VLOGGING
WASPADA CYBER CRIMINAL “Mama, aku ingin membuat video tentang mainanku!” Sebelum memenuhi permintaan calon vlogger cilik Anda, sebaiknya pelajari terlebih dahulu seluk beluk dunia maya. Sebagai orangtua tentu Anda tahu benar adanya bahaya kriminal yang mengintai siapapun tanpa mengenal gender dan usia. Rosdiana pun mengimbau para orangtua agar lebih waspada. “Anak yang terekspos pada kegiatan video blogging atau vlogging rentan terhadap cyberbullying dan incaran pedofilia,” ujarnya. Belum lama ini pun terkuak kasus perkumpulan pedofilia yang berada dalam jaringan grup di sebuah media sosial ternama. Tidak perlu secara gamblang dijelaskan, namun Anda pasti paham sekali risikonya pada anak sendiri. Belum lagi, cyberbully yang diterima sang anak bisa membuatnya depresi dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. “Parental control harus diperketat untuk kegiatan vlogging di usia 6 - 11 tahun, karena anak di rentang umur tersebut belum memahami tentang niat jahat orang lain terutama di dunia maya,” ungkap Rosdiana. Cara sederhana untuk menjaga anak Anda dalam media sosial adalah turut mengawasinya dengan menjadi follower akun miliknya. Selain itu, minta sang anak untuk menjadikan akunnya privat, agar tidak semua orang bisa menyaksikan atau stalking setiap langkahnya. Selain pertimbangan keamanan, vlogging juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak. Bukan rahasia lagi kalau di dunia media sosial, jumlah like dan follower seolah mendominasi tujuan dari pembuatan vlog. Apalagi anak belum mementingkan idealisme atau prinsip dari isi vlog yang ia buat, melainkan semata-mata ingin memperoleh viewer sebanyakbanyaknya agar terkenal. Goal itulah yang di kemudian hari akan mendatangkan sifat superficial yaitu terbiasa mementingkan penilaian dari orang lain terhadap dirinya. Padahal kehidupan di dalam vlog hanyalah sekilas dan sudah diatur demi menghibur para penonton layaknya reality show. Bahkan banyak pengguna media sosial yang menikmati negative publicity demi meraup jutaan follower. Hal itu pun lagi-lagi akan mendatangkan
EKSPLORASI TANPA BATAS Namun membuat karya vlogging memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apabila Anda telah menelaah segala konsekuensi dari pembuatan vlog anak, sebenarnya mendukung anak menjadi Youtuber atau vlogger bisa membantunya dalam hal penemuan diri. Sang anak akan belajar mencari tahu lebih dalam lagi tentang hal-hal yang ia anggap menyenangkan. Misalnya, ketika akan membuat video, ia harus memikirkan konsep, menjelajahi ide menarik, merangkai artikulasi dalam berbicara di hadapan kamera supaya viewer menangkap tujuan yang ingin diraih dari video tersebut. Apalagi generasi sekarang lebih mudah membaca tren yang sedang berkembang di antara sesama vlogger. “Kultur generasi Z kelahiran tahun 2000 ke atas sifatnya lebih universal. Contoh, ketika di Amerika Serikat sedang gemar bermain slime, di sini pun sama. Berbeda di era sebelumnya ketika anak Jakarta senang bermain lompat tali, di Surabaya lebih menyukai permainan petak umpet. Artinya, generasi sekarang lebih mudah menemukan persamaan dan hal yang disukai anakanak lainnya,” Rosdiana menjelaskan. Selain itu, nyatanya membuat vlog lebih baik dibandingkan bermain konsol game. Mengapa? Karena ketika anak sedang berkutat dengan konsol game lalu bosan, ia cukup mengakhiri permainan tersebut lalu beralih kepada hal lain. Rosdiana kurang mendukung hal tersebut. “Dilihat dari kacamata psikologi, kebiasaan itu akan mempengaruhi ketahanan mentalnya, karena konsol game lebih monoton meskipun bisa bermain dengan gamer lainnya. Berbeda dengan vlogging yang membutuhkan kematangan konsep, penyusunan strategi agar video disukai orang lain, lalu riset tentang konten. Selain melatih mereka untuk kreatif, juga mengajar untuk konsisten,” ujarnya. Bahkan untuk anak usia remaja, vlogging bisa menjadi sarana untuk belajar mengenai produksi film, mengedit, presentasi, dan manajemen data yang berguna ketika dewasa nanti. Peran orangtua sangat besar dalam menjaga kegiatan sang anak tetap seimbang. Vlogging bisa menjadi wadah positif apabila orangtua turut berpartisipasi dan selalu mengajaknya tetap aktif di dunia nyata. Batasi waktu bermain internet dalam bentuk apapun dengan cara membuat ritual interaksi sosial, kemudian berolahraga. Rosdiana berharap agar orangtua senantiasa mengarahkan dan terlibat dalam setiap tahap pertumbuhan anak. “Seorang anak masih memiliki energi yang sangat besar, maka mengalihkan perhatiannya dari bermain gadget dengan bergerak akan bermanfaat bagi perkembangan motorik kasar dan emosinya.” Dan ingat, orangtua merupakan pagar terdepan sebelum sang anak melangkah lebih jauh. Maka lindungi mereka sebaik-baiknya dengan keputusan yang bijak.
bisa menjadi wadah positif apabila orangtua turut berpartisipasi dan selalu mengajaknya tetap aktif di dunia nyata.