MODE DI RANAH SINEMA
GUSTI ADITYA MENGAJAK CHITRA SUBYAKTO UNTUK MENELUSURI DAN MENGURAI PERAN MODE DI SINEMA INDONESIA.
Lewat Djam Malam, Tiga Dara, Pasir Berbisik, Realita, Cinta dan Rock 'n Roll, Berbagi Suami, dan Athirah. Mungkin Anda bertanya-tanya apa kesamaan dari sederet film tersebut. Saya dan Chitra Subyakto sepakat bahwa film-film di atas sukses mengeluarkan sisi terbaik mode Indonesia, baik melalui ceritanya maupun komposisi busana yang sanggup memperkuat akting para tokohnya. Secara tidak sadar, kami juga sepakat bahwa sudah sedari dulu industri film Indonesia telah menampilkan sisi gemilangnya dalam mode.
BAHKAN, FASHION JUGA ‘BERTUGAS’ MENJEMBATANI PENONTON AGAR DAPAT MEMAHAMI ADEGAN YANG TENGAH BERLANGSUNG
Namun bukan ini awal perbincangan kami. Saya ingin menggali lebih dalam bagaimana seluk beluk fashion di dalam sinema, khususnya industri sinema Indonesia. Tentu saja, pemilihan Chitra sebagai narasumber bukan asal sembarang. Nyatanya ia adalah sosok yang memahami fashion dari berbagai persepsi. Ia pernah bekerja sebagai editor fashion di majalah, menjadi praktisi perencana kostum untuk banyak film, dan sekarang memiliki label busana yang berkarakter Indonesia. Selama ini, kita hanya menjadi penonton tanpa mengenal lebih dalam bagaimana proses yang terjadi di balik terciptanya sebuah film. Maka ia pun mulai bercerita dari kacamatanya dalam memandang hubungan fashion dan sinema. “Film sebenarnya bertujuan memanjakan mata penonton di dalam layar. Kenapa pakaian di film menarik? Film itu, kan, dari skenario, berasal dari rangkaian huruf yang lantas kita baca, kemudian divisualisasikan di dalam kepala. Misalnya si A, punya karakter begini, pakaiannya akan begini, gajinya sebesar ini, jadi kalau beli baju biasanya di sini. Saat diwujudkan ke film, kita harus betulbetul memperhatikan detail tersebut, sampai ke dekorasi dan atmosfer kamar yang dibuat serasi dengan itu. Kita harus bekerja sama dengan art director juga, karena mustahil kalau didandani berbeda. Misalnya, kalau kamarnya bergaya feminin maka baju-bajunya juga harus mencerminkan itu.” Pertanyaan saya berlanjut ke seberapa esensialnya keberadaan fashion di dalam sinema. Menurutnya, sudah banyak film Indonesia yang mulai memerhatikan pentingnya busana. “Berbeda dengan dahulu yang mungkin masih menomorduakan busana, kini hal itu sudah diperhatikan, karena busana yang tepat merupakan faktor penting yang sanggup mengarahkan mood pemainnya. Misalnya, seorang aktor yang memerankan karakter orang gila, sewaktu latihan tidak mengenakan baju seperti orang gila. Tetapi saat syuting, ia didandani selayaknya orang gila, sehingga sang aktor akan lebih mudah masuk ke peran tersebut. Jadi, fashion di sini sanggup memfasilitasi proses pendalaman karakter. Maka terkadang saat latihan, beberapa sutradara menyuruh aktornya untuk mengenakan baju yang mendukung perannya, untuk membantu mereka mendalami karakter. Misalnya, aktor yang memainkan peran di era lampau, setelan baju vintage sesuai eranya akan sangat menolong.” Bahkan, fashion juga ‘bertugas’ menjembatani penonton agar dapat memahami adegan yang tengah berlangsung. “Sinema itu adalah bahasa visual, berbeda dengan buku/skenario yang detailnya tertulis. Ia harus menjabarkan cerita detik demi detik melalui properti, busana, dan tokoh. Misalnya, di buku/skenario diceritakan seseorang sedang marah atau kecewa, tetapi di film penonton harus menebak dari ekspresi yang dibawakan tokohnya. Jadi dengan penampilan sang tokoh, penonton bisa terbantu untuk membaca kisahnya. Lagi-lagi fashion akan memberi arahan bagi para penonton untuk membaca situasi yang sedang terjadi di dalam film itu,” tuturnya. Chitra pun saya minta untuk menceritakan tahapan kerja tim fashion dalam suatu film. “Sutradara memberikan arahan kepada saya, dia akan menceritakan karakter di filmnya. Misalnya, di film ini akan ada tiga periode waktu; ada masa dia bahagia, masa dia sedang hancur, dan pakaian akan turut merepresentasikan momen-momen itu dengan bantuan pemilihan warna, pengaturan cahaya, dan lainnya. Berangkat dari sana, saya akan membuat sketsa dan moodboard, kemudian mempresentasikannya.” Ia kemudian menambahkan, proses favoritnya adalah ketika harus membuat baju baru terlihat lama dengan proses aging. “Karena tantangannya terletak di cara kita membuat baju-baju baru terlihat seolah-olah lama. Jadi harus dicelup berkali-kali dan seterusnya. Tapi terkadang walau mata telanjang sudah melihatnya nampak lama, di mata kamera malah masih terlihat baru. Ini bisa jadi karena pengaruh lighting.” Sebuah hal menarik saya dapatkan dari Chitra, ia berbagi beberapa tip untuk menata busana di dalam film. “Fashion itu bagian dari film, tidak berdiri sendiri. Fashion semestinya menyatu dengan karakter, jalan cerita, dan propertinya. Salah satu hal penting adalah bagaimana cara ‘mengedit’ dandanan yang ditampilkan untuk sebuah karakter. Seorang stylist harus paham kapan harus berhenti menambahkan barang fashion. Ia harus bisa membuat sang karakter terlihat masuk akal dengan jalan ceritanya. Saran kedua adalah harus bisa memahami badan aktor atau aktrisnya. Kita bisa mengkamuflasenya dengan pakaian, menutupi kekurangan dan menonjolkan keunggulannya. Terakhir, harus pintar memilih warna yang bagus/cocok dikenakan tokohnya. Misalnya, seorang pemain diwajibkan untuk mengenakan warna hijau di sebuah adegan, kita bisa memilih warna hijau mana yang terbaik di kulit tokoh tersebut, karena ada banyak ragam warna hijau. Selain itu juga harus memahami jenis material kain. Kita harus melihat busana tersebut ketika sudah di dalam kamera, karena hasil dari penglihatan mata telanjang dan mata kamera akan sangat berbeda,” jelasnya secara detail. Satu pertanyaan terakhir saya lontarkan, “Jika Anda berkesempatan membuat film, film seperti apakah itu?” Tidak perlu waktu lama untuk menunggu jawabannya: “Suatu film yang bangga akan budayanya (Indonesia). Lihat film Thailand, mereka bangga dengan kulturnya. Berbeda dengan negara kita, yang seolah lebih bangga dengan budaya luar. Tidak sepenuhnya salah, tetapi kalau lebih seimbang tentu akan jauh lebih baik. Coba dibuat satu film, mungkin dalam format film pendek, yang menampilkan bahwa budaya Indonesia bisa keren, dengan cara menampilkan perpaduan busana yang menarik. Bukan berarti harus mengenakan kebaya seperti zaman dahulu, karena sekarang semua serba dinamis. Saya ingin tokoh tersebut menampilkan gaya busana yang mampu mengenakan elemen tradisional dengan gaya kini. Harapan saya, film seperti ini mampu membuka wawasan penonton bahwa ternyata tampil menarik bisa dicapai dengan mengenakan elemen tradisional.”