MEMAHAMI SEMESTA
Nicholas Saputra, Mandy Marahimin, dan Chairun Nissa angkat isu perubahan iklim dalam film.
Wawancara eksklusif bersama Nicholas Saputra, Mandy Marahimin, dan Chairun Nissa.
Publik kerap salah tangkap bahwa perubahan iklim hanya bisa diubah lewat langkah besar. Ini juga yang jadi perhatian Mandy dan Nicholas saat memproduseri Semesta yang akan tayang pada 30 Januari 2020. Disutradarai oleh Chairun Nissa dan bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), film ini mengangkat tujuh pejuang dari kota berbeda dalam memerangi dampak negatif perubahan iklim berdasarkan agama dan kepercayaan masingmasing. Lewat kisahkisah ini, penonton bisa menyadari bahwa dampak climate change juga bisa diubah melalui langkah-langkah kecil.
PERUBAHAN NYATA
Ada banyak cara untuk menghadapi perubahan iklim yang bisa diambil dari film Semesta. “Tapi yang paling penting dan menjadi dasar adalah pemahaman bahwa climate change is real. It is changing. Saat ini, ada suatu perubahan yang membuat kualitas hidup kita berkurang dan ini terjadi akibat perilaku kita sendiri,” jelas Nicholas. Dengan memahami hal ini, kita baru bisa menemukan cara untuk berkontribusi sesuai lokasi, kebiasaan, dan interest.
Mengakui hal ini, Mandy pun mengungkapkan bahwa isu global warming sebenarnya memiliki banyak angle sehingga tak bisa mengedepankan satu masalah dari yang lain. “Setiap faktor (limbah plastik, elektronik, makanan, dan lainnya-red) berkontribusi sehingga menimbulkan masalah besar seperti ini (climate change-red). Jadi kita tak bisa bilang, climate change pasti karena ini atau itu,” ujarnya.
PRODUKSI FILM
Baru tayang pada awal 2020, nyatanya film ini sudah dibuat sejak 2017. Dokumenter tentang perubahan lingkungan ini memiliki pendekatan yang cukup unik karena dilihat melalui kacamata agama, kepercayaan, dan budaya. “Belum banyak dokumenter yang bahas dari tiga aspek itu. Kami menggunakan cara bertutur layaknya film fiksi, jadi ada tokoh, unsur masalah, dan segi dramatis yang didesain agar penonton juga bisa menikmati, jadi tidak satu arah saja,” jelas Chairun. Ini juga menjadi kali pertama dirinya bekerja sama dengan Nicholas dan Mandy.
Dalam durasi 90 menit, Semesta menampilkan tujuh kota berbeda yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Pilihan kota memang disesuaikan dengan tema yang diangkat seperti hutan, laut, kampung, dan kota. “Kami ingin menampilkan komposisi yang bisa mewakilkan latar belakang Indonesia,” jelas Chairun. Selain komposisi, para produser dan sutradara juga mengutamakan gender balance.
Layaknya film dokumenter lainnya, Semesta memerlukan riset yang tajam dan mendalam, khususnya ke komunitaskomunitas penggerak perubahan sebagai tokoh utama. Meski begitu, film ini hanya menghabiskan waktu satu tahun untuk produksinya dengan 75 hari sesi shooting yang tersebar selama enam bulan. Hal ini patut diacungi jempol, mengingat kebanyakan dokumenter memerlukan waktu minimal 3-7 tahun untuk produksi. Tentu hal ini hanya bisa terjadi berkat kerja sama tim yang solid.
Namun, tetap saja ada banyak tantangan yang dirasakan oleh ketiganya selama produksi. “Contohnya saat kami mau shooting Festival Gawai Dayak di Kalimantan. Mereka biasanya menunggu tanda dan itu tidak bisa direncanakan padahal time line kami sangat padat. Jadi lumayan mendebarkan,” kenang Chairun.
TANTANGAN DOKUMENTER
Dibanding dengan film fiksi, penggemar dokumenter cenderung lebih sedikit. Banyak orang yang menganggap film dokumenter membosankan. Menghindari hal ini, ketiganya berusaha untuk menampilkan gaya baru yang disebut dokumenter kreatif. Sebagai sutradara, Chairun berusaha agar kamera bisa menangkap halhal puitis sehingga bisa menimbulkan rasa. Mandy juga punya trik lain demi mengantisipasi kebosanan itu. “Setiap kota punya pengalaman visual dan cerita yang berbeda. Tujuh lokasi yang diangkat pun akan diceritakan berurutan seolah kita tengah menonton tujuh film pendek,” jelasnya.
Dokumenter memang lebih dari sekadar film, melainkan proses belajar. Ini pula yang dirasakan Nicholas. “Film dokumenter sebenarnya bisa jadi kesempatan untuk belajar. Kita benarbenar mendengarkan masalahnya hingga bisa mendapatkan ilmu yang banyak. Mungkin film ini hanya menampilkan durasi 1,5 jam, tapi pengalaman yang kami dapat selama produksi tentu lebih banyak,” lanjutnya.
AGEN PERUBAHAN
Banyak nilai yang diharapkan bisa dipetik usai menonton Semesta, salah satunya sebagai bahan refleksi dan reminder bagi masyarakat agar mampu memicu aksiaksi pencegahan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Tak harus besar dan instan, namun bisa dilakukan secara terus-menerus.
Saat ditanya soal adegan paling membekas, Chairun menceritakan tentang sebuah keluarga di Yogyakarta yang tinggal di tanah kering karena mereka ingin mencari tanah untuk dirawat. Di sana, mereka bercocok tanam, memelihara ternak, dan membuat kompos untuk kebutuhan sehari-hari. Gaya hidup zero-waste pun benar-benar diterapkan. Ini tentu bisa jadi salah satu cara nyata yang mampu mengubah climate change.
Film Semesta juga berhasil masuk nominasi dokumenter terbaik di Festival Film Indonesia 2018 dan sempat ditayangkan di Suncine Environmental Film Festival, Barcelona, pada November 2019. Meski begitu, karena nilai lokalnya yang dirasa sangat kuat, penayangan Semesta pun akan lebih fokus pada Indonesia.