National Geographic Indonesia

Kita dan Gergasi Rimba

- OLEH MAHANDIS YOANATA THAMRIN

JELANG TIDUR, ayah kerap menembang lirih untuk saya, yang saat itu masih kanak-kanak. Tembang itu berbahasa Jawa.

Gajah-gajah

Kowe tak kandhani

Mripat kaya laron

Siyung loro, kuping gedhe Kathik nganggo tlale Buntut cilik

Tansah kopat-kapit

Sikil kaya bumbung

Mung Iakumu megal-megol

Bila diterjemah­kan: Gajah-gajah / Kamu kuberi tahu / Mata seperti laron / Taring dua, kuping besar / Juga punya belalai / Ekor kecil / Selalu kopat-kapit / Kaki mirip bumbung / Cara berjalanmu lenggak-lenggok.

Di Jawa, imaji gajah terukir dalam relief Jataka, cerita Buddha di Candi Borobudur abad ke-8.

Nenek moyang kita memuliakan gajah karena satwa ini dianggap sebagai Airavata, yakni kendaraan Dewa Indra dalam mitologi Hindu. Satwa ini juga dianggap sebagai perwujudan dewa dengan sebutan Shri-gaja.

Pada zaman Sriwijaya, gajah menjadi satwa kebanggaan para maharaja. Kendati demikian, gadingnya turut diperdagan­gkan. Pada 718, maharaja Sriwijaya memperkena­lkan diri sebagai raja yang “memiliki seribu ekor gajah” kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya digempur oleh Kerajaan Chola pada 1025, beritanya ditulis dalam prasasti Tanjore bertarikh 1030-1031. Sang maharaja Sriwijaya ditawan di Kadaram (Kedah) sekaligus bersama “pasukan gajah yang digunakann­ya untuk berperang”.

Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh menunjukka­n kekuatanny­a melalui gajah. Dalam Hikayat Aceh, disebutkan seolah gajah-gajahlah yang menjadi benteng kota. “Dan akan negeri itu tiada berkota seperti adat kota negeri yang lain, dengan karena amat banyak gajah perang yang dalam negeri itu.”

Gajah diajarkan untuk melakukan gerakan sembah kepada Sultan Aceh. Ia dilatih juga untuk biasa mendengar tembakan dan tidak takut api. Pun, Hikayat Aceh mencatat sebagian satwa raksasa ini memiliki julukan layaknya manusia dan orang-orang memayungin­ya bila berjalan. Sultan memuliakan gajah seolah bagian warganya.

Tampaknya, kita perlu kembali berpikir soal kewargaan ekologis bagi gajah. Kita selayaknya menempatka­n gajah dan semua spesies dalam ekosistemn­ya sebagai warga negara. Kita dan mereka bertanggun­g jawab atas harmoni kehidupan Bumi. ☐

 ?? ?? Peta awal Sumatra bertajuk Sumatra ein grosse
Insel / so von den alten Geographen Taprobana karya kartografe­r Sebastian Munster pada 1588.
Munster mengidenti­fikasi Pulau Sumatra sebagai Pulau Eratosthen­es, sedangkan Ptolemeus menyebutny­a Taprobana. Peta ini menampilka­n Singapura dalam toponimi “Cingalolo”—kendati menempatka­nnya keliru di daratan Malaysia, letak garis lintangnya tepat.
Peta awal Sumatra bertajuk Sumatra ein grosse Insel / so von den alten Geographen Taprobana karya kartografe­r Sebastian Munster pada 1588. Munster mengidenti­fikasi Pulau Sumatra sebagai Pulau Eratosthen­es, sedangkan Ptolemeus menyebutny­a Taprobana. Peta ini menampilka­n Singapura dalam toponimi “Cingalolo”—kendati menempatka­nnya keliru di daratan Malaysia, letak garis lintangnya tepat.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia