BRONG ≠ AFTERMARKET
Beberapa waktu lalu, Polisi gencar merazia penggunaan knalpot brong pada motor di beberapa wilayah. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi polusi suara yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor di tempat umum.
Namun permasalahannya, banyak pihak yang terlanjur berburuk sangka dan memukul rata bahwa semua knalpot bersuara bising sudah pasti brong. Padahal knalpot brong dan aftermarket itu berbeda.
Hal tersebut tentu bikin resah para pengusaha knalpot
aftermarket yang tergabung dalam Asosiasi Knalpot Seluruh Indonesia (AKSI). Pasalnya, knalpot buatan mereka sudah memenuhi standar regulasi yang berlaku.
Untuk membuktikan bahwa seluruh knalpot buatan anggota AKSI telah sesuai dengan aturan, digelar acara bertajuk Demo
Day Knalpot Aftermarket yang berlangsung di Gedung SMESCO, Pancoran, Jaksel, Senin (25/3).
DEMONSTRASI
Acara tersebut memamerkan beragam knalpot aftermarket milik anggota AKSI. Selain itu, turut dihadiri oleh beberapa lembaga terkait seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Korlantas Polri
Sesuai namanya, agenda utamanya adalah demonstrasi pengukuran kebisingan knalpot motor menggunakan alat ukur desibel (db) meter.
Demonstrasi dilakukan pada motor Yamaha XMAX untuk sampel motor ber-cc 250 dan Vespa Primavera sebagai sampel motor ber-cc 150. Hasilnya, keduanya lolos karena tingkat kebisingannya di bawah ambang batas maksimal yang ditetapkan oleh KLHK. PENERBITAN SNI
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM mengingatkan pihak kepolisian yang gencar melakukan razia pengguna knalpot brong agar jangan sampai membuat industri knalpot aftermarket, khususnya merek lokal mati.
Teten menambahkan, polisi memang perlu menindak pengguna knalpot brong yang tidak sesuai peraturan. Tapi di satu sisi, jangan sampai mematikan industri knalpot yang patuh terhadap regulasi dan menyerap banyak tenaga kerja ini.
“Kita memang perlu mendukung dan memperkuat industri nasional. Knalpot ini menurut laporan cukup besar nilainya, melibatkan 300 produsen, kalau itu bisa mensuplai industri otomotif itu menyelesaikan lapangan kerja, jadi di sisi industri kita harus dukung,” ujar Teten.
“Memang ada aturan soal polusi (emisi dan suara) dan polisi juga perlu terus melakukan upaya penegakan hukum tapi jangan sampai membunuh industri ini. Pelakunya ditangkap boleh, ditindak iya, tapi industri jangan dibunuh. Sehingga kita harus duduk sama-sama,” tambahnya.
Untuk itu, Teten menginginkan agar knalpot aftermarket dibuat dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Lewat SNI, ada batasan baku mutu yang sesuai dengan peraturan yang ada.
Sehingga penindakan di lapangan yang dilakukan bakal lebih terarah. Artinya pengguna knalpot aftermarket yang sesuai dengan aturan tak akan ditilang, beda dengan knalpot brong yang spesifikasinya tidak jelas.
Menanggapi arahan Menkop UKM tersebut, Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN, Hendro Kusumo mengatakan, pihaknya siap menerbitkan standardisasi bagi knalpot aftermarket.
“Jika mengikuti kebutuhan masyarakat, kalau kita mau kejar tahun ini bisa segera diterbitkan (standardisasi knalpot),” ujarnya.
Lebih lanjut, Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM, Hanung Harimba Rachman mengatakan, pihaknya telah berdiskusi dengan beberapa pemangku kepentingan terkait dengan rencana penyusunan standardisasi untuk knalpot aftermarket.
Adapun pemangku kepentingan yang dimaksud adalah Asosiasi Knalpot Seluruh Indonesia (AKSI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Menurut Hanung, knalpot
aftermarket buatan UMKM ini telah memenuhi dan memperhatikan ambang batas yang telah diatur dalam Permen LHK No. 56 tahun 2019.
Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa ambang batas kebisingan adalah 80 desibel (db) untuk motor dengan kubikasi 80175 cc dan 83 db untuk motor di atas 175 cc.
Hanung menilai, industri knalpot aftermarket merupakan UMKM yang memiliki potensi sangat baik, sehingga harus didukung melalui regulasi yang sederhana dan efisien. “Selanjutnya kami akan membentuk kelompok kerja yang terdiri dari lintas Kementerian/lembaga,” pungkasnya.