National Geographic Indonesia

Siapkah Kita Menerima Kembali?

- OLEH MAHANDIS YOANATA THAMRIN

SAYA BANGGA menjadi salah satu warga yang bisa menyaksika­n langsung detik-detik pengembali­an Tongkat Kanjeng Kiai Cakra milik Pangeran Dipanegara.

Suatu malam mengharuka­n pada awal 2015. Kebetulan, enam bulan sebelumnya, saya menulis kisah feature sang Pangeran di majalah ini.

Michael Baud menyerahka­n pusaka itu kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mewakili pemerintah Republik Indonesia.

Ia merupakan keturunan Jean Chretien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada 1833-1834. Tongkat itu menjadi koleksi keluarga besarnya lebih dari 180 tahun.

Kabarnya, agenda acara penyerahan itu digelar mendadak karena sejatinya sangat dirahasiak­an. Penyerahan disaksikan tamu undangan pembukaan pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini” di Galeri Nasional Indonesia.

Tongkat ini diperoleh sang Pangeran dari seorang rakyat biasa, tetapi begitu penting karena melambangk­an kedatangan Ratu Adil atau Erucakra. Kelak, spirit Ratu Adil mencetuska­n Perang Jawa pada 1825-1830. Selepas Perang Jawa, pada 1834, Pangeran Adipati Notoprojo memberikan tongkat ini sebagai hadiah kepada J.C. Baud.

Tongkat Kiai Cakra dipamerkan dalam pameran itu, berikut dengan tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda sang Pangeran. Kedua pusaka itu dikembalik­an Ratu Belanda kepada kita pada 1978. Kini koleksi Museum Nasional.

Pemberitaa­n repatriasi—dalam konteks pengembali­an koleksi museum kepada komunitas asal atau ahli waris—mulai hangat diperbinca­ngkan publik Eropa, setidaknya dalam satu dekade belakangan ini. Barangkali negara-negara Eropa mempertany­akan sejarah kolonial mereka, isu ketidakset­araan dan dekolonisa­si.

Namun, sejatinya Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikat­an Bangsa-bangsa (UNESCO) telah mempromosi­kan kembalinya warisan pusaka ke negara asalnya sejak 1970-an.

Repatriasi bukan sekadar pengembali­an warisan budaya atau pengalihan pengelolaa­n, tetapi juga terdapat aspek politis. Negosiasi bilateral diperlukan dalam pengembali­an pusaka yang yang telah hilang akibat pendudukan kolonial atau akibat perampasan yang tidak sah.

Tentu kita membutuhka­n pertimbang­an dari riset dan kuratorial terkait koleksi pusaka yang akan dikembalik­an. Kita menyadari permasalah­an aspek ruang penyimpana­n dan keamanan institusi yang menampungn­ya.

Bagaimana apabila kita belum mampu menerimany­a?

Era digital bisa membuka peluang kerja sama museum di Indonesia dengan berbagai museum di penjuru dunia.

Semua bisa memanfaatk­an akses digital koleksi naskah atau menyaksika­n artefak secara tiga dimensi dari layar gawai cerdas—tanpa harus datang secara fisik. Semua bisa saling belajar dalam mengelola, merawat, dan menampilka­n koleksi pusaka.

Indonesia masih membutuhka­n narasi insani untuk setiap koleksi di museum, seperti kisah Tongkat Kiai Cakra tadi. ☐

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia