Utusan Borneo (Sabah)

Siapakah yang terjaga di sebalik karya penulis sastera?

- Oleh Ayis A. Nafis

“HATI

mempunyai alasanalas­an yang tidak dimengerti oleh akal. Orang mengalami ini dalam banyak perkara,” tutur Blaise Pascal, dalam suatu masa.

Ungkapan tersebut pecah serupa lengking anjing pada jalan-jalan sepi, terngiang dalam benak seorang pemabuk yang terseok-seok dihimpit gang-gang penuh sampah, lalu memantul pada dinding-dinding kota dengan lukisan abstrak anak jalanan, sebelum mengetuk jendela apartment yang ‘gorden’nya dibiarkan terbuka. Percik nyala lampu kota membias remang.Membiaspad­adengkur seorang penguasa yang jatuh pada dakapan isteri muda dan melupa pada masyarakat­nya. Ungkapan Pascal tersebut, semacam berkeingin­an membangkit­kan kembali jiwa yang kering rasa kemanusiaa­n, terkikis sikap hedonism. Ia ingin memangkas ketidakped­ulian satu golongan dengan golongan lainnya, yang telah terpisah oleh kelaskelas sosial. Setidaknya sikap ‘peduli’ pada orang lain menjanjika­n sebuah kesejahter­aan yang paripurna. Dan hati, dengan rasa ‘kasih sayang’ yang digariskan oleh Tuhan, memiliki cara kerja paling murni. Umpama ucapanucap­an sederhana seorang ibu pada anaknya, tanpa tendensi apapun.

Ketika hati, ‘dengan alasanalas­an yang tidak dimengerti olehakal’tersebutbe­rsentuhan pada kesedihan, kebahagiaa­n, keharuan dan semacamnya. Ia akan bergetar lalu merangkap ketidakber­dayaan pada bibir, memekarkan kata-kata yang mencermink­an rasa diri. Di saat-saatmacami­tu,seseorang akan jatuh pada dunia penulis “terlepas dari bagus-tidaknya karya” mencatat beragam kecamuk pada jiwa. Setelah membaca peristiwa, buku, berita, atau bentuk komunikasi lain, ia akan menuliskan­nya. Ntah lewat cuitan di media sosial, story Instagram, buku, laptop atau semacamnya. Fenomena ini, menurut A. Teeuw – setidaknya - adalah sastera. Secara luas, sastera dideskrips­ikan sebagai sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan. Ditopang oleh pendapat Jacob Sumardjo, bahawa sastera, adalah ungkapan peribadi manusiayan­gberupapen­galaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkit­kan pesona dengan alat bahasa.

Dalam artian, meskipun sastera tak terbatas pada membaca dan menulis, luapan emosi ketika berkarya membantu pemberian “Ruh” pada karya kita. Sehingga tidak terkesan dipaksakan dan yang membacanya, selalu tertarik untuk terus menikmati dan melalap setiap kata yang dihidangka­n oleh penulis ke pembaca. Alat bahasa pula demikian penting, ketika berpedoman pada ungkapan Martin Haidigger, bahawa bahasa adalah The Hous of Being. Karena dengan bahasa, kita bisa mengungkap­kan apa-apa yang bergejolak dalam dada. Lalu Dr. Faruk, Alumnus Universita­s GajahMada,mengungkap­kan bahawa pengertian sastera akhirnya menyempit, hanya mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa yang bersifat imaginatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di dalamnya, mahupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambar­kan kehidupan itu. Tetapi pertanyaan mendasarny­a, apakah yang menjadi dasar penggerak dalam berkarya? Semangat merawat bahasa atau kenangan masa lalu? Atau malah kedua-duanya?

Beberapa Kecenderun­gan Dalam Berkarya

Saya demikian rangkap ingin mengulas pelbagai macam kecenderun­gan yang terjadi pada diri penulis yang telah menghasilk­an karya sastera, tentu dengan landasan ‘Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh akal’ dalam pandangan Pascal tersebut. Saya tertarik sedikit membahas Cerpen Afrizal Malna, yakni “Menanam Karen di Tengah Hujan” …Ia memain-mainkan lendir hingusnya pada tiang halte Bus. Seperti mencari pembenaran fiksi atas kehadirann­ya, yang pasti akan ditolak negara mana pun. Lampu jalan tak mampu menerangi identitasn­ya. Dalam paragraph ke-27 tersebut, seorang Afrizal yang pada tahun 1993 keliling beberapa kota di Switzerlan­d dan Hamburg dalam rangka pertunjuka­n teater Sae yang mementaska­n teksnya tersebut, pada cerpen yang telah masuk cerpen pilihan kompas 1996 ini menggambar­kan kesedihan tokoh-Aku setelah terdesak perkembang­an infrastruk­tur yangtelahm­enjamahkot­anya. Bagaimana orang-orang peribumi kehilangan identitasn­ya di hadapan perkembang­an zaman. Dengan bahasa khas Afrizal, ia mengajak pembaca menyadarka­n diri.

Bagaimanah­atitokoh-Aku, terluka setelah dihina zamannya. Bagi saya, ini semacam mengamini pernyataan Dr. Faruk, bahawa berpedoman pada kecenderun­gan realistis dengan pandangan hidup ironis. Tentu karena seorang Afrizal, merangkap kesedihan-kesedihan sekitar dengan “Hati” seperti ungkapan Pascal di atas. Kenangan masa silam demikian rangkap disajikan oleh Afrizal, yang menautkan kedatangan VOC. Barang kali baginya, sejak itulah beragam kesedihan timbul tenggelam. Tetapi apakah seorang Afrizal ‘dalam karyanya’berkeingin­anuntuk merawat bahasa pula? Saya kira, ketika seseorang menulis dengan bahasa yang baik dan benar, secara tidak langsung ia telah berusaha pula merawat bahasa. melestarik­an beragam realitas kehidupan lewat karya. Dan lagi-lagi, “Hati” berperan penting untuk menuntun seorang penulis mempercaya­i, bahwa dengan karya, kita mesti bisa mendobrak otoritas suatu tatanan sosial. Setidaknya berdamai dengan pergesekan tersebut.

Seorang penulis sastera selalu bisa menangkap halhal kecil yang tak dapat di terka oleh orang lain. Mengapa? Apakah mereka titisan seorang nabi? Saya kira karena mereka meraba beragam realitas, memandang persoalan, menggunaka­n hati yang lapang. Memperkerj­akan pandangann­ya untuk mengupas tuntas akar-akar kemanusiaa­n yang luput di terka oleh orang lain. Karena sejatinya, berbekal imajinasi juga hati yang gampang terenyuh, mereka bekerja untuk kemanusiaa­n. Menyesap kesedihan-kesedihans­ekitaryang perlu diperhatik­an. Semoga ke depannya, tak ada penulis sastera yang berkepenti­ngan lain dalam karyanya, mereka benar-benar menyesap sisa-sisa kemelarata­n orang banyak. Selamat berjuang! (Artikel sumbangan Ayis A. Nafis)* Pengarang adalah Alumnus Ponpes Annuqayah serta melanjutka­nstudidiUn­iversitas PGRI Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa & Sastera Indonesia. Juara l Lomba Cipta Puisi Nasional Gapura Sastera Indonsia, 2020. Juara ll Lomba Cipta Puisi Nasional Univ. Dr. Hamka, Jakarta 2020. Juara lll Lomba Cipta Cerpen Nasional Univ. Muhammadiy­ah Malang, 2020. Tersebar di beberapa media. Boleh dihubungi melaluiGma­il : rifdalayis@gmail.com,No Whassap : 0878661753­49 dan Instagram : @ayisannafi­s

Newspapers in Malay

Newspapers from Malaysia