Puisi Minggu Ini
KERONCONG SABAH
rembulan bercahya-cahya di celah pasar Sinsuran mungkin sebentar lagi hilang, namun kau masih berdiri, di sudut Pasar Filipina, mendendang malam yang bakal lengang.
Mungkin tiada pernah lagi hujan, kecuali tetes pedihmu yang berurai, dan kita terpaksa berpisahan
o, keroncong Sabah yang digumam sahabat tua di sudut Tang Dynasty, Park Hotel suatu pagi, tembang yang parau karena terpenggal beribu pilu
adakah tali yang bisa memilin masa lalu, keroncong nenek moyang tergurat syair tak berlagu, kecuali merasa bersama, meski jauh mengelana ?
di Jalan Tun Fuad Stephen serasa kuhilang peta, mencarimu tak kunjung kembali padahal sebentar hari sunyi kau hilang di lorong kota, orang-orang menatapku dengan ceruk mata lesu, menanyai kemanakah kukaram kenangan itu?
di Kinabalu kenangan terkubur lumpur bisu
serasa hilang tanda tatkala merapat berpuluh perahu, usai melaut nelayan menepi di pasar besar, o, lagu apa yang kudendang-riang, kecuali keroncong masa silam yang kuyub rindu?
lelaki tua yang memainkan gitar semalaman, mengajakku bernyanyi tanpa kata, lelaki tua dari Brunei hari-harinya penuh syair hingga mata berair
“ini keroncong Sabah, tuan, keroncong indah tak terbantah, hanya tuan - puanlah yang berubah rinai…”
hujan bertitik mozaik, langit menitip syahdu,
Q aku mengenangmu di tempat jauh, di beribu mil tak tersauh, di sini mimpi tertaut langit kota berwarna muram, lampu-lampu bergeriap
garis pembatas jalan, berlarian ke belakang
kami dan orang-orang, bernyanyi hingga ke ujung pagi, di lobi hotel sebelum kantuk berurai, tubuh terpenjara kamar – kamar pintunya setengah membuka o, irama keroncong yang liriknya hilang di pantai, masih kucari di mana kini pak tua yang matanya menjelaga yang berkisah tentang nenek moyangnya di jawa
“tak ada jalinan kenangan, kecuali kini kita sedang berseberangan di kampung kematianku, kusulang dikau dengan kegembiraan, mari berkeroncong hingga kembali malam”