Menularkan Virus Menulis di Masa Pandemik
MENULIS sastera di masa pandemik; baik puisi maupun prosa, untuk sebahagian pengkarya, merupakan kegiatan yang menghabiskan waktu lama. Terkadang bingung dalam mencari idea dan miskinnya inspirasi. Sesekali ada, malah termenung depan laptop, tidak juga bisa memulai. bingung apa yang hendak ditulis. Kemampuan pengkarya itu berbeza-beza, ada yang cepat, sedang, dan ada juga yang lama. Bagaimana cara menuntaskan sebuah tulisan semisal cerpen, tentu selain harus punya bekal dengan terlebih dulu banyak membaca, juga perlu latihan yang terus menerus.
Tak sedikit pengarang yang mahir menulis dan tak butuh waktu lama. Sekali duduk menulis tuntas dengan penyuntingan lalu hantar ke media. Selain itu, menulis dengan target sehingga dalam setiap bulan mampu menghasilkan karya yang banyak. Pengkarya model begitu disebut pengkarya produktif. Yang menulis tak harus menunggu ‘mood’, tak perlu bingung dengan idea, tak perlu mesti ada inspirasi saja. Tak harus mencari kesana-kemari bahan yang hendak ditulis. Yang diperlukan hanya modal ‘niat dan tekad’ yang besar. Sebab idea ataupun inspirasi bertebaran. Idea tak perlu dicari. Idea bermunculan dari mana-mana. Di sekitarnya. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, bisa ditulis. Hidup bukan baru setahun. Bertahuntahun. Belasan bahkan puluhan tahun. Mustahil tiada yang bisa dijadikan bahan tulisan. Terutama dalam menulis prosa. Pengalaman sendiri atau orang lain bisa ditulis. Pengkarya biasanya tajam pada situasi kondisi sekitar dan wawasan lebih luas. Masa wabah corona merebak dan mengguncang dunia, itu bahan yang bisa diolah menjadi tulisan sastera baik puisi maupun cerpen. Tak sedikit cerpenis maupun penyair yang produktif di masa wabah ini. Bahkan ditetapkannya lockdown dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadikan banyak pengkarya yang lebih produktif. Diberlakukannya ‘stay at home’, bagi pengkarya justru sebuah kesempatan emas karena punya banyak waktu di rumah. Dan lebih leluasa mencurahkan ide dalam tulisan sehingga melahirkan karya-karya yang berkualiti..
Motif orang menjadi pengkarya sastera karena berbagai hal. Bisa sebatas hobi, mengisi waktu atau
Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM) menasihatkan umat Islam di negara ini agar mematuhi prosedur operasi standard (SOP) yang telah ditetapkan sepanjang sambutan Hari Raya Aidilfitri.
Semasa perayaan tidak perlulah kita buat jamuan besar-besaran atau rumah terbuka. Pastikan rumah sentiasa bersih. Basuh pinggan mangkuk, sudu garpu, periuk belanga dan lain-lain selepas
KOMALA SUTHA pun profesi. Tak sedikit yang menjadikan kegiatan menulis karya sastera itu sebagai mata pencarian. Tentu saja berkarya dengan tujuan mencari wang itu sah-sah saja. Di zaman era digital ini, informasi melimpah ruah. Banyak media baik cetak maupun online yang menyediakan honorarium bagi karya sastera yang disiarkannya.
Bagi pengkarya sastra produktif yang ingin memilih berkarya sebagai profesi tentulah harus menjadikan menulis itu sebuah rutinitas dan diperlukan konsistensi yang tinggi serta menjaga kualitas karya sendiri.
Bagaimana dengan pengarang yang mengarang sebatas hobi? Itu pun sangat bagus. Menjadikan menulis sebagai hobi itu hal yang mengasikkan. Apalagi jika bertujuan menyampaikan dakwah. Kerana pengarang yang sudah memiliki ‘nama besar’ pun diawali dengan menulis berasal ‘hobi’. Hobi menulis yang ditunjang banyak membaca.
Di masa pandemik ini, dimana banyak orang yang panik bahkan stres menghadapi situasi yang tak menentu terlebih berdampak buruk pada sektor ekonomi secara global, sebenarnya bagi pengkarya sastera itu sebuah jalan. Memperkaya khazanah sastera kerana waktu yang banyak. Selain itu, mempertipis stres dan menguatkan kekebalan tubuh. Terlebih menuliskan apa yang menjadi ‘beban pikirannya’.
Seorang ahli psikologi sosial, James W. Pennebaker, pernah melakukan serangkaian eksperimen dalam upaya memperoleh gambaran hubungan antara kegiatan menulis dengan kondisi kesehatan dan kesimpulannya terangkum dalam buku “Quantum Writing’-nya Hernowo.
“Orang-orang yang menuliskan fikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh-temeh.”
Jadilah pengkarya sastera yang mampu menularkan virus menulis pada orang lain. Pada orang yang sebelumnya tak suka menulis atau pada penulis yang sebelumnya malas menulis, agar mereka memiliki keinginan yang tinggi dengan terus berkarya tanpa henti. Menulis itu termasuk terapi kejiwaan. Alangkah eloknya, seorang pengkarya yang tidak hanya produktif untuk karyanya sendiri. Namun, menjadi inspirasi bagi penulis lainnya. Mengajak, merangkul dan saling bergandeng tangan (melalui kontak media sosial) dalam memajukan literasi bukan hanya dengan sesama pengkarya satu negara namun dengan semua negara jika memungkinkan. Saling menularkan virus menulis agar hidup lebih bermanfaat.
*** (artikel sumbangan Komala Sutha,Aktivis sastera dari Bandung, Indonesia.