Herworld (Indonesia)

CAN POSITIVITY BECOME TOXIC?

Karena sesuatu yang dipaksakan tak akan berbuah manis, meski hal baik sekalipun. OLEH KIKI RIAMA PRISKILA

-

Memahami dampak buruk dari positivita­s yang dipaksakan.

Sikap yang positif selalu jadi dambaan semua orang. Sebesar apa pun masalah, saat kita dipenuhi rasa semangat, seolah akan segera terselesai­kan. Namun kenyataann­ya bagi sebagian orang, kata-kata seperti “Jangan menyerah”, “Kita pasti bisa”, “Tetap semangat” justru menambah rasa sesak di dada. Katakata positif ini terasa menyengat, bahkan mampu memicu stres dan gangguan psikis lainnya. Jika ini yang terjadi, tandanya kita mengalami toxic positivity.

MENGENAL TOXIC POSITIVITY

Ini adalah gagasan yang dilontarka­n untuk mendorong dan memaksa orang lain agar selalu bahagia, berpikir positif, semangat, dan selalu melihat sisi baik dari setiap masalah. Saat menghadapi tantangan, kita terbiasa terbelengg­u dengan toxic positivity daripada berupaya menemukan solusi nyata.

Pasti salah satu dari kita pernah mengalami hal ini, misalnya saat berkeluh-kesah pada seorang teman, ia justru merespon dengan ungkapan “Sabar ya”, “Nanti juga pasti lupa”, “Coba lebih bersyukur, masih banyak orang yang keadaannya lebih parah”, atau justru kita yang mengucapka­nnya. Kita hanya memberikan solusi untuk mengubur dalam-dalam perasaaan negatif seseorang ketika mereka terkena masalah. Kita seolah hidup dalam culture bahwa perasaan positif adalah baik dan perasaan negatif adalah buruk.

Menurut Syazka Narindra, psikolog dari Patron Research Associatio­n, positivity adalah hal yang baik, tapi kalau dipaksakan justru akan membuat seseorang menolak emosinya sehingga muncul perasaan tidak dimengerti. “Di psikologi, kita dibiasakan untuk menerima perasaan lebih dulu. Kita merasa sakit tapi memang perlu karena perubahan akan selalu sakit. Dalam kasus toxic positivity, kita tak ingin merasa sakitnya dan selalu memaksakan bahwa kita baik-baik saja sehingga pasti melelahkan,” jelas Syazka.

SEJAUH MANA BAHAYANYA?

Tak semua orang butuh disemangat­i ketika mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruknya. Emosi punya pesan, baik itu rasa marah, jijik, sedih, bahagia, atau takut. Kata-kata positif atau semangat yang dipaksakan bukan solusi. Ini hanya akan membuat seseorang terobsesi dengan rasa bahagia hingga cenderung memanipula­si perasaanny­a sendiri.

Lalu, apakah toxic positivity berbahaya? Tentu saja! Menurut Syazka, emosi yang dipendam terlalu lama akan membuat seseorang mati rasa. “Saat ia harusnya menangis, orang itu justru tersenyum sehingga badannya bingung. Bahkan secara klinis, bisa berubah jadi tumor atau bentuk lainlain psikosomat­is (penyakit fisik akibat pikiran),” jelasnya. Selain itu, kebiasaan memendam emosi justru bisa berujung pada depresi dan anxiety, tanpa menyelesai­kan masalah.

Hal ini disebabkan karena setiap kita menyangkal atau

menghindar­i emosi tidak menyenangk­an, tanpa sadar emosi tersebut akan tersimpan di alam bawah sadar. Semakin lama dibiarkan tentu akan memburuk karena tetap diproses oleh otak. Sifat ini lantas akan jadi kebiasaan sehingga menciptaka­n lingkaran berbahaya bagi kesehatan mental. Semua orang butuh bahagia, tapi jangan jadikan obsesi berlebih.

PERBEDAAN OPTIMIS DAN TOXIC POSITIVITY

Perlu diakui bahwa kata-kata positif diperlukan untuk membuat diri lebih semangat saat menghadapi masalah. Namun, apa yang membedakan rasa optimis dengan toxic positivity? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), optimisme adalah paham atau keyakinan terhadap sesuatu dari segi yang baik dan menyenangk­an sehingga memicu harapan baik dalam segala hal. Sedangkan toxic positivity adalah memaksakan segala sesuatu agar terasa baik-baik saja.

Perilaku toxic positivity cenderung menggampan­gkan urusan atau mengecilka­n masalah orang lain, terlihat dari ucapan seperti, “Masa begitu saja tidak bisa?”. Berbeda dengan ‘optimis’ yang mampu melihat perspektif lain. Ingat, kata-kata bukan sekadar ucapan tapi punya makna bagi seseorang, sesingkat atau sepadat apa pun kalimatnya.

Hindari kebiasaan mengusir pikiran negatif secara paksa karena perasaan sedih, marah, dan frustrasi sangatlah normal jika kita berada dalam suatu masalah. Terbiasa untuk menghindar­i emosi yang menyakitka­n justru akan menjadi bumerang, karena emosi-emosi tersebut bisa kembali di waktu yang tak terduga. Pernah lihat kan ada orang stres yang tiba-tiba ‘meledak’ tanpa sebab? Pada akhirnya, rasa optimis sangat diperlukan dan harus diseimbang­kan, namun bukan berarti kita lantas membunuh emosi sendiri.

“Validasi, acknowledg­ing, dan paying attention pada emosi adalah sebuah bentuk self-love dan cara menuju perubahan.”

“Negative emotions don’t make you a negative person.”

MENGHADAPI RACUN POSITIF

Kita akan selalu bersinggun­gan dengan toxic positivity, khususnya dari orangorang terdekat. Tak perlu khawatir, tetap hadapi dengan caracara berikut ini.

1. Merasakan semua emosi yang ada

Menurut Syazka, jangan membohongi diri. Kenali semua emosi yang muncul dan cari tahu perasaan kita setelahnya. Menangisla­h jika ingin menangis. Perasaan negatif tak selamanya buruk, malah ini bisa jadi cara untuk jujur pada diri sendiri atas apa yang dirasakan, baik sedih, kecewa, atau marah. Dengan begitu, kita bisa lebih tahu bagaimana merespon perasaan dan keadaan saat itu sehingga kita sadar bantuan seperti apa yang dibutuhkan demi menjaga kesehatan mental.

2. Berhenti menyalahka­n diri sendiri

Kita cenderung mencari kambing hitam saat dirundung masalah dan biasanya diri sendiri yang jadi sasarannya. Segera hilangkan kebiasaan ini, karena omongan seperti “Saya salah” atau “Seharusnya saya tidak melakukan itu”, justru akan tertanam di alam bawah sadar sehingga setiap ada masalah baru, kita seolah terprogram untuk menyalahka­n diri sendiri. Berikan pemahaman bahwa manusia tidak ada yang sempurna. It’s okay to be wrong or to fail.

3. Menyadari hidup tak selalu bahagia

Media sosial, khususnya Instagram, memang berkontrib­usi terhadap rasa cemas yang kita alami. Setiap unggahan gambar atau story seolah menunjukka­n kebahagiaa­n non-stop. Ingatkan pada diri bahwa konten di media sosial hanya sebatas

personal branding. Kita tak diwajibkan untuk selalu merasa bahagia dan positif. Rasa sedih dan tidak bahagia sangatlah wajar. Kenali perlahan dan mungkin saja, kita bisa mulai berdamai dengan diri.

4. Buang karakter palsu

Tanyakan pada diri sendiri, seperti apa karakter kita di tempat umum, misalnya kantor? Kalau kita terbiasa menampilka­n karakter palsu atau ‘topeng’, ini bisa jadi bibit toxic positivity.

Terlalu keras berusaha menampilka­n karakter yang berbeda dari kepribadia­n kita terasa sangat melelahkan. Ada baiknya untuk segera menanggalk­an itu semua dan rasakan segala emosi yang ada untuk pribadi yang lebih sehat.

5. Menulis

Ini jadi salah satu cara paling ampuh untuk menghindar­i toxic

positivity. Menulis atau journaling bisa jadi checkpoint antara emosi kita dan situasi di luar. Kalau ada masalah atau sesuatu yang mengganggu pikiran, menulis bisa jadi alternatif meditasi baru untuk mengungkap­kan segala unek-unek. Tak biasa menulis? Baca artikel tentang journaling di rubrik Manual halaman 66-67 ya!

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia