National Geographic Indonesia

KENALI PESUT MAHAKAM

-

Pesut mahakam adalah nama lokal dari satu-satunya lumbalumba air tawar di Indonesia. Di dunia dikenal dengan Irawaddy dolphin dengan nama latin Orcaella brevirostr­is, yang berarti “orca kecil dengan moncong pendek”. Secara genetis dia berbeda dengan pesut di pesisir.

AKHIRNYA MASYARAKAT MENAMAI LUMBA-LUMBA ITU PESUT KARENA SUARA YANG KELUAR DARI LUBANG NAPAS MEREKA.

Mahakam, termasuk anak sungai Kedang Rantau, Kedang Kepala, Belayan, Pela, dan Batu Bumbum. Sementara pada musim kemarau, pesut bermigrasi ke Kutai Barat dan Mahakam Ulu, mengikuti migrasi ikan kendia dan repang.

Evolusi pesut sendiri masih merupakan hipotesis. Menurut Daniëlle, lebih dari 500.000 tahun yang lalu ketika Zaman Es dan Paparan Sunda naik menjadi daratan, pesut pesisir mencari habitat yang tidak terlalu dalam, sebagian masuk ke Sungai Mahakam. Populasi di Mahakam sendiri terpisah dengan yang ada di Balikpapan sekitar 300.000 tahun yang lalu.

“Yang membedakan pesut mahakam dengan pesut pesisir di Kalimantan Timur (baru ada sampel Teluk Balikpapan, Sungai Sesayap, dan Penajam Paser Utara) dan Asia lain, pesut mahakam memiliki dua haplotipe yang tidak dimiliki pesut di daerah lain,” kata Daniëlle.

Karena sudah beradaptas­i dengan sungai, pesut mahakam tidak bisa kawin dengan yang ada di Delta Mahakam. Sementara itu pesut di Teluk Balikpapan masih bisa kawin dengan pesut di Penajam Paser Utara. Dua populasi ini bahkan tidak bercakap-cakap dengan cara yang sama. Akustik dan ekologi sosialnya berbeda. Repertoar suara pesut di Mahakam lebih banyak variasi ketimbang di pesisir. “Jadi untuk saat ini pesut mahakam mungkin diajukan sebagai subspesies. Bahkan kalau diteliti lebih dalam lagi, mungkin spesies,” kata Daniëlle.

Selain fakta ilmiah, ada juga dongeng tentang pesut. Alkisah, ada dua anak nakal kabur ke hutan. Saat tersesat, mereka menemukan pondok. Setelah makan nasi panas yang sudah dimantrai petapa sakti, perut dan mulut mereka panas. Mereka menceburka­n diri ke sungai dan berubah menjadi pesut—penamaan akibat suara yang keluar dari lubang napasnya. “Makanya pesut itu mucil—bahasa Kutai: pecicilan, nakal, bebal,” ucap Daniëlle sambil tersenyum.

MEREKA SEMAKIN TERUSIR dari habitatnya. Di Kedang Kepala—anak sungai yang diidentifi­kasi menjadi zona inti habitat utama pesut—banyak tongkang batu bara keluar masuk. Desibel suara mesin tongkang begitu nyaring—mengganggu pesut yang menggunaka­n ekolokasi untuk berkomunik­asi—sehingga tidak dapat mendengark­an pantulan sonar mereka sendiri. Karena sistem sonarnya terganggu, muncullah dia ke permukaan untuk menggunaka­n penglihata­nnya, dan akhirnya tertabrak tongkang.

Di dalam air, suara di atas 80 desibel sudah menghalau pantulan sistem sonar pesut. Mereka tak bisa menebak jarak di antara sesamanya— karena disorienta­si—juga jarak dengan objek lain seperti tongkang. Salah satu tes yang dilakukan RASI pada 2017 menyimpulk­an di kilometer 0 sampai 8 di muara sungai Kedang Kepala, kisaran suara mesin tongkang antara 109,5 hingga 111,7 desibel saat diukur dari jarak 50 meter. Sejatinya, kapal yang berlayar di kawasan konservasi hanya boleh melaju di kedalaman dua kali lipat lambung kapal. Tongkang memiliki draught (sarat air) kapal. Rata-rata sarat air tongkang 4,4 meter. Maka tongkang hanya boleh lewat di perairan yang lebih dalam dari 8,8 meter, sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI.

“Nah, sekarang di Kedang Kepala ada tongkang sering kali lewat ke pinggir sungai yang cuma empat meter,” ucap Daniëlle. Pelanggara­n ini tak hanya berdampak pada mikro habitat ikan, tetapi juga merugikan nelayan dan mengikis sungai, dan mengubah arus.

Kemudian setrum. Pernah di daerah hulu ada anak muda menyetrum ikan. Keesokanny­a, terlihat bayi pesut mati membiru. “Apakah itu ciri khas kena setrum? it could be,” kata Daniëlle.

Demi penyelamat­an satwa beserta habitatnya, Yayasan Konservasi RASI berupaya mengadakan sosialisas­i sejak tahun 2000. “Masyarakat kan enggak sadar yang dia lakukan berdampak bukan cuma untuk pesut tapi untuk mereka sendiri dan masa depan mereka,” ucap Budiono, Direktur Yayasan Konservasi RASI. “Sebelumnya masyarakat acuh. Akan tetapi sekarang sudah banyak yang tahu. Kalau ada pesut kawin atau apa, mereka unggah di sosial media, banyak yang nge-tag minta dikomentar­i. Artinya tingkat kesadaran masyarakat lebih tinggi dari sebelumnya,” tambahnya.

 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia