MASA TERBAIKNYA
…dari neneknya yang berdarah Prancis, selama bertahun-tahun. Pada masa Perang Dunia II, nenek Lily masih kecil, ia tinggal di daerah pedesaan Prancis. Saat itu Nazi mengambil alih rumahnya dan seluruh keluarga terpaksa pindah ke Paris dalam iringan tentara Prancis. Saat mereka akhirnya kembali setelah perang usai, mereka menemukan rumahnya telah hancur, gudang bawah tanah kebanjiran, mantel bulu mengapung di atas air. “Saat saya berbicara dengannya,” ujar Lily sambil terpana, “Saya membayangkan hidup mereka benar-benar berubah drastis, semua kengerian itu, dan bagaimana ia sanggup menjalaninya dan kini bisa duduk di sini sembari menikmati secangkir teh dengan sang cucu.” Ada sesuatu tentang mantel bulu itu: bagaimana detailnya dapat menampilkan sebuah imaji, sebuah momen tidak signifikan dalam satu kronologi epik akan kehancuran yang entah tanpa alasan begitu melekat.
Saya dan Lily James duduk di kafe Highgate berbicara tentang Perang Dunia II karena dia, sekali lagi, membintangi film dari masa itu. The Guernsey Literary and Potato Peel Pie Society, adaptasi dari buku yang diterbitkan tahun 2008 dengan judul yang sama, karya Mary Ann Shaffer dan Annie Barrows. (Nyatanya ia tampil di dua film, yang dirilis secara berurutan. Satu lagi adalah Darkest Hour, di mana ia berperan sebagai sekretaris Winston Churchill). Lily berperan sebagai Juliet Ashton, sosok penulis muda berjiwa karismatik asal Inggris yang berada di era setelah perang, di mana ia mencari kembali kehidupannya saat rumahnya hancur akibat pengeboman The Blitz. Pada masa peperangan, Juliet mendapat suatu ketenangan berkat kolom humornya. Semua orang di Inggris menderita dan berjuang, sementara komedi seketika mengelevasi suasana konflik itu, namun Juliet tidak mendapatkan pencerahan yang sama saat negaranya sedang mencoba untuk memulihkan kondisi. Kebetulan, ia menerima sebuah surat dari seorang pria bernama Dawsey Adams di Guernsey yang dulu pernah membeli buku yang dulu dimilikinya. Mereka mulai bertukar cerita, dari kisah Juliet berpelesir ke pulau, berteman dengan anggota Guernsey Literary and Potato Peel Pie Society dan menemukan kesadisan sejarah di era pejajahan Nazi. Dalam periode tersebut, mereka jatuh cinta dan Juliet menemukan topik untuk novel barunya. Jika Anda pernah membaca buku yang dijadikan sebagai sumber untuk film, Anda pasti familiar dengan kesenangan yang bersifat adiktif itu. Ini merupakan sebuah epistolary – sebagian besar surat tersebut diceritakan oleh Juliet tentang pertualangannya di Guernsey, namun ada juga ungkapan tragis dari para penduduk pulau untuknya. Struktur itu hampir menyerupai puisi tertulis, seni dari menulis surat, dan sesuatu yang terlihat seperti sebuah hal yang kuno, menaruh pena di atas kertas untuk mengungkapkan pikiran merupakan gagasan romantis (bertentangan dengan menaruh suntingan gambar di Instagram). Surat karya Juliet dipenuhi dengan humor dan emosi, keberaniannya menjadi semangat untuk gerakan wanita.
Jaket wol dan jumper, keduanya dari BURBERRY. Rok tweed, sabuk kulit, keduanya dari HOLLAND & HOLLAND. Sepatu, CHURCH’S. Kaus kaki, milik stylist. Ada sebuah cerita yang Lily James dengar…
la tetap memancarkan kegembiraannya, suatu semangat Inggris yang seringkali terlihat di layar lebar
Lily James entah bagaimana dirancang untuk memerankan karakter seorang Englishwoman yang terbuka dengan spirit dari era lampau. Sosok tersebut tidak terlalu jauh dari perfomanya yang membawa ia pada ketenaran, Rose di Downtown Abbey – sosok karakter yang suka menari dan musik jazz, mengacaukan masalah politik yang ditekankan. Dan ia membawa banyak semangat di perfomanya – dari awal, setelah lulus dari Guildhall School of Music & Drama, lalu memainkan tokoh Ethel Brown di Just William, sampai blockbuster Cinderella versi Kennet Branagh. Hari ini, ia menghirup teh dan madu dengan suaranya yang sudah lelah, mengenakan winter coat yang besar, poni coklatnya menutupi mata, namun ia tetap memancarkan kegembiraannya, suatu semangat Inggris yang seringkali terlihat di layar lebar. Bahkan pada saat ia mengumpat, terasa antusiasme seorang pemenang. Ia selalu memikirkan mengapa ia selalu menjadi bagian untuk drama masa lampau. “Mungkin itu apa yang dilihat orang-orang dari saya,” ujarnya mengacu pada karakter Rose. “Tetapi di waktu bersamaan, dengan Guernsey saya sangat menyukai naskahnya, dan saat menontonnya kembali yang sangat saya suka adalah bahwa – dan setiap orang yang menontonnya mengatakan hal yang sama – film ini terasa sangat modern.” Modernitas itu adalah bagian dari buku aslinya, yakni memiliki kisah spektakuler untuk diceritakan – sebuah kisah, seperti yang diberitakan oleh neneknya, yang telah turun menurun dari generasi ke generasi. Guernsey dimulai dari beberapa dekade sebelumnya oleh seorang wanita Amerika, Mary Ann Shaffer. Pada perjalanan singkatnya ke pulau, Mary terjebak di bandara dan saat ia sedang menunggu kabut untuk naik – berdasarkan kisah sepupunya dan co-author Annie Barrows – ia mulai membaca tentang sejarah pulau Guernsey di toko buku bandara. Ia menjadi terobsesi – terkesima bahwa ia tidak pernah tahu tentang pejajahan Nazi di pulau yang sangat dekat dengan daratan Inggris. Akhirnya, Mary menulis sebuah draf untuk novelnya, tetapi pada saat penerbitnya datang untuk merevisi, kondisi kesehatannya sedang tidak baik sehingga harus diteruskan oleh Annie. “Ia menelepon saya lalu berkata, ‘Bisakah Anda mengerjakan ini, menyelesaikan buku ini untuk saya?’” Annie mengatakannya kepada saya via telepon dari rumahnya di California. “Saya merasa konyol untuk menjanjikan hal tersebut. Bagaimana caranya Anda dapat menyelesaikan buku milik orang lain?” Walaupun ia adalah seorang penulis buku anak-anak, bibi yang setia, dan juga menyetujuinya. “Saya mulai membacanya seperti wanita gila,” katanya, dan ia dengan cepat tenggelam dalam sejarah. Menulisnya tidak semenantang yang dikira, “Saya telah mendengarkan Mary Ann selama hidup saya,” ungkapnya. “Saya tahu alur cerita yang ia ingin sampaikan.” Annie berkata kepada Mary bahwa ia sangat bergairah dengan idenya yang sekarang dijadikan sebuah film. “Ia sangat mencintai film itu sepenuh hatinya,” ujarnya. “Ia adalah satu-satunya orang yang saya kenal untuk menonton Gone with the Wind dua kali sehari.” Pada saat pembuatan Guernsey, Annie meluangkan waktu di set: “Lily terlihat cocok dan sesuai dengan imaji karakter saya akan Juliet, dan ia juga membawakan emosi kegembiraan dari sosok Juliet yang merupakan aspek sangat penting bagi saya.” Keceriaan adalah keahlian Lily, bahkan ia tetap membawakannya setelah proses syuting film berjangka panjang, di mana ia tidak memiliki waktu istirahat bertahun-tahun. Baru-baru saja, ia berhasil masuk ke dalam sekuel Mamma Mia! Dan pada akhir puncak, sebuah produksi film kecil dan indepeden bernama Little Woods, ditulis dan disutradari oleh Nia Dacosta, yakni Lily menjadi seorang wanita yang tinggal bersama anaknya berumur 6 tahun di karavan yang terletak di luar North Dakota Walmart. “Saya berpikir: ‘Bagaimana caranya saya melakukan ini?’ Namun saya juga menyukainya.” Sekarang, waktunya ia dan suaranya untuk beristirahat. “Saya sebenarnya tidak pernah rehat dalam waktu lama. Anda memerlukan satu momen untuk melepaskan karakter dan orangorang yang bekerja bersama Anda serta lokasi yang berbeda dengan Anda tinggal.” Ini juga dengan anehnya, merupakan waktu yang intens, karena kejadian akibat Harvey Weinstein dan gerakan #Metoo yang terus menerus terasakan. Bagaimana ia melihat industrinya sekarang setelah era Harvey? “Post-harvey era,” ujarnya. “Itu adalah judul yang baik,” saya bercanda bahwa Harvey mungkin mencoba untuk muncul kembali dengan membuat film dari kisah pribadinya. Lily membantah, “Ia tidak akan membuat sebuah comeback. Tidak ada kemunculannya kembali!”
Ia mengakui, meskipun perilaku Harvey bukan lagi rahasia: “Dengan Harvey semuanya rumit. Semua orang terlibat. Dan itu merupakan hal yang sulit karena itu pengetahuan dasar. Dan saya terkejut akan luasnya topik ini.” Seperti yang Lily lihat, Hollywood kini pokoknya sudah bergeser. Sudah waktunya untuk dia mengatakan bahwa setelah bertahun-tahun diperingatkan untuk bertemu dengan sutradara dan produser film sendiri. “Saya telah mendatangi beberapa pertemuan di mana saya merasa, “Sebentar, saya seperti lagi berkencan – mengapa saya merasa seperti itu?” ujarnya. “Saya bercerita kepada teman saya bahwa terkadang sepertinya sutradara hanya memberi peran kepada orang yang mereka ingin tiduri… Mereka tidak boleh berpikir seperti itu lagi. Mereka akan takut untuk melakukan hal seperti itu. Mungkin topik ini akan meluas, tetapi itu bagus, karena sekarang menyalahgunakan kekuasaan akan disorot di setiap media cetak dan media sosial. Itu ada di mana-mana.” Langkah yang tepat untuk momen ini, kata Lily, adalah dampak dari posisi wanita: penulis, produser, sutradara. “Saya ingin dikelilingi secara setara dengan pria dan wanita di industri ini,” ungkapnya. Seringkali ia melihat kembali di film, disutradari oleh pria, dan berpikir “Tidaaaak.” Lily menutupi wajahnya seperti ia sedang melihat film horor. “Seringkali kisah saya diceritakan oleh pria, yang seharusnya saya lakukan menurut ide mereka.” Mungkin ini mengapa Juliet Ashton di Guernsey terasa penuh kasih sayang dan benar: sosok karakter yang ditulis oleh dua wanita yang memiliki suara sejujurnya dan berpendirian, dan juga diperankan oleh seorang aktor yang akhirnya dapat membicarakan sebagai wanita yang bekerja di industri perfilman sebenarnya dengan banyak tututan tersebut. Tetapi seperti sebuah kisah yang diceritakan oleh perempuan, Guernsey juga berhasil untuk menjadi romantis dan juga menyelediki sejarah dari kompleksitas kerja para manusia di masa pejajahan. Mengapa Mary sangat terkonsumsi oleh zaman tersebut? “Perang Dunia II adalah suatu hal yang menyelimuti sang negara,” jelas Annie. “Semuanya terlibat dalam hal ini… Jadi bagaimana hal tersebut membantu jadi sumber dari semua cerita ini?” Lily setuju, dan melestarikan budaya era peperangan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan juga tantangan untuk hidup secara normal dengan kondisi di ambang hidup atau mati. “Risikonya sangat tinggi”, katanya. “Anda melihat orang menjalani hidupnya dan bekerja dalam keadaan ekstrem ini.” Ada kesadaran di suasana politik sekarang yang tidak puas dan penuh kecemasan, dan melihat kembali ke masa lampau dengan rasa bangga dan patriotisme yang kini tidak terasakan. “Saya merasakan itu pada saat menonton Darkest Hour,” ujarnya. “Apapun yang Anda pikirkan tentang Winston, pidato terakhirnya saat mempersatukan negara – ia adalah suara bagi orang-orang. Lalu Anda berpikir, oh, di mana itu semua sekarang?” Kita berpikir perang adalah kejadian di masa lalu, karakternya terdengar seperti fiksi dibanding sejarah (selama dua tahun terakhir, Winston telah diperankan oleh sejumlah figur, dari Gary Oldman di Darkest Hour, sampai Michael Gambon di Churchill’s Secret, dan John Lithgow di The Crown). Tetapi nyatanya, hal ini masih bergema keras. Suatu malam, kata Lily, ia dan kekasihnya, seorang aktor bernama Matt Smith, menonton Schindler’s List. Bukan suatu waktu yang santai di rumah. “Saya tahu,” katanya sembari menggeleng kepala. “Tidak, saya tidak mau menonton itu, Matt. Saya tidak bisa menjalaninya,” ujar Lily. Sang kekasih berkata, “Tidak, tidak, kita harus menontonnya.” “Di akhir film saya hancur, menangis, dan saya senang telah menyaksikannya karena Anda benar-benar melihat imaji para pengungsi yang selama ini ada di berita. Anda harus diingatkan akan itu.” Segera setelah kami berjumpa, Lily pulang ke rumah ibunya di Surrey, tempat ia tumbuh dengan dua kakak-adik laki-laki (ayah Lily, James, meninggal pada tahun 2008 dan nama belakang panggungnya diambil dari nama tersebut sebagai tanda penghormatan; nama keluarganya adalah Thomson). Di sana, ia akan bertemu dengan neneknya lagi. “Saya tidak sabar untuk melihatnya,” katanya. Apakah mereka dekat? “Sangat dekat.” Itu juga merupakan suatu kekuataan dari cerita – seorang nenek duduk bersama cucunya, menceritakan kisah tentang masa kecilnya pada saat digeledah oleh tragedi perang, dan cara untuk membuat masa-masa itu terlupakan. Masa lalu bukanlah sebuah fiksi; itu ada di kehidupan orang-orang yang kita cintai.
"Terkadang sepertinya sutradara hanya memberi peran kepada orang yang ingin mereka tiduri. Mereka tidak boleh berpikir seperti itu lagi"