DI UDARA MASALAH GRAVITASI
SEBUAH FAKTA DAN ANGKA terus bermunculan di benak saat saya berbincang dengan pakar penerbangan, tentang apakah penerbangan komersial bisa ramah lingkungan. Faktanya adalah ini: Segala hal yang bisa Anda pikirkan yang memacu revolusi hijau di atas tanah, hanya akan sedikit membantu di langit dalam waktu dekat ini. Panel surya, turbin angin, mesin listrik, baterai berpenyimpanan tinggi, sel bahan bakar hidrogen, levitasi magnetik. Semuanya, terus terang, saat ini tidak ada gunanya dalam tantangan teknologi untuk meluncurkan beberapa ratus orang ke stratosfer dan membawa mereka sejauh ribuan kilometer. Angkanya adalah ini: Lebih dari 80 persen umat manusia tidak pernah terbang sama sekali.
Bagaimana fakta ini dan angka ini berhubungan satu sama lain, adalah inti dari masalah yang dihadapi maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat. Masalah ini hadir saat mereka melaksanakan tugas penting untuk mendekarbonisasi penerbangan. Penerbangan bisa menjadi hijau, tetapi tidak sesegera dan tidak sekomprehensif transportasi darat. Namun, seberapa cepat industri perjalanan udara berkembang, bisa memengaruhi citranya—serta keuntungannya. Para pembela lingkungan memperingatkan bahwa terbang memberikan kontribusi besar yang tak terperi bagi perubahan iklim. Jadi kecepatan kemajuan dalam menghijaukan langit mungkin membuat para pejalan untuk mempertanyakan, apakah benar-benar etis untuk melakukan penerbangan.
Jennifer Holmgren adalah CEO Lanzatech, sebuah perusahaan yang memelopori pengembangan bahan bakar penerbangan dari sumber yang tidak lazim seperti limbah, untuk menggantikan bahan bakar jet kerosin standar. “Semua orang setuju: Pesawat terbang tidak bisa terus terbang dengan kerosin dari fosil. Akan tetapi, tidak ada solusi ajaib untuk masalah ini,” ujarnya.
Untuk lebih jelasnya, perkembangan mesin listrik bertenaga baterai tanpa emisi yang menjanjikan, sudah terwujud pada satu bidang penerbangan, yang melibatkan perjalanan dengan durasi serta jarak yang terbatas. Maskapai yang mengkhususkan diri dalam perjalanan jarak pendek menggunakan pesawat kecil, akan memimpin di jalan menuju penerbangan elektrik.
Namun, baterai yang dapat memberi daya, katakanlah, sebuah Boeing 747 dari New York ke London, belum ditemukan. Perhitungan ahli favorit saya datang dari David Alexander, direktur standar kedirgantaraan di SAE International, sebuah asosiasi rekayasa transportasi. Dia memperkirakan dibutuhkan 4,4 juta baterai laptop hanya untuk mengudara. Namun, jet jumbo tersebut tidak akan pernah bisa meninggalkan tanah. Baterainya akan berbobot tujuh kali lipat pesawat. Jika dibandingkan, bahan bakar cair mengandung jauh lebih banyak energi daripada baterai paling canggih yang digunakan saat ini.
Industri ini patut dihargai, penerbangan komersial rata-rata akan menjadi lebih hijau setiap tahun, seperti yang telah terjadi secara konsisten sejak awal era jet. Pesawat jet saat ini dua kali lebih hemat bahan bakar dan beberapa kali lebih bersih pembakarannya daripada nenek moyang mereka yang antik. Namun kenyataannya, peningkatan lalu lintas udara menutupi pencapaian tersebut. Secara rata-rata, emisi karbon dari penerbangan terus berkontribusi lebih besar terhadap masalah perubahan iklim, alih-alih berkurang.
Di sinilah angka 80-plus persen itu masuk— perkiraan oleh Boeing yang biasa dikutip di kalangan penerbangan. Bagi industri itu, angka ini mewakili pasar besar yang belum dimanfaatkan dan harapan bahwa, saat pandemi mereda, lalu lintas udara akan melanjutkan pertumbuhan historisnya sekitar 5 persen per tahun. Bagi banyak orang, yang melebihi 80 persen itu, penerbangan yang terjangkau memberikan peluang untuk mengekplorasi dan koneksi yang tidak terpikirkan belum lama ini.
Pada saat yang sama, setiap perjalanan di langit, menghangatkan planet ini. Penerbangan komersial umumnya menyumbang sekitar 2,5 persen dari semua emisi karbon dioksida yang diakibatkan oleh manusia. Namun, dampak sesungguhnya jauh lebih besar, akibat efek pemanasan dari polutan lain dan jejak pesawat, serta cara rumit emisi ini bertahan dan berinteraksi di atmosfer. Beberapa ahli mematok perjalanan udara sebagai sumber kontribusi manusia dengan angka hingga 5 persen, terhadap pemanasan global saat ini.
Angka itu kemungkinan akan meningkat seiring bertumbuhnya lalu lintas udara penumpang dan barang, sementara transportasi darat serta kegiatan lain seperti konstruksi, menjadi jauh lebih hemat energi. Semua ini telah menyebabkan gerakan yang mendesak orang untuk tidak terbang atau setidaknya terbang jauh lebih jarang. Sebuah kampanye dengan nama yang populer di Eropa dan menjadi akrab di tempat lain ialah flygskam, istilah Swedia yang diterjemahkan sebagai “aib penerbangan.”
“Jam demi jam, tidak ada hal yang lebih buruk yang dapat Anda lakukan sebagai seorang individu bagi kesehatan planet ini, daripada duduk di pesawat terbang,” kata Peter Kalmus, seorang astrofisikawan yang beralih menjadi ilmuwan iklim NASA ,yang belum pernah terbang sejak 2012. Kalmus adalah pendiri noflyclimatesci.org, yang menampilkan kesaksian dari para ilmuwan serta orang-orang lainnya agar orang terbang lebih jarang atau tidak sama sekali. “Fakta sulit yang belum diterima kebanyakan orang adalah bahwa kita tidak perlu terbang, dan jika Anda benar-benar menerima bahwa kita sedang berada dalam keadaan darurat iklim, Anda tidak seharusnya terbang.”
Prancis bergerak menuju larangan semua perjalanan udara domestik, yang dapat dilakukan dengan kereta api dalam waktu kurang dari dua setengah jam. Di Inggris, Committee on Climate Change menyentak dunia elite para penerbang paling aktif dengan mengusulkan “larangan air mile dan skema loyalitas frequent flyer yang mendorong terbang berlebihan.”
PENERBANGAN MENJADI LEBIH HIJAU, DAN PENINGKATAN-PENINGKATAN KECIL, BERTAMBAH
Namun kereta versus pesawat adalah argumen yang lemah: Tiga perempat bahan bakar penerbangan digunakan untuk perjalanan yang jaraknya melebihi dari 1.600 kilometer. Pada jarak seperti itu, kebanyakan orang akan memilih untuk menggunakan pesawat.
Dalam hal ini, flygskam sama pentingnya dengan keputusan untuk bepergian seperti halnya keputusan untuk terbang. Para pimpinan penerbangan berpendapat bahwa mempermalukan penerbangan bukanlah jawabannya. Namun, menghijaukan penerbanganlah jawabannya.
“Penerbangan adalah bagian penting dari ekonomi global, jadi tantangan kami adalah mengurangi emisi dan mendekarbonisasi penerbangan, bukan mencegah orang yang ingin bepergian untuk pergi,” kata Sean Newsum, direktur strategi keberlanjutan penerbangan untuk Boeing.
DI ANTARA POTENSI JALAN menuju keselamatan hijau untuk perjalanan udara, yang tercepat mungkin adalah Lanzatech. Dengan menangkap emisi sarat karbon dari pabrik baja Tiongkok, mencampurnya dengan mikroba penghancur cepat yang awalnya ditemukan di usus kelinci, menambahkan air dan nutrisi, lalu membiarkan bubuk itu berfermentasi seperti dalam tong bir. Hal tersebut memunculkan etanol, yang dimurnikan di pabrik di Georgia.
Hasilnya: sesuatu yang disebut sustainable aviation fuel—bahan bakar penerbangan berkelanjutan—atau SAF. Dipadukan dengan Jet A, penemuan Lanzatech ini mendayai Boeing 747 Virgin Atlantic dari Orlando, Florida, ke London pada 2018.
Untuk saat ini, SAF, seperti yang disebut oleh hampir semua orang dalam industri ini, masih dicampur dengan bahan bakar standar. Akan tetapi mereka berperan sebagai langkah raksasa pertama menuju menyusutnya jejak karbon penerbangan. Alasannya sederhana: Pesawat tabung dan bersayap hari ini diharapkan maskapai untuk bertahan selama dua atau mungkin tiga dekade. Rencana bisnis mereka bergantung padanya. Ribuan pesawat yang sudah berada di langit akan hadir di atas sana untuk waktu yang lama—dan mereka akan terus terbang menggunakan bahan bakar cair.
Pesawat-pesawat jet tersebut akan menjadi sedikit lebih efisien karena mesinnya diganti dengan model yang lebih baru, atau ketika peningkatan jarak tempuh dipasang, seperti sayap lawi, “sharklets”, atau “scimitars” yang sekarang menghiasi ujung sayap banyak jet. Akan tetapi, apa cara yang paling efektif untuk membuat mereka terbang lebih bersih? Gantilah bahan bakarnya.
Dengan SAF, penghematan karbon terjadi selama siklus hidupnya. Baik yang berasal dari produk sampingan pertanian seperti batang tebu, atau dari limbah industri, atau bahkan tempat pembuangan sampah kota, SAF menyerap atau mengonsumsi karbon di awal siklus, yang pada akhirnya menjadikannya penghasil emisi karbon yang jauh lebih rendah daripada bahan bakar fosil.
Tantangannya? Pertama, ini amatlah mahal. Bahan bakar alternatif ini harganya dua hingga enam kali lebih mahal daripada kerosin. Kedua, industri tidak dapat mengandalkan sumber konversi termudah dan termurah: tanaman. Jika produsen bahan bakar melahap tanah dan air yang lebih dibutuhkan untuk makanan, perjalanan udara hanya akan menukar satu masalah lingkungan dengan yang lain.
Jadi, industri telah memusatkan perhatian pada sumber lain yang menjanjikan, seperti limbah yang diubah Lanzatech menjadi energi dan halofit, tanaman toleran garam yang dapat diairi dengan air laut.
Di sepetak gurun di sepanjang Teluk Persia di Uni Emirat Arab, tanaman biji minyak yang dikenal sebagai Salicornia bigelovii dipisahkan dan dihancurkan menjadi minyak, kemudian dimurnikan dan dicampur dengan kerosin untuk menjadi bahan bakar jet alternatif.
Para pendukung berpendapat bahwa jika produksi SAF dibangun dengan skala yang dibutuhkan untuk melayani sebagian besar kebutuhan penerbangan, harganya akan turun drastis, menjadi kompetitif dengan kerosin.
NAMUN TIDAK CUKUP CEPAT UNTUK MENGURANGI DAMPAKNYA PADA PERUBAHAN IKLIM
Namun, kecuali ada permintaan, pasokan tidak akan tumbuh; tetapi karena pasokan saat ini sangat kecil dan mahal, sulit untuk merangsang permintaan. Di situlah masalahnya menjadi politis: Solusinya bisa berupa pajak karbon atas kerosin atau persyaratan bahwa SAF masuk dalam persentase, di dalam semua bahan bakar penerbangan.
“Pada dasarnya, harus ada peningkatan amat besar untuk SAF,” kata Paul Stein, chief technology officer Rolls-royce. Pabrikan Inggris ini memproduksi Ultrafan, yang merupakan generasi berikutnya, yaitu mesin jet terbesar dan terefisien yang pernah ada, dirancang untuk menggunakan bahan bakar alternatif. “Akan tetapi industri umumnya berada di belakang mandat SAF.
DI MARKAS AIRBUS di selatan Prancis ada mesin terbang yang terbuat dari bahan komposit yang tidak menyerupai pesawat yang pernah diterbangkan ke langit, setidaknya di luar film fiksi ilmiah atau penampakan UFO. Ia menyerupai pari manta bulat.
Pesawat itu, yang dikenal sebagai Maveric, adalah model pesawat dengan lebar sayap 3,2 meter. Bagi Airbus, konsorsium Eropa, desain Maveric dapat menampung jawaban atas pertanyaan menarik ini: Apakah ada cara yang lebih efisien—lebih ramah lingkungan—untuk merancang sebuah pesawat?
Apa yang disebut desain perpaduan badan dan sayap yang digunakan oleh Maveric— meskipun dengan tantangan teknis besar yang harus diatasi—dapat menghasilkan pengurangan emisi karbon sebanyak 40 persen dibandingkan dengan pesawat saat ini. Keuntungan utama dari desainnya yang ramping adalah bahwa seluruh fungsi pesawat seperti sayap, mengurangi hambatan dan membuatnya lebih mudah untuk menghasilkan daya angkat. Di Belanda, para peneliti di Delft University of Technology menggunakan prinsip serupa dalam merancang Flying-v, sebuah pesawat yang sangat mirip dengan bumerang.
Airbus menciptakan kehebohan besar dalam industri ini pada tahun lalu, dengan mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan lini pesawat dengan lini masa 15 tahun, dengan kemampuan yang menakjubkan: penerbangan tanpa emisi.
Sama seperti yang terjadi pada mobil listrik, nol emisi tidak berarti nol polusi. Pendekatan Airbus menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana membuat dan menyimpan bahan bakar hidrogen.
Sebagian besar hidrogen yang digunakan saat ini berasal dari bahan bakar fosil. Namun apa yang disebut hidrogen hijau itu, listrik digunakan untuk memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen, adalah hal yang paling dicari. Para pendukungnya mengatakan bahwa kemajuan dan peningkatan teknologi akan membawa hidrogen hijau menjadi populer.
Namun hadir komplikasi lain: Hidrogen cair, seperti yang digunakan dalam program angkasa luar AS, memerlukan superkompresi dan penyimpanan pada suhu kriogenik minus 253°C agar tetap cair, yang tentu membutuhkan energi signifikan. Sebaliknya, dalam bentuk gas, hidrogen akan mengambil banyak ruang di pesawat, karena tangki bahan bakarnya harus jauh lebih besar untuk menghasilkan jumlah daya yang sama seperti kerosin.
Dalam kedua gambaran itu, pesawat berbahan bakar hidrogen akan sangat berbeda dibandingkan dengan pesawat saat ini, dan bandar udara akan membutuhkan infrastruktur baru untuk menghadapinya. Airbus mengakui rintangan itu tetapi tetap optimis tentang prospeknya.
Menurut Amanda Simpson, wakil presiden untuk penelitian dan teknologi di Airbus Americas, “jika Anda mendapatkannya dari hidrogen hijau yang dihasilkan dengan listrik dari sumber yang berkelanjutan—itulah yang terbersih yang mungkin bisa Anda dapatkan!”
Boeing, yang menerbangkan pesawat bertenaga hidrogen pertama di dunia pada 2008, sebuah pesawat eksperimental dengan dua tempat duduk, secara terang-terangan merasa kurang optimis. Ini bukan karena Boeing mempertanyakan potensi hidrogennya, tetapi karena bahan bakar bukanlah jawaban untuk tahun-tahun yang akan datang.
“Analisis kami sangatlah gamblang. Bahwa bagi jet komersial, bahan bakar penerbangan berkelanjutan adalah satu-satunya solusi yang layak untuk benar-benar menghilangkan karbon, dalam waktu dekat atau bahkan jangka menengah,” kata Brian Yutko, yang menjabat sebagai chief engineer Boeing untuk keberlanjutan dan mobilitas masa depan.
KOTA PERTANIAN HOLLISTER di California Tengah ini terkenal sebagai tempat reli sepeda motor tahunan. Namun belakangan ini, suara raungan di jalanan mungkin tidak terlalu mendapat perhatian dibandingkan dengan perangkat yang senyap di langit, di atas bandara.
Benda yang sedang berputar-putar adalah kendaraan udara bewarna kuning pisang yang tambun dengan 13 rotor—tiga di bagian depan dan belakang setiap sayap, ditambah balingbaling pendorong yang lebih besar di belakang. Satu hal lagi: Tidak ada pilotnya.
Pesawat listrik yang bisa terbang dengan sendirinya mungkin menjadi hal yang aneh di saat ini, tetapi penemunya berharap itu menjadi hal biasa di masa depan. Sebuah taksi udara.
Perusahaan mereka, yang disebut Wisk, hanyalah salah satu dari banyak calon pendatang dengan keahlian yang besar. Perusahaan ini mendapat dukungan finansial dari Boeing dan Kitty Hawk, perusahaan rintisan penerbangan yang didirikan oleh Larry Page dari Google. Visinya adalah dunia di mana mengendarai taksi terbang akan semudah dan seterjangkau seperti naik mobil saat ini—dan tentunya lebih aman.
Menurut Gary Gysin, chief executive Wisk, kemajuan dalam teknologi baterai dan material komposit ringan, serta biaya operasi mesin listrik yang rendah, membuat visi itu layak.
Namun kapan industri khusus ini akan lepas landas, belumlah jelas. Akan tetapi ini adalah bisnis yang serius. Menurut Vertical Flight Society, pesawat Wisk adalah salah satu dari lebih dari 475 pesawat listrik yang lepas landas dan mendarat secara vertikal, yang sedang dikembangkan.
Pesawat Wisk dan taksi terbang saingan lainnya dapat melakukan apa yang dilakukan helikopter: menjemput orang dan menurunkannya di tempat-tempat yang tidak dapat dilakukan oleh pesawat bersayap tetap. Selain jauh lebih murah untuk dioperasikan, mereka jauh, jauh lebih tenang.
Gysin mengatakan industri ini kemungkinan akan dimulai dengan mengantar orang-orang di antara bandara dan “vertiport”, yang mungkin menjadi landasan pendaratan di atas gedung apartemen Manhattan atau tempat parkir di pinggiran kota Los Angeles. Namun seiring berjalannya waktu dan orang-orang semakin nyaman dengan mobilitas udara yang aman, tenang, dan murah, apa yang akan terjadi?
“Kami akan menjemputmu di halaman depan,” kata Gysin sambil tersenyum.
Saya berkelakar bahwa saya mungkin memesan penerbangan pulang pergi ke manamana hanya untuk mengagumi pemandangan dari atas.
“Tentu saja!” Gysin membalas dengan antusiasme yang tulus. “Kegembiraan itu adalah bagian dari rencana. Itu adalah bagian dari pangsa pasar.”
Seberapa kuat kemungkinan reaksi publik terhadap gagasan taksi udara, saya tidak bisa mengatakannya. Namun penerbangan bertenaga listrik, meski masih sangat dibatasi oleh bobot dan kapasitas baterai, sedang muncul di
sisi lain. Salah satu pendekatan yang menarik adalah di British Columbia, Kanada, di mana operator pesawat amfibi komuter sedang melakukan retrofit terhadap armada de Havilland Beavers and Otters yang berusia 60 tahun, menukar mesin piston berbahan bakar bensin dengan motor listrik.
Greg Mcdougall, pendiri dan kepala eksekutif Harbour Air, melakukan uji coba pesawat pertama tersebut pada awal Desember 2019. (Pengajuan perusahaan untuk operasi elektrik, sedang melalui proses regulasi yang berliku-liku.)
“Kami bangga menjadi maskapai pertama di dunia yang menawarkan penerbangan listrik yang benar-benar bersih, didorong oleh pembangkit listrik tenaga air berkelanjutan di provinsi kami,” Mcdougall memberi tahu saya.
Harbour Air adalah kandidat ideal untuk konversi listrik: Penerbangannya biasanya memakan waktu kurang dari 35 menit, sementara baterainya dapat bertahan setidaknya satu jam dengan pengisian daya, menawarkan daya cadangan yang cukup.
Di seluruh penjuru benua, Cape Air yang berbasis di Massachusetts telah memulai tonggak sejarah yang berbeda: Ini adalah maskapai pertama di dunia yang mengumumkan rencana untuk menerbangkan pesawat baru yang sepenuhnya bertenaga listrik.
Pesawat ini, bernama Alice, adalah pesawat berekor-t yang ramping dengan sembilan penumpang, dengan baling-baling kembar yang sedang dibangun oleh Eviation, di Negara Bagian Washington. CEO perusahaan, Omer Baryohay, berujar, “pertama-tama, kita memiliki penerbangan yang didayai dengan balingbaling,” katanya. “Kemudian kita memiliki era jet. Dan kini penerbangan memasuki era listrik.”
Baik motor listrik retrofit Harbour Air maupun motor baru Alice dibuat oleh magnix, sebuah perusahaan di Everett, Washington. Seperti halnya Harbour Air, rute Cape Air, yang menghubungkan Cape Cod dengan Boston dan pulau-pulau terdekat Martha’s Vineyard dan Nantucket, merupakan perjalanan singkat.
Namun, Alice juga adalah ilustrasi tantangan penerbangan listrik: Dengan bobot lebih dari 3.700 kilogram, baterainya saja menyumbang 60 persen dari berat kosong pesawat.
Penerbangan bertenaga listrik mungkin memberikan harapan bahwa penerbangan bisa menjadi hijau. Orang-orang yang antusias dalam hal ini mengatakan bahwa dalam waktu 15 sampai 20 tahun, pesawat listrik bisa membawa sebanyak 50 orang sejauh beberapa ratus kilometer.
Namun untuk maskapai penerbangan besar yang terbang dengan jarak yang lebih jauh dengan lebih banyak penumpang, penerbangan listrik akan menjadi angan-angan selama bertahun-tahun ke depan. Suatu hari nanti, keturunan kita akan terbiasa dengan penerbangan tanpa emisi. Akan tetapi, apa yang kita lakukan antara kini dan nanti, akan tetap menjadi masalah yang sangat menjengkelkan, karena hari itu tidak akan datang dalam waktu dekat.