DOUBLE CABIN KOK MASIH IMPOR?
Di perhelatan GIICOMVEC 2024, Menperin sempat menyinggung pasar kendaraan niaga double cabin mayoritas masih dikapalkan dari luar negeri, alias impor utuh atau CBU (Completely Built Up).
Hal ini tentu cukup miris, mengingat kendaraan niaga
double cabin cukup potensial sebagai alat angkut petani dan nelayan Indonesia. Namun harga mobil double cabin jauh lebih mahal dibanding sebuah minibus.
“Data mengatakan khusus untuk double cabin, seluruhnya masih impor. Rerata 25.000 unit per-tahun.
Ini catatan untuk para prinsipal dari Kemenperin,” bilang Menperin Agus.
Ia pun menyoroti mobil pick-up double cabin malah dominan diimpor dari Thailand. Padahal pasar Indonesia jauh lebih potensial dibanding negeri Siam tersebut.
Terlebih, hasil bumi Indonesia berupa tambang dan perkebunan juga menjadi ranah operasi mobil double cabin. Menperin meminta prinsipal kendaraan niaga untuk mulai mempertimbangkan produksi double cabin di dalam negeri.
“Prinsipal untuk mengevaluasi kembali pemikiran tersebut, alasannya yang pertama ekonomi dari Indonesia selalu berada di pertumbuhan terbaik. Menurut pandangan saya, ekonomi Indonesia lebih tinggi dari Thailand, jadi artinya penciptaan market di Indonesia jauh lebih besar,” kata Menperin Agus.
Masalahnya, diketahui pajak double cabin terbilang tinggi. Lantaran, termasuk kategori mobil dengan penggerak 4x4. Yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Berupa Kendaraan Bermotor dikenai PPNBM.
Kemudian, double cabin punya mesin berkubikasi besar, setidaknya 2.500 cc. Lagi-lagi pajaknya jadi mahal, belum lagi pajak impor yang turut mengerek harga jual akibat kena pajak impor.
Terkait hal ini ditanggapi oleh Sekretaris Umum, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Ia menyoroti, regulasi Pemerintah Indonesia justru belum mendukung jika dibandingkan regulasi di Thailand. Terutama soal perpajakan, dan insentif fiskal lainnya.
“Mestinya perhitungan pajak bukan lagi soal bentuk bodi, penggerak roda, maupun kubikasi mesin. Itu sudah ketinggalan zaman, sekarang mestinya mengarah ke fuel consumption dan fuel efficiency. Mestinya direvisi agar lebih sesuai kebutuhan masyarakat,” tegas Kukuh, yang ditemui di GIICOMVEC 2024.
“Mestinya perhitungan pajak bukan lagi soal bentuk bodi, penggerak roda, maupun kubikasi mesin. Itu sudah ketinggalan zaman, sekarang mestinya mengarah ke fuel consumption dan fuel efficiency,”
Kukuh Kumara Sekretaris Umum, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)