Puisi Minggu Ini
BERKALI-KALI
Berkali-kali disakiti sehingga mental kepenatan Berkali-kali dinasihati sehingga diri ini buntu Berkali-kali mencintai tanpa dicintai Berkali-kali terjatuh sehingga parut hati berdarah Berkali-kali bertemu untuk mengucapkan selamat tinggal Berkali-kali dipersoalkan sehingga cinta diragui nilainya Berkali-kali aku mencuba memberi tanpa meminta balasan Sehingga membinasakan diri!
DI HUTAN BERMATA BULAN
Siang telah mati di hidup kami; di hutan-hutan dan sumur-sumur. Sejak engkau membawa ibukota, kami meronta:
Kami Padang lain ilalang yang gamang atasmu, surau ke surau, mengenali kembali ranah ini, melebarkan sasaran silat, kami kabakan engkau telah ikut; dari negeri Beruang Putih, mendarat ke negeri Andalas.
Tajam menyayat, sakit tertembak. Engkau pergi mengunjungi teman di lain negeri.
Sawah dan ladang, menggantungkan hidup esok hari. “Begitu orang-orang menghindar, kini!” Tentara pendudukan melepas baju, menyerahkan sumpah negerinya.
Engkau turun di dermaga dengan seragam lengkap, langkah tegap menodongkan senjata, mengurah desa hingga rata.
Tentara membuat daftar panjang, mulut senjata di siang hari.
Perang meletus dalam kepusu sepucuk surat rindu padamu: sentuhanmu yang tak membelai kami, lagumu yang menjagakan kami, hidup kami hanyalah seperti kerbau pembajak sawah.
Sewaktu-waktu kami mencari kebenaran: helikopter menurunkan ledakan-ledakan ganas, merangkak, tiarap, terisak-isak.
Luka ini bukan saudara yang ditutup-tutupi, harga kepalamu berkantong-kantong emas dan lada. Sebelum hari tinggi, di hutan gamang, perpisahan, berada di mata bulan dan parang kian berkilau.
CINTA TERBAIK
Embun menitis ke tanah kering
Hembusan nafas bumi mengiringi sembilu pagi Cintaku dipersoalkan mereka untuk dihakimi Bersama keunikan jati diri yang dijadikan dosa baru Hembusan bayu menyentuh bibir kita
Sejuk dan ghairah
Sehingga mata coklatmu memberikan persembahan Akan kolam derita dan kepahitannya
Untuk aku ubati menjadi suatu pengalaman cinta terbaik Daripada ketulusan hatiku kepadamu, wahai teruna!
SUMUR SEBELUM GELAP TIBA
Basuhlah luka itu, ke sumur tempat menimba pilu, seraya engkau ketahui, betapa dalam luka menganga. Petang meninggalkan hari-hari saudara, di bangunan-bangunan tua yang kokoh berdiri. Di atas, langit kelam pertanda waktu tiba.
Sasaran-sasaran silat dipindahkan ke gelanggang utama, antara hidup dan mati sebuah identitas diri.
Selain parang yang diasah tajam, memasang mata kelelawar.
“Aku mendengar dengkur para penjaga, di pos-pos pertahanan. Keluarkan parang kita!”
Di balik celah sempit, antar mereka di keabadian, di langkah-langkah berisik, dendangkan mantra guna-guna, sebelum fajar tiba, kita akan tamat.
“Kita buang ke mana? kita bawa sembunyi di hutan-hutan, kita gantung di pohon-pohon besar.” Perempuan di lumur hina, hidup bergumul sesimpul cemas.
Di akhir gelap, gigil kita berhamburan, menikam jejak langkah datangnya kelam.
Basuhlah wajah kita. Di bandul sumur,
“Kita menunggu gelap tiba!”
KEHENINGANMU
Masih berdengup jantung persembahanku
Masih bergetar rawanku melangkah ke hadapanmu Memanggilmu dengan sapaan merdu bak siulan burung Malaikat misteri menjodohkan kita seketika
Dalam kegundahan Ogos
Untuk menjadi satu dalam nama Tuhan gereja Sehingga berpisah atas nama sahabat seiman Masihkah kamu mendengar tawaku dalam keheninganmu?
SEPUCUK SURAT UNTUK BAPAK KITA
Mengintai saat malam jatuh di pintu rimba: medan pertempuran meletus di bulan setengah lingkaran, seujung pisau dalam amarah mengigau-ngigaukan darah. Merentak suga bergelambungan tertahan di dada, membelalak mata menanar ke kepala, mematut dari kejauhan bunyi sayup-sayup sampai di telinga.
Di kanan parang dikepakkan dalam genggaman: siku besi tertanam di tangan, tak rebah tersenggol pohon, tak lepas dari lari kaki pemangsa.
Di kiri racun katak dalam lapisan kain tenunan: tak tinggal di ranting bercabang, tak sakalipun kering sebelum tersumpal, di mulutmu.
Sekali saja kau mengedipkan mata, melepaskan penjagaan ke arah lain, maka parang ini akan berbicara kepadamu: setajam mata elang menukik ke lautan, setipis kapuk tertiup angin ke dataran.
“Kepalaku ialah mumbang yang pecah dari pohon yang ditebang, suara derit pedati tanggal roda di pendakian, kuda jantan kehilangan aduannya di kandang birahi.”
Sepucuk surat teruntuk bapak yang di singgasana, maka hadaplah ke kami, dari beratus hari pun akan dinanti, jika tidak, terimalah tebasan sengilu takdir tiga tahun bersemayam di hati berulam jantung, pilu yang membiru mengalir di tubuh kami.
Kandang Pedati, 2021