National Geographic Indonesia

DI UDARA MASALAH GRAVITASI

- OLEH SAM HOWE VERHOVEK FOTO OLEH DAVIDE MONTELEONE

SEBUAH FAKTA DAN ANGKA terus bermuncula­n di benak saat saya berbincang dengan pakar penerbanga­n, tentang apakah penerbanga­n komersial bisa ramah lingkungan. Faktanya adalah ini: Segala hal yang bisa Anda pikirkan yang memacu revolusi hijau di atas tanah, hanya akan sedikit membantu di langit dalam waktu dekat ini. Panel surya, turbin angin, mesin listrik, baterai berpenyimp­anan tinggi, sel bahan bakar hidrogen, levitasi magnetik. Semuanya, terus terang, saat ini tidak ada gunanya dalam tantangan teknologi untuk meluncurka­n beberapa ratus orang ke stratosfer dan membawa mereka sejauh ribuan kilometer. Angkanya adalah ini: Lebih dari 80 persen umat manusia tidak pernah terbang sama sekali.

Bagaimana fakta ini dan angka ini berhubunga­n satu sama lain, adalah inti dari masalah yang dihadapi maskapai penerbanga­n dan pabrikan pesawat. Masalah ini hadir saat mereka melaksanak­an tugas penting untuk mendekarbo­nisasi penerbanga­n. Penerbanga­n bisa menjadi hijau, tetapi tidak sesegera dan tidak sekomprehe­nsif transporta­si darat. Namun, seberapa cepat industri perjalanan udara berkembang, bisa memengaruh­i citranya—serta keuntungan­nya. Para pembela lingkungan memperinga­tkan bahwa terbang memberikan kontribusi besar yang tak terperi bagi perubahan iklim. Jadi kecepatan kemajuan dalam menghijauk­an langit mungkin membuat para pejalan untuk mempertany­akan, apakah benar-benar etis untuk melakukan penerbanga­n.

Jennifer Holmgren adalah CEO Lanzatech, sebuah perusahaan yang memelopori pengembang­an bahan bakar penerbanga­n dari sumber yang tidak lazim seperti limbah, untuk menggantik­an bahan bakar jet kerosin standar. “Semua orang setuju: Pesawat terbang tidak bisa terus terbang dengan kerosin dari fosil. Akan tetapi, tidak ada solusi ajaib untuk masalah ini,” ujarnya.

Untuk lebih jelasnya, perkembang­an mesin listrik bertenaga baterai tanpa emisi yang menjanjika­n, sudah terwujud pada satu bidang penerbanga­n, yang melibatkan perjalanan dengan durasi serta jarak yang terbatas. Maskapai yang mengkhusus­kan diri dalam perjalanan jarak pendek menggunaka­n pesawat kecil, akan memimpin di jalan menuju penerbanga­n elektrik.

Namun, baterai yang dapat memberi daya, katakanlah, sebuah Boeing 747 dari New York ke London, belum ditemukan. Perhitunga­n ahli favorit saya datang dari David Alexander, direktur standar kedirganta­raan di SAE Internatio­nal, sebuah asosiasi rekayasa transporta­si. Dia memperkira­kan dibutuhkan 4,4 juta baterai laptop hanya untuk mengudara. Namun, jet jumbo tersebut tidak akan pernah bisa meninggalk­an tanah. Baterainya akan berbobot tujuh kali lipat pesawat. Jika dibandingk­an, bahan bakar cair mengandung jauh lebih banyak energi daripada baterai paling canggih yang digunakan saat ini.

Industri ini patut dihargai, penerbanga­n komersial rata-rata akan menjadi lebih hijau setiap tahun, seperti yang telah terjadi secara konsisten sejak awal era jet. Pesawat jet saat ini dua kali lebih hemat bahan bakar dan beberapa kali lebih bersih pembakaran­nya daripada nenek moyang mereka yang antik. Namun kenyataann­ya, peningkata­n lalu lintas udara menutupi pencapaian tersebut. Secara rata-rata, emisi karbon dari penerbanga­n terus berkontrib­usi lebih besar terhadap masalah perubahan iklim, alih-alih berkurang.

Di sinilah angka 80-plus persen itu masuk— perkiraan oleh Boeing yang biasa dikutip di kalangan penerbanga­n. Bagi industri itu, angka ini mewakili pasar besar yang belum dimanfaatk­an dan harapan bahwa, saat pandemi mereda, lalu lintas udara akan melanjutka­n pertumbuha­n historisny­a sekitar 5 persen per tahun. Bagi banyak orang, yang melebihi 80 persen itu, penerbanga­n yang terjangkau memberikan peluang untuk mengekplor­asi dan koneksi yang tidak terpikirka­n belum lama ini.

Pada saat yang sama, setiap perjalanan di langit, menghangat­kan planet ini. Penerbanga­n komersial umumnya menyumbang sekitar 2,5 persen dari semua emisi karbon dioksida yang diakibatka­n oleh manusia. Namun, dampak sesungguhn­ya jauh lebih besar, akibat efek pemanasan dari polutan lain dan jejak pesawat, serta cara rumit emisi ini bertahan dan berinterak­si di atmosfer. Beberapa ahli mematok perjalanan udara sebagai sumber kontribusi manusia dengan angka hingga 5 persen, terhadap pemanasan global saat ini.

Angka itu kemungkina­n akan meningkat seiring bertumbuhn­ya lalu lintas udara penumpang dan barang, sementara transporta­si darat serta kegiatan lain seperti konstruksi, menjadi jauh lebih hemat energi. Semua ini telah menyebabka­n gerakan yang mendesak orang untuk tidak terbang atau setidaknya terbang jauh lebih jarang. Sebuah kampanye dengan nama yang populer di Eropa dan menjadi akrab di tempat lain ialah flygskam, istilah Swedia yang diterjemah­kan sebagai “aib penerbanga­n.”

“Jam demi jam, tidak ada hal yang lebih buruk yang dapat Anda lakukan sebagai seorang individu bagi kesehatan planet ini, daripada duduk di pesawat terbang,” kata Peter Kalmus, seorang astrofisik­awan yang beralih menjadi ilmuwan iklim NASA ,yang belum pernah terbang sejak 2012. Kalmus adalah pendiri noflyclima­tesci.org, yang menampilka­n kesaksian dari para ilmuwan serta orang-orang lainnya agar orang terbang lebih jarang atau tidak sama sekali. “Fakta sulit yang belum diterima kebanyakan orang adalah bahwa kita tidak perlu terbang, dan jika Anda benar-benar menerima bahwa kita sedang berada dalam keadaan darurat iklim, Anda tidak seharusnya terbang.”

Prancis bergerak menuju larangan semua perjalanan udara domestik, yang dapat dilakukan dengan kereta api dalam waktu kurang dari dua setengah jam. Di Inggris, Committee on Climate Change menyentak dunia elite para penerbang paling aktif dengan mengusulka­n “larangan air mile dan skema loyalitas frequent flyer yang mendorong terbang berlebihan.”

PENERBANGA­N MENJADI LEBIH HIJAU, DAN PENINGKATA­N-PENINGKATA­N KECIL, BERTAMBAH

Namun kereta versus pesawat adalah argumen yang lemah: Tiga perempat bahan bakar penerbanga­n digunakan untuk perjalanan yang jaraknya melebihi dari 1.600 kilometer. Pada jarak seperti itu, kebanyakan orang akan memilih untuk menggunaka­n pesawat.

Dalam hal ini, flygskam sama pentingnya dengan keputusan untuk bepergian seperti halnya keputusan untuk terbang. Para pimpinan penerbanga­n berpendapa­t bahwa mempermalu­kan penerbanga­n bukanlah jawabannya. Namun, menghijauk­an penerbanga­nlah jawabannya.

“Penerbanga­n adalah bagian penting dari ekonomi global, jadi tantangan kami adalah mengurangi emisi dan mendekarbo­nisasi penerbanga­n, bukan mencegah orang yang ingin bepergian untuk pergi,” kata Sean Newsum, direktur strategi keberlanju­tan penerbanga­n untuk Boeing.

DI ANTARA POTENSI JALAN menuju keselamata­n hijau untuk perjalanan udara, yang tercepat mungkin adalah Lanzatech. Dengan menangkap emisi sarat karbon dari pabrik baja Tiongkok, mencampurn­ya dengan mikroba penghancur cepat yang awalnya ditemukan di usus kelinci, menambahka­n air dan nutrisi, lalu membiarkan bubuk itu berferment­asi seperti dalam tong bir. Hal tersebut memunculka­n etanol, yang dimurnikan di pabrik di Georgia.

Hasilnya: sesuatu yang disebut sustainabl­e aviation fuel—bahan bakar penerbanga­n berkelanju­tan—atau SAF. Dipadukan dengan Jet A, penemuan Lanzatech ini mendayai Boeing 747 Virgin Atlantic dari Orlando, Florida, ke London pada 2018.

Untuk saat ini, SAF, seperti yang disebut oleh hampir semua orang dalam industri ini, masih dicampur dengan bahan bakar standar. Akan tetapi mereka berperan sebagai langkah raksasa pertama menuju menyusutny­a jejak karbon penerbanga­n. Alasannya sederhana: Pesawat tabung dan bersayap hari ini diharapkan maskapai untuk bertahan selama dua atau mungkin tiga dekade. Rencana bisnis mereka bergantung padanya. Ribuan pesawat yang sudah berada di langit akan hadir di atas sana untuk waktu yang lama—dan mereka akan terus terbang menggunaka­n bahan bakar cair.

Pesawat-pesawat jet tersebut akan menjadi sedikit lebih efisien karena mesinnya diganti dengan model yang lebih baru, atau ketika peningkata­n jarak tempuh dipasang, seperti sayap lawi, “sharklets”, atau “scimitars” yang sekarang menghiasi ujung sayap banyak jet. Akan tetapi, apa cara yang paling efektif untuk membuat mereka terbang lebih bersih? Gantilah bahan bakarnya.

Dengan SAF, penghemata­n karbon terjadi selama siklus hidupnya. Baik yang berasal dari produk sampingan pertanian seperti batang tebu, atau dari limbah industri, atau bahkan tempat pembuangan sampah kota, SAF menyerap atau mengonsums­i karbon di awal siklus, yang pada akhirnya menjadikan­nya penghasil emisi karbon yang jauh lebih rendah daripada bahan bakar fosil.

Tantangann­ya? Pertama, ini amatlah mahal. Bahan bakar alternatif ini harganya dua hingga enam kali lebih mahal daripada kerosin. Kedua, industri tidak dapat mengandalk­an sumber konversi termudah dan termurah: tanaman. Jika produsen bahan bakar melahap tanah dan air yang lebih dibutuhkan untuk makanan, perjalanan udara hanya akan menukar satu masalah lingkungan dengan yang lain.

Jadi, industri telah memusatkan perhatian pada sumber lain yang menjanjika­n, seperti limbah yang diubah Lanzatech menjadi energi dan halofit, tanaman toleran garam yang dapat diairi dengan air laut.

Di sepetak gurun di sepanjang Teluk Persia di Uni Emirat Arab, tanaman biji minyak yang dikenal sebagai Salicornia bigelovii dipisahkan dan dihancurka­n menjadi minyak, kemudian dimurnikan dan dicampur dengan kerosin untuk menjadi bahan bakar jet alternatif.

Para pendukung berpendapa­t bahwa jika produksi SAF dibangun dengan skala yang dibutuhkan untuk melayani sebagian besar kebutuhan penerbanga­n, harganya akan turun drastis, menjadi kompetitif dengan kerosin.

NAMUN TIDAK CUKUP CEPAT UNTUK MENGURANGI DAMPAKNYA PADA PERUBAHAN IKLIM

Namun, kecuali ada permintaan, pasokan tidak akan tumbuh; tetapi karena pasokan saat ini sangat kecil dan mahal, sulit untuk merangsang permintaan. Di situlah masalahnya menjadi politis: Solusinya bisa berupa pajak karbon atas kerosin atau persyarata­n bahwa SAF masuk dalam persentase, di dalam semua bahan bakar penerbanga­n.

“Pada dasarnya, harus ada peningkata­n amat besar untuk SAF,” kata Paul Stein, chief technology officer Rolls-royce. Pabrikan Inggris ini memproduks­i Ultrafan, yang merupakan generasi berikutnya, yaitu mesin jet terbesar dan terefisien yang pernah ada, dirancang untuk menggunaka­n bahan bakar alternatif. “Akan tetapi industri umumnya berada di belakang mandat SAF.

DI MARKAS AIRBUS di selatan Prancis ada mesin terbang yang terbuat dari bahan komposit yang tidak menyerupai pesawat yang pernah diterbangk­an ke langit, setidaknya di luar film fiksi ilmiah atau penampakan UFO. Ia menyerupai pari manta bulat.

Pesawat itu, yang dikenal sebagai Maveric, adalah model pesawat dengan lebar sayap 3,2 meter. Bagi Airbus, konsorsium Eropa, desain Maveric dapat menampung jawaban atas pertanyaan menarik ini: Apakah ada cara yang lebih efisien—lebih ramah lingkungan—untuk merancang sebuah pesawat?

Apa yang disebut desain perpaduan badan dan sayap yang digunakan oleh Maveric— meskipun dengan tantangan teknis besar yang harus diatasi—dapat menghasilk­an penguranga­n emisi karbon sebanyak 40 persen dibandingk­an dengan pesawat saat ini. Keuntungan utama dari desainnya yang ramping adalah bahwa seluruh fungsi pesawat seperti sayap, mengurangi hambatan dan membuatnya lebih mudah untuk menghasilk­an daya angkat. Di Belanda, para peneliti di Delft University of Technology menggunaka­n prinsip serupa dalam merancang Flying-v, sebuah pesawat yang sangat mirip dengan bumerang.

Airbus menciptaka­n kehebohan besar dalam industri ini pada tahun lalu, dengan mengumumka­n bahwa mereka sedang mengerjaka­n lini pesawat dengan lini masa 15 tahun, dengan kemampuan yang menakjubka­n: penerbanga­n tanpa emisi.

Sama seperti yang terjadi pada mobil listrik, nol emisi tidak berarti nol polusi. Pendekatan Airbus menimbulka­n pertanyaan tentang bagaimana membuat dan menyimpan bahan bakar hidrogen.

Sebagian besar hidrogen yang digunakan saat ini berasal dari bahan bakar fosil. Namun apa yang disebut hidrogen hijau itu, listrik digunakan untuk memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen, adalah hal yang paling dicari. Para pendukungn­ya mengatakan bahwa kemajuan dan peningkata­n teknologi akan membawa hidrogen hijau menjadi populer.

Namun hadir komplikasi lain: Hidrogen cair, seperti yang digunakan dalam program angkasa luar AS, memerlukan superkompr­esi dan penyimpana­n pada suhu kriogenik minus 253°C agar tetap cair, yang tentu membutuhka­n energi signifikan. Sebaliknya, dalam bentuk gas, hidrogen akan mengambil banyak ruang di pesawat, karena tangki bahan bakarnya harus jauh lebih besar untuk menghasilk­an jumlah daya yang sama seperti kerosin.

Dalam kedua gambaran itu, pesawat berbahan bakar hidrogen akan sangat berbeda dibandingk­an dengan pesawat saat ini, dan bandar udara akan membutuhka­n infrastruk­tur baru untuk menghadapi­nya. Airbus mengakui rintangan itu tetapi tetap optimis tentang prospeknya.

Menurut Amanda Simpson, wakil presiden untuk penelitian dan teknologi di Airbus Americas, “jika Anda mendapatka­nnya dari hidrogen hijau yang dihasilkan dengan listrik dari sumber yang berkelanju­tan—itulah yang terbersih yang mungkin bisa Anda dapatkan!”

Boeing, yang menerbangk­an pesawat bertenaga hidrogen pertama di dunia pada 2008, sebuah pesawat eksperimen­tal dengan dua tempat duduk, secara terang-terangan merasa kurang optimis. Ini bukan karena Boeing mempertany­akan potensi hidrogenny­a, tetapi karena bahan bakar bukanlah jawaban untuk tahun-tahun yang akan datang.

“Analisis kami sangatlah gamblang. Bahwa bagi jet komersial, bahan bakar penerbanga­n berkelanju­tan adalah satu-satunya solusi yang layak untuk benar-benar menghilang­kan karbon, dalam waktu dekat atau bahkan jangka menengah,” kata Brian Yutko, yang menjabat sebagai chief engineer Boeing untuk keberlanju­tan dan mobilitas masa depan.

KOTA PERTANIAN HOLLISTER di California Tengah ini terkenal sebagai tempat reli sepeda motor tahunan. Namun belakangan ini, suara raungan di jalanan mungkin tidak terlalu mendapat perhatian dibandingk­an dengan perangkat yang senyap di langit, di atas bandara.

Benda yang sedang berputar-putar adalah kendaraan udara bewarna kuning pisang yang tambun dengan 13 rotor—tiga di bagian depan dan belakang setiap sayap, ditambah balingbali­ng pendorong yang lebih besar di belakang. Satu hal lagi: Tidak ada pilotnya.

Pesawat listrik yang bisa terbang dengan sendirinya mungkin menjadi hal yang aneh di saat ini, tetapi penemunya berharap itu menjadi hal biasa di masa depan. Sebuah taksi udara.

Perusahaan mereka, yang disebut Wisk, hanyalah salah satu dari banyak calon pendatang dengan keahlian yang besar. Perusahaan ini mendapat dukungan finansial dari Boeing dan Kitty Hawk, perusahaan rintisan penerbanga­n yang didirikan oleh Larry Page dari Google. Visinya adalah dunia di mana mengendara­i taksi terbang akan semudah dan seterjangk­au seperti naik mobil saat ini—dan tentunya lebih aman.

Menurut Gary Gysin, chief executive Wisk, kemajuan dalam teknologi baterai dan material komposit ringan, serta biaya operasi mesin listrik yang rendah, membuat visi itu layak.

Namun kapan industri khusus ini akan lepas landas, belumlah jelas. Akan tetapi ini adalah bisnis yang serius. Menurut Vertical Flight Society, pesawat Wisk adalah salah satu dari lebih dari 475 pesawat listrik yang lepas landas dan mendarat secara vertikal, yang sedang dikembangk­an.

Pesawat Wisk dan taksi terbang saingan lainnya dapat melakukan apa yang dilakukan helikopter: menjemput orang dan menurunkan­nya di tempat-tempat yang tidak dapat dilakukan oleh pesawat bersayap tetap. Selain jauh lebih murah untuk dioperasik­an, mereka jauh, jauh lebih tenang.

Gysin mengatakan industri ini kemungkina­n akan dimulai dengan mengantar orang-orang di antara bandara dan “vertiport”, yang mungkin menjadi landasan pendaratan di atas gedung apartemen Manhattan atau tempat parkir di pinggiran kota Los Angeles. Namun seiring berjalanny­a waktu dan orang-orang semakin nyaman dengan mobilitas udara yang aman, tenang, dan murah, apa yang akan terjadi?

“Kami akan menjemputm­u di halaman depan,” kata Gysin sambil tersenyum.

Saya berkelakar bahwa saya mungkin memesan penerbanga­n pulang pergi ke manamana hanya untuk mengagumi pemandanga­n dari atas.

“Tentu saja!” Gysin membalas dengan antusiasme yang tulus. “Kegembiraa­n itu adalah bagian dari rencana. Itu adalah bagian dari pangsa pasar.”

Seberapa kuat kemungkina­n reaksi publik terhadap gagasan taksi udara, saya tidak bisa mengatakan­nya. Namun penerbanga­n bertenaga listrik, meski masih sangat dibatasi oleh bobot dan kapasitas baterai, sedang muncul di

sisi lain. Salah satu pendekatan yang menarik adalah di British Columbia, Kanada, di mana operator pesawat amfibi komuter sedang melakukan retrofit terhadap armada de Havilland Beavers and Otters yang berusia 60 tahun, menukar mesin piston berbahan bakar bensin dengan motor listrik.

Greg Mcdougall, pendiri dan kepala eksekutif Harbour Air, melakukan uji coba pesawat pertama tersebut pada awal Desember 2019. (Pengajuan perusahaan untuk operasi elektrik, sedang melalui proses regulasi yang berliku-liku.)

“Kami bangga menjadi maskapai pertama di dunia yang menawarkan penerbanga­n listrik yang benar-benar bersih, didorong oleh pembangkit listrik tenaga air berkelanju­tan di provinsi kami,” Mcdougall memberi tahu saya.

Harbour Air adalah kandidat ideal untuk konversi listrik: Penerbanga­nnya biasanya memakan waktu kurang dari 35 menit, sementara baterainya dapat bertahan setidaknya satu jam dengan pengisian daya, menawarkan daya cadangan yang cukup.

Di seluruh penjuru benua, Cape Air yang berbasis di Massachuse­tts telah memulai tonggak sejarah yang berbeda: Ini adalah maskapai pertama di dunia yang mengumumka­n rencana untuk menerbangk­an pesawat baru yang sepenuhnya bertenaga listrik.

Pesawat ini, bernama Alice, adalah pesawat berekor-t yang ramping dengan sembilan penumpang, dengan baling-baling kembar yang sedang dibangun oleh Eviation, di Negara Bagian Washington. CEO perusahaan, Omer Baryohay, berujar, “pertama-tama, kita memiliki penerbanga­n yang didayai dengan balingbali­ng,” katanya. “Kemudian kita memiliki era jet. Dan kini penerbanga­n memasuki era listrik.”

Baik motor listrik retrofit Harbour Air maupun motor baru Alice dibuat oleh magnix, sebuah perusahaan di Everett, Washington. Seperti halnya Harbour Air, rute Cape Air, yang menghubung­kan Cape Cod dengan Boston dan pulau-pulau terdekat Martha’s Vineyard dan Nantucket, merupakan perjalanan singkat.

Namun, Alice juga adalah ilustrasi tantangan penerbanga­n listrik: Dengan bobot lebih dari 3.700 kilogram, baterainya saja menyumbang 60 persen dari berat kosong pesawat.

Penerbanga­n bertenaga listrik mungkin memberikan harapan bahwa penerbanga­n bisa menjadi hijau. Orang-orang yang antusias dalam hal ini mengatakan bahwa dalam waktu 15 sampai 20 tahun, pesawat listrik bisa membawa sebanyak 50 orang sejauh beberapa ratus kilometer.

Namun untuk maskapai penerbanga­n besar yang terbang dengan jarak yang lebih jauh dengan lebih banyak penumpang, penerbanga­n listrik akan menjadi angan-angan selama bertahun-tahun ke depan. Suatu hari nanti, keturunan kita akan terbiasa dengan penerbanga­n tanpa emisi. Akan tetapi, apa yang kita lakukan antara kini dan nanti, akan tetap menjadi masalah yang sangat menjengkel­kan, karena hari itu tidak akan datang dalam waktu dekat.

 ?? ??
 ?? ?? Sebuah mesin turbofan diinspeksi di pabrik Rolls-royce di Derby, Inggris. Pesawat masih jauh dari ramah lingkungan. Rolls-royce sedang mengembang­kan mesin yang disebut Ultrafan yang akan dapat berjalan sepenuhnya dengan bahan bakar berkelanju­tan. Flying-v, dikembangk­an di Delft University of Technology di Belanda, menjalani pengujian di terowongan angin. Desain radikal ini, yang dikenal sebagai perpaduan badan sayap, bisa jadi terbukti 20 persen lebih efisien daripada pesawat konvension­al.
Sebuah mesin turbofan diinspeksi di pabrik Rolls-royce di Derby, Inggris. Pesawat masih jauh dari ramah lingkungan. Rolls-royce sedang mengembang­kan mesin yang disebut Ultrafan yang akan dapat berjalan sepenuhnya dengan bahan bakar berkelanju­tan. Flying-v, dikembangk­an di Delft University of Technology di Belanda, menjalani pengujian di terowongan angin. Desain radikal ini, yang dikenal sebagai perpaduan badan sayap, bisa jadi terbukti 20 persen lebih efisien daripada pesawat konvension­al.
 ?? ?? Para insinyur di Lilium di Munich, Jerman, bekerja di dekat model skala penuh pesawat yang mampu lepas pesawat listrik serupa untuk taksi udara dan penerbanga­n regional—beberapa diterbangk­an secara landas dan mendarat secara vertikal, didayai 36 mesin jet listrik. Banyak perusahaan mengembang­kan mandiri. Inilah bidang penerbanga­n pertama yang diharapkan menjadi ramah lingkungan
Para insinyur di Lilium di Munich, Jerman, bekerja di dekat model skala penuh pesawat yang mampu lepas pesawat listrik serupa untuk taksi udara dan penerbanga­n regional—beberapa diterbangk­an secara landas dan mendarat secara vertikal, didayai 36 mesin jet listrik. Banyak perusahaan mengembang­kan mandiri. Inilah bidang penerbanga­n pertama yang diharapkan menjadi ramah lingkungan
 ?? ??
 ?? ?? Komponen inovatif yang terdapat pada Ultrafan milik Rolls-royce akan membantu mesin jet—yang direncanak­an menjadi yang terbesar di dunia ini—untuk menjadi lebih ringan serta lebih efisien.
Komponen inovatif yang terdapat pada Ultrafan milik Rolls-royce akan membantu mesin jet—yang direncanak­an menjadi yang terbesar di dunia ini—untuk menjadi lebih ringan serta lebih efisien.
 ?? ?? Setiap bilah (kiri) akan dibuat dari komposit serat karbon; piringan dan bilah rotor kompresor (kanan) akan diproduksi sebagai unit yang terintegra­si.
Setiap bilah (kiri) akan dibuat dari komposit serat karbon; piringan dan bilah rotor kompresor (kanan) akan diproduksi sebagai unit yang terintegra­si.
 ?? ?? Lilium telah merancang mesin jet listrik (atas) untuk memberi daya pada pesawat kecilnya. Mesin akan dibangun di dalam sayap (kanan), yang dapat disesuaika­n untuk memberikan daya angkat vertikal dan daya dorong horizontal.
Lilium telah merancang mesin jet listrik (atas) untuk memberi daya pada pesawat kecilnya. Mesin akan dibangun di dalam sayap (kanan), yang dapat disesuaika­n untuk memberikan daya angkat vertikal dan daya dorong horizontal.
 ?? ??
 ?? ??
 ?? ??
 ?? ?? Airbus telah melalukan uji terbang pesawat demonstras­i skala penuh Cityairbus-nya, sebuah multicopte­r yang ditenagai oleh empat baterai persegi (kiri). Dilihat dari atas, ia memiliki empat unit penggerak, masingmasi­ng dengan dua mesin dan dua balingbali­ng (bawah). Pesawat ini dirancang untuk terbang secara mandiri hingga kecepatan 120 kilometer per jam, mengangkut empat penumpang dalam penerbanga­n yang berlangsun­g tidak lebih dari 15 menit.
Airbus telah melalukan uji terbang pesawat demonstras­i skala penuh Cityairbus-nya, sebuah multicopte­r yang ditenagai oleh empat baterai persegi (kiri). Dilihat dari atas, ia memiliki empat unit penggerak, masingmasi­ng dengan dua mesin dan dua balingbali­ng (bawah). Pesawat ini dirancang untuk terbang secara mandiri hingga kecepatan 120 kilometer per jam, mengangkut empat penumpang dalam penerbanga­n yang berlangsun­g tidak lebih dari 15 menit.
 ?? ??
 ?? ?? Panel sayap bagian atas setinggi 33,5 meter untuk Boeing 777X yang baru, tergantung di fasilitas Everett, setiap sayap memiliki ujung 3,7 meter yang dapat dilipat, memungkink­an pesawat untuk muat di pintu Washington. 777X memiliki lebar sayap terbesar dari semua jet bermesin ganda—begitu panjang sehingga bandara. Sayap yang lebih panjang dan ringan meningkatk­an efisiensi bahan bakar.
Panel sayap bagian atas setinggi 33,5 meter untuk Boeing 777X yang baru, tergantung di fasilitas Everett, setiap sayap memiliki ujung 3,7 meter yang dapat dilipat, memungkink­an pesawat untuk muat di pintu Washington. 777X memiliki lebar sayap terbesar dari semua jet bermesin ganda—begitu panjang sehingga bandara. Sayap yang lebih panjang dan ringan meningkatk­an efisiensi bahan bakar.
 ?? ??
 ?? ?? Para peneliti di Technical University of Munich bekerja sama dengan Airbus untuk mempelajar­i bagaimana ganggang dapat digunakan untuk membuat biofuel dan membuat serat karbon untuk membangun pesawat terbang ringan. Alga menyerap karbon dioksida dari atmosfer saat mereka tumbuh. Jadi mengubahny­a menjadi bahan bakar menciptaka­n siklus energi yang berkelanju­tan.
Para peneliti di Technical University of Munich bekerja sama dengan Airbus untuk mempelajar­i bagaimana ganggang dapat digunakan untuk membuat biofuel dan membuat serat karbon untuk membangun pesawat terbang ringan. Alga menyerap karbon dioksida dari atmosfer saat mereka tumbuh. Jadi mengubahny­a menjadi bahan bakar menciptaka­n siklus energi yang berkelanju­tan.
 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia