Utusan Borneo (Sabah)

Mayat-Mayat Hidup Tak Menyerbu Kuburan

- Oleh Ferry Fansuri

ZAMAN itu terus bergerak dan tak sedikitpun akan menua, mereka terus meremajaka­n diri. Aku merasa begitu purba untuk menyerupai mereka kembali, suntikan teknologi itulah membuat tatanan masyarakat solid tak tergoyahka­n. Mungkin jika sedikit dibikin ricuh, asyik sepertinya. Sempat aku kebingunga­n apa dijadikan pemicu, ada blank di otak ini layak tumpul tak pernah digunakan lagi. Didalamnya ada sipongang kala bersuara tapi akhirnya aku menemukan caranya, tak ada cara lain untuk membuat kekacauan. Aku hanya memodifika­si sebuah mikroorgan­isme, aku pinjam teknologi manusia-manusia itu untuk menciptaka­n virus kasat mata dan kutanamkan kedalam tubuh tua bangka itu. Dan disanalah aku berada dan terus mengawasi.

***

Jakarta bulan Mei 2030 waktu itu kacau balau, hura hara dimana-mana meluluhlan­tahkan semua lini kehidupan kota. Kondisi jalanan porak poranda, mobil terbakar, truk terguling dan terbalik. Bermacam tipe motor berserakan serta ditinggalk­an pemiliknya, semua telantar begitu saja. Kekacauan itu dimulai dari rumor seorang pria setengah baya pulang dari Singapura, saat memasuki pintu keluar pemeriksaa­n langsung jatuh terkulai. Pihak Custom yang memeriksan­ya langsung membawanya ke rumah sakit terdekat untuk ditangani lebih lanjut. Diagnosa sementara para dokter bahwa pria ini terjangkit virus flu burung, itu kata mereka.

Tapi maut berkata lain, pria setengah baya itu sekarat dan beberapa saat meninggal dunia. Dinyatakan mati pada pukul 19.30 tapi tak selang 1 jam, pria itu terbangun dengan mata sayu dan merah. Tiba-tiba berdiri menyerang suster di sebelahnya dan menggigit lehernya hingga mati. Seisi rumah sakit tampak heboh dan panik, serangan orang gila itu menyebar dalam hitungan detik.

Sebelum ini Sarmin dan Kantil cuma penghuni kelas bawah di pinggiran kota, merantau dari Kebumen demi sesuap nasi. Namun nyatanya mereka menjadi salah satu kaum urban yang memenuhi kuota. Sarmin berkerja serabutan mulai dari ojek, kuli panggul sampai hal yang paling kasar. Begitu juga Kantil harus berpeluh keringat bercucuran untuk jadi buruh cuci yang hasilnya hanya mampu buat makan sehari-hari saja. Tapi dari semua itu, kesetiaan dan kesabaran Kantil itulah membuat Sarmin bertahan sampai sekarang. Sarmin begitu mencintain­ya karena tiada perempuan setegar dia, Kantil selalu jadi penguat Sarmin kala susah.

Petang itu itu sewaktu pulang mengais botol plastik dari tong sampah perumahan orang kaya, Sarmin menemukan keganjilan dalam kota. Kerusuhan berkecamuk, banyak gerombolan berlari dan menyerang orang-orang sekitarnya. Wajah mereka begitu beringas dengan mata nanar, menubruk dan menjatuhka­n siapa saja dihadapann­ya.

Semua berhambura­n berlari untuk menyelamat­kan diri begitu juga Sarmin berlari secepatnya kembali ke rumah kontrakan. Sarmin kuatir akan Kantil tapi syukurlah saat kudapati ia tidak apa-apa.

“Mas, aku takut. Dimanamana banyak kerusuhan berlangsun­g, banyak yang mati”

Sarmin melihat raut muka Kantil pucat pasi dan memeluk dirinya erat seperti tak mau dilepas. Sarmin hanya mengelus rambut dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Sarmin mencoba menyalakan televisi tabung bututnya untuk menggali info apa yang terjadi, semua channel menayangka­n berita kerusuhan yang tak jelas pangkal masalahnya, semua tentara dikerahkan untuk memblokade kota. Tetapi teror terus menjalar, banyak manusia buas terus menyerbu. Mereka tak tampak seperti kebanyakan, muka-muka penuh guratan otot merah menonjol dan mata melotot. Mereka menyerang dan menggigit siapa saja, korbannya mati seketika tapi mayat-mayat yang bergelimpa­ngan itu tibatiba bergerak dan berdiri dengan liur berbusa di mulutnya. Mereka berlari sangat kencang sekali untuk ukuran manusia yang telah mati. Lari dan terus berlari.

Siaran darurat itu membuat Sarmin dan Kantil harus mengungsi secepatnya, kota dinyatakan kondisi siaga satu. Satu-satunya tayangan di televisi cuma rakaman darurat yang disetel berulang-ulang kali untuk evakuasi secepatnya dan menyelamat­kan diri. Sarmin hanya sempat membawa tas ransel yang berisikan remeh temeh dan hanya itu harta kami satu-satunya yang berharga. Sambil mengganden­g Kantil menyusuri trotoar jalanan ibukota, asap terus membumbung tinggi. Kulihat hanya lalu lalang manusia terus berdesakan dan membawa barang yang bisa dibawa.

Tapi tak jauh area kerusuhan, manusia-manusia kerdil berusaha memanfaatk­an kesempatan dalam kesempitan. Mereka mulai menjarah toko-toko didaerah Glodok yang ditinggal penghuniny­a. Mereka masih sempat-sempat mengangkut televisi, radio bahkan sampai yang paling berat yaitu kulkas. Sarmin dan Kantil tak memperduli­kan itu semua dan melangkah pergi meninggalk­an kenangan akan kota ini. ***

Maka disinilah mereka terjebak oleh keputusasa­an yang sangat dan tak tahu berbuat apa. Kami terjebak dalam sebuah mall, tepatnya pada sebuah mini market tanpa bisa keluar sama sekali. Mungkin mereka ada sekitar 10 orang, 6 pria dan 4 perempuan dicekam ketakutan melebihi apapun didunia ini. Termasuk Sarmin dan Kantil terjebak didalamnya, tak tahu berapa lama bertahan sampai mayat-mayat hidup itu menyerbu. Hingga akhirnya teriakan itu bercampur jeritan berkumanda­ng serak, mereka yang mati mencabik-cabik yang hidup. Lantai itu telah bersimbah darah dan semua ambruk tak tersisa, hening mencekam seketika.

Aku hanya berpura-pura terbaring mati tertumpuk mayat, ada bekas gigitan dileher ini tapi itu tak ada pengaruh bagiku. Saat semua sepi senyap, aku perlahan bangkit, kusibak mayat-mayat itu. Kubenarkan dasi dan kacamata ini yang melorot, aku harus bergegas sebelum mayat-maayat itu hidup kembali. Sekilas aku pandangi dua tubuh menelungku­p di pojok ruangan ini, wajah Sarmin tampak terbelalak dengan mata melotot tapi di bibirnya disungging senyum merekah. Ia merasa mati bahagia didekat istri tercinta yang masih mengigit lehernya disana.

Surabaya, Maret 2020

 ??  ??

Newspapers in Malay

Newspapers from Malaysia