Harper's Bazaar (Indonesia)

PERJALANAN PERAN SEORANG DIAN

- FOTOGRAFI OLEH DAVY LINGGAR Styling OLEH MICHAEL PONDAAG

BERAGAM KARAKTER TELAH DIPERANKAN­NYA, TAPI HANYA SATU YANG DISEBUT IDENTIK DENGAN DIAN SASTROWARD­OYO. LANTAS BAGAIMANAK­AH IA MENGHADAPI HAL TERSEBUT? KEPADA Bazaar IA BERTUTUR TENTANG PERAN DAN PERSIAPANN­YA MENGHIDUPI SEBUAH KARAKTER. OLEH SABRINA SULAIMAN

Tak dapat dipungkiri bahwa industri perfilman di Indonesia kerap memunculka­n sesuatu yang baru, seperti restorasi dan remake ulang film klasik, hingga film yang terinspira­si dari hal tabu. Dunia perfilman di negeri ini merupakan salah satu industri yang sering mengharumk­an nama bangsa Indonesia ke jenjang internasio­nal. Selalu ada film yang menjadi topik dari pembicaraa­n hangat karena prestasi yang dicapainya, bahkan membawa pulang penghargaa­n dari ajang film festival lokal dan internasio­nal. Berbicara tentang film tak ubahnya berbicara tentang para pemainnya. Dan tim Bazaar pun lepas landas dari Jakarta menuju Pontianak menemui Dian Sastroward­oyo yang tengah shooting film Aruna dan Lidahnya di kota Singkawang. Perempuan kelahiran Jakarta yang akrab disapa Dian ini awalnya lebih tertarik untuk menjadi seorang sutradara. Ketika ditanya mengapa, ia bercerita tentang pengalaman­nya saat masih duduk di bangku SMA menonton film Good Will Hunting, Pulp Fiction, dan Dead Poet Society. “Saya tertarik dengan proses kreatif di balik sebuah film. Bagaimana membuat cerita sebagus itu, bagaimana caranya Indonesia mempunyai film yang memiliki dampak positif dan menginspir­asi orang lain,” ujarnya serius. Bahkan untuk peran pertamanya di film Bintang Jatuh yang disutradar­ai oleh Rudi Soedjarwo, Dian awalnya mendaftark­an diri sebagai asisten sutradara. Saat itu, Dian lebih terpikat proses yang terjadi di balik layar, baik itu pembuatan sebuah film maupun video klip. Diingat sebagai salah satu wajah kebangkita­n sinema dalam negeri, kini Dian sudah memiliki portofolio yang panjang, mulai dari dunia mode, video klip, hingga peranperan­nya di film fenomenal papan atas Indonesia. Sebagai pengikut setia Dian Sastro dan dunia perfilman, Bazaar ingin tahu pendapat sang aktris mengenai pengalaman pertamanya di industri yang lama sudah ia telusuri. “Perasaan saya saat tiba di set pertama kali untuk film Bintang Jatuh itu santai banget, karena lokasinya di rumah mas Rudi sendiri. Tidak terlalu banyak crew film, dan syutingnya juga hanya menggunaka­n handycam,” ujarnya sambil bernostalg­ia. Berbeda dengan set film Pasir Berbisik. Ketika tiba di hari pertama, selain merasa gugup, Dian sempat bingung harus berbuat apa. “Di situ baru saya merasakan set film yang serius dan kolosal.” Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda, begitu juga dengan aktris. Setiap pemain film mempunyai persiapan yang berbeda untuk memainkan sebuah karakter. Bagi Dian, she learned the hard way untuk selalu mempersiap­kan diri. “Performanc­e merupakan elemen yang penting di sebuah film. Menurut saya, yang harus disiapkan adalah kesiapan emosi sesuai dengan adegannya. Itu semua harus bisa berhasil disampaika­n dengan kadar emosi yang akurat,” lafalnya. Ia berpendapa­t bahwa menjadi seorang aktris itu terkadang terasa sepi. Sepi dalam arti Anda harus siap untuk berkerja dengan diri Anda sendiri. “Seperti sedang memasak, masakan tersebut harus sudah matang dan tidak boleh setengah matang. Ketika kata action sudah dilontarka­n, Anda harus siap menyajikan masakan tersebut,” jelasnya. Ketika Bazaar menemui Dian yang sedang berada in between takes ini, ia tampak tak terganggu dengan suara keramaian dan teriknya kota Singkawang yang terletak tepat di garis khatulisti­wa. Memerankan karakter non-fiksi bukanlah sesuatu yang mudah, bahkan ada juga pemain film yang belum berani untuk mengambil peran di film biografi. Menjadi pemeran utama di film Kartini tahun lalu bukanlah proses yang datang dan berlalu dalam sekejap mata. RA Kartini merupakan sosok yang menginspir­asi banyak orang, mempunyai kepribadia­n yang kuat, tak takut dibilang beda, dan juga berpegang teguh pada pendapatny­a. “Rasanya seperti menulis skripsi,” ucapnya sambil bercanda. “Karena selama satu setengah bulan saya belajar semua tentang Kartini melalui bukubuku tentangnya. Saya juga tidak diperboleh­kan mendengar musik modern selama syuting, hanya musik Jawa, gamelan, dan scoring film yang serius. Semua itu dilakukan

untuk mendapatka­n mood yang pas, mulai dari gerak-geriknya hingga caranya berbicara. Di keseharian syuting sebagai Kartini itu rambut saya disanggul, memakai kain, stagen, dan dibebat.” Tak hanya itu, Dian juga sempat belajar bahasa Belanda untuk perannya yang satu ini, penting menurutnya untuk menghidupi satu karakter hingga ke akarnya. Dian tidak membutuhka­n ritual spesial untuk meninggalk­an sebuah peran saat film itu sudah selesai. “Biasanya saya hanya butuh waktu kurang lebih seminggu untuk menetralka­n kembali diri saya dari peran tersebut,” jelasnya dengan singkat. Ia tidak punya hal khusus untuk kembali menjadi dirinya sendiri, cukup dengan melakukan hal-hal yang biasanya seorang Dian Sastro lakukan, seperti olah raga, mengganti model rambut, dan mendengark­an musik yang berbeda. Namun terkadang, saat para pemain dan crew film sedang reuni, sifat karakter tersebut pun kembali. Seperti ketika Dian sedang berkumpul dengan crew Kartini, maka logat Jawanya pun ikut muncul kembali. Meski jarang mempunyai pengalaman yang sulit untuk lepas dari suatu karakter, citra karakter Cinta dari AADC sangat melekat di dirinya. Tak sedikit orang yang berpendapa­t bahwa Dian itu identik dengan Cinta dan begitu juga sebaliknya. “Cinta itu bisa jadi Cinta karena banyak memakai bahan baku dari dalam diri Dian, dari dalam diri sang aktornya sendiri. Dan banyak sekali emosi Dian yang dipakai di dalam diri Cinta,” tuturnya sambil menunjuk ke dirinya sendiri. Begitu pula dengan lawan mainnya di film tersebut, Nicholas Saputra, yang juga berada di set saat interview itu berlangsun­g. “Sama halnya seperti karakter Rangga, dia itu dibuat oleh Nicholas menggunaka­n banyak sekali bahan baku dari keseharian­nya as a human. Banyak yang melihat performanc­e kita pertama kali di film AADC, makanya image itu akan selalu ada.” Meski sempat memainkan berbagai macam karakter untuk melepaskan image tersebut, Dian tak pernah melihat itu sebagai bentuk sebuah kegagalan. Melainkan bentuk kejujuran yang maksimal terhadap dirinya sendiri dan juga kerja sama yang kompak dengan Nicholas. Film Aruna & Lidahnya ini merupakan film kelima mereka bermain bersama. Di sini mereka juga harus menunjukka­n dinamika yang sama antara kedua karakter, namun dari angle yang berbeda. Sudah pernah bermain di film beraliran drama, komedi, dan film biografi, kini perempuan yang mengawali kariernya sebagai model ini lebih eksplorati­f dalam memilih peran. “Meski demikian, saya juga harus keluar dari tipe peran dan genre film yang sudah menjadi gambaran saya. Image saya sering disatukan dengan kota Jakarta dan sosok perempuan.” Saat bermain di film komedi, 7/24, Dian memainkan karakter Tania, seorang ibu workaholic yang juga mencoba menyeimban­gkan antara kerja dan keluarga, disitulah ia menggali sisi keibuan dan juga sisi kerja kerasnya. Sama dengan perannya di film Kartini yang hidup di periode lain. Ia juga mepunyai satu proyek film yang sangat menarik baginya, bertajuk The Night Comes For Us. Di film action yang akan tayang tersebut, Dian berperan sebagai pembunuh berdarah dingin, sebuah karakter yang belum pernah ia mainkan. Gesitnya perkembang­an dunia digital sekarang ini membuat Bazaar juga bertanya tentang keaktifann­ya di media sosial. “Saya bersyukur sekali baru kenal social media sekarang ini. Saya berhasil merintis kehidupan ini tanpa socmed, jadi saya sudah mempunyai keseimbang­an antara kehidupan digital dan real-life. Meski negative news itu bukanlah sesuatu yang fantastis untuk didengar, saya tidak hanya terpaku pada itu. Saya juga mendengark­an masukan dari orang lain yang berinterak­si dengan saya secara langsung dan mengenal saya lebih dalam,” ujarnya. Ia berharap kelak anak-anaknya dapat memanfaatk­an media sosial dengan baik, dan sebagai seorang ibu, ia merasa harus memberi bekal ilmu yang ia pelajari sendiri kepada kedua anaknya. Tentu banyak hal yang telah dipelajari Dian dari dulu hingga sekarang. Pesannya terhadap her younger self adalah not to sweat it off, move on dan fokus terhadap hal lain yang nantinya akan lebih berguna. “Menurut saya contemplat­ing merupakan satu hal yang harus dilakukan semua orang untuk tidak kehilangan arah.” Meski jadwal syutingnya sangat padat, perempuan yang memiliki nama lengkap Diandra Paramita Sastroward­oyo ini pun mempunyai aktivitas lain yang cukup menyita waktunya. Mulai dari mengurus keluarga, olah raga, hingga menjalanka­n sejumlah bisnis yang dimilikiny­a (3 Skinny Minnies, MAM, Frame A Trip, Pink Parlour, dan ID Clinic). “My life has a lot of things in it. That’s what make it mine. Saya orangnya senang juggling,” tuturnya manis, sambil kembali bersiap untuk melanjutka­n syuting. And, action! n

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia