kecemasan ini tak perlu dikhawatirkan. “Sampai hari ini saya sudah pakai lebih dari 25.000 kilometer selama dua tahun. Itu sudah cukup membuat kita belajar. Sudah nyaman, tidak khawatir lagi. Selama kita bisa merencanakan, pasti kita tenang. Kita juga sudah pantau mau mengisi daya di mana,” kata Nanang.
DI PASARAN SAAT INI, mobil listrik masih mahal. Sehingga muncul stereotip bahwa hanya kaum elite lah yang mampu membelinya. Nanang sendiri mengakui hal tersebut. Namun ia yakin, bahwa perlahan harga mobil listrik ini akan turun.
Di balik harganya, mobil listrik tidak mengeluarkan emisi karbon karena tidak ada pembakaran. “Menghilangkan sama sekali tidak, mengurangi, iya,” ucap Nanang. “Ada satu juga yang perlu disayangkan, energi yang dipakai untuk pengisian daya masih banyak yang berasal dari fosil. Tapi sama saja, dipakai atau tidak, energi fosil itu tetap digunakan untuk rumah.”
Menurutnya, baru 10-11% energi terbarukan digunakan oleh Indonesia. Paris Agreement menyebutkan 196 negara yang terlibat dihimbau untuk menggunakan energi terbarukan sebanyak 25% pada 2025. Ini yang membuat negara kita tertinggal, kata Nanang.
Kesadaran masyarakat akan efisiensi energi pun masih kurang. Seperti mematikan lampu yang tak terpakai. Menurut Nanang, ini muncul karena energi listrik masih dianggap murah. Perilaku itu senada saat berkendara. Ia mencontohkan pengisi bensin yang tidak memerhatikan berapa liter yang dibeli. “Yang dia pikirkan, berapa rupiah yang dia bayar. Kalau orang sudah berpikir berapa kwh dan berapa liter yang dikonsumsi sebulan, itu bisa menghemat konsumsi,” ucap Nanang. “Suka tidak suka, trennya akan lari ke sana juga sih,” lanjutnya. “Kalau kita bisa lebih awal mengenali, maka lebih tahu masalah di masa depan.”
INDONESIA MEMPERSIAPKAN dua macam kendaraan listrik. Kendaraan pabrikan, dan konversi kendaraan dari bensin ke listrik. Hal ini merujuk pada Grand Strategi Nasional oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bahwa pada 2030 akan ada dua juta kendaraan listrik roda empat dan tiga belas juta kendaraan listrik roda dua. Diantaranya, ada 5-6 juta kendaraan roda dua yang akan dikonversi ke listrik.
Kini, bengkel-bengkel sudah mulai melakukan hal itu. Salah satunya Elders Garage di Jakarta, yang meremajakan Vespa menjadi kendaraan listrik tanpa mengurangi esensi aslinya. Vespa listrik dirasa menjadi pasar yang masif karena peminatnya sangat banyak di Indonesia.
Sistemnya adalah plug n’ play atau memasukkan kit konversi ke dalam Vespa, termasuk dinamo, baterai, dan controller. Mesin orisinil Vespa bisa dicopot pasang. Inspirasi ini datang dari kakak-beradik Heret Frasthio dan Herwan yang sebelumnya bereksperimen dengan menggunakan sepeda listrik.
“Tiga bulan kita trial and error. Dari ukuran, jarak, segala macam. Akhirnya sistem plug n’ play bisa diaplikasikan ke semua tipe vespa. Dari PTS, Sprint, Super, VBB, Excel, dan Corsa. Jadi semua Vespa udah bisa kita konversikan,” kata Heret, pemilik Elders Garage.
Salah satu baterai yang digunakan ialah Panasonic Tesla Model 3 NCR 21700 72v 24ah yang mampu menempuh kecepatan 75 hingga 80 kilometer per jam dengan jarak maksimum 60 hingga 75 kilometer. “Baterai itu akan konsisten selama 5 tahun,” tutur Heret.
SAAT INI BISNIS KONVERSI belum masif. Heret berani menjamin, sekalipun ada seseorang yang memiliki modal besar dan membuat bisnis serupa, persaingannya akan sama saja dengan bengkelnya, walau ia mampu memproduksi lebih. Ini terjadi karena masyarakat belum mengarah ke kendaraan listrik.
Menurut Heret, masyarakat Indonesia masih cenderung mengikuti tren. “Kesadaran kita terhadap kesehatan, rendah. Kalau tiba-tiba masyarakat Indonesia berpikir karena green energy, enggak mungkin,” ujarnya.
Akan tetapi, masyarakat akan mengikuti tren, dengan dampak layaknya bola salju yang tak bisa dihentikan. “Lu ketinggalan kalo nggak pake listrik, bukan karena, wah, gua pengen langit biru,” ucap Heret.
Infrastruktur pengisian daya saat ini memang belum banyak. Kendaraan listrik dan stasiun pengisian daya, “seperti telur dan ayam,” ucap Heret. “Sebenarnya edukasinya adalah, lu ukur biasa pergi berapa jauh. Kebanyakan orang mikir stasiun pengisi dayanya dulu. Kenapa aku pilih Vespa, makanya aku arahnya lifestyle. Yang bisa ubah orang, lifestyle, bukan limitasi,” lanjutnya.
Fokus Elders Garage sebelumnya adalah menjual motor custom, yang bisa memakan waktu tiga sampai enam bulan untuk produksi. Heret mengakui, walaupun keuntungan penjualan dari motor custom banyak, namun bengkel seperti itu bergantung pada penghobi dan tren. Apalagi di masa pandemi, saat pehobi juga memotong anggarannya. Namun dengan menyediakan jasa konversi, mereka bisa mengerjakan sepuluh kendaraan konversi dalam dua bulan.
Heret paham betul bahwa peralatan yang ada di bengkel, mumpuni untuk mempelajari listrik. Investasinya pun murah. Ia menyemangati orang-orang yang berkecimpung di industri ini, “ketimbang kalian memaksakan diri untuk [mengerjakan pesanan] custom, coba lihat industri listrik yang baru.”