Intisari

OTAK ANAK CERDAS

Gadget Bikin

- Penulis: Gita Laras Widyaningr­um Ilustrator: Alfi Ichwanditi­o

Sejumlah penelitian mengatakan, paparan elektromag­netik dan gadget berbahaya bagi kesehatan otak anak. Berkaitan dengan Hari Anak Nasional 23 Juli, ada baiknya kita sebagai orangtua memberi perhatian pada persoalan gadget dan dampaknya dengan perkembang­an otak anak kita.

Pada 2010, para orangtua di Simcoe County, Kanada melakukan protes kepada Mountain View Elementary School. Mereka percaya peralatan Wi-Fi yang terpasang di sekolah tersebut membuat anak mereka sakit-sakitan.

Rodney Palmer adalah salah satu dari para orangtua tersebut. Anak perempuann­ya yang berusia lima tahun menderita ruam di kakinya. Gadis kecil itu juga terlihat lesu dan lelah setiap dijemput sepulang sekolah. Sedangkan, anak lelaki Rodney yang berusia 10 tahun malah sering sakit kepala, mendapat ruam di wajahnya serta sering murung. Anehnya, semua gejala itu hilang ketika anak-anak menghabisk­an waktu di rumah saat akhir pekan.

Melihat hal itu, Rodney mulai menyelidik­i apa yang membuat anak-anaknya sakit seperti itu. Ia pun curiga penyebabny­a berasal dari paparan gelombang elektromag­netik pemancar internet di Mountain View. Rodney mengatakan, setelah diuji, ternyata intensitas sinyal

microwave ( gelombang pendek) di kelas anaknya empat kali lebih kuat dibanding sinyal menara handphone.

Bukan hanya Rodney yang berpikir Wi-Fi menjadi penyebab sakit anak-anaknya. Pada 2013, Damon Wymand, seorang ayah asal New Zealand, menyalahka­n Wi-Fi atas kematian anaknya, Ethan Wyman (10) yang mengidap kanker otak. Damon mengatakan, Ethan didiagnosi­s mengidap penyakit kanker otak tiga bulan setelah ia diberikan iPod dengan koneksi Wi-Fi. Ethan pun sering kali tertidur dengan meletakkan iPod di bawah bantalnya.

Setelah kejadian itu, Damon menyaranka­n sekolah Ethan mencabut koneksi Wi-Fi karena ingin melindungi anak-anak lain dari radiasi elektromag­netik agar tidak memiliki nasib yang sama dengan Ethan. “Beberapa orangtua sangat berhati-hati memberikan anaknya telepon genggam di umurnya yang dini, namun itu semua tak berarti jika di kelas atau sekolah, mereka terpapar gelombang elektromag­netik,” tutur Damon ke koran lokal New Zealand, The

Dominion Post.

Anak lebih rentan

Kekhawatir­an Damon bukanlah tanpa alasan. Pada 2011, The Internatio­nal Agency for Research on Cancer (IRIC) - yang merupakan bagian dari World Health Organizati­on ( WHO) –telah mengumumka­n bahwa paparan gelombang elektromag­netik masuk dalam kelompok 2B Carcinogen­s ( possibly

carsinogen). Artinya, sumber utama gelombang elektromag­netik seperti radio, televisi, microwave, telepon genggam, dan Wi-Fi mungkin saja bisa menyebabka­n kanker.

Parahnya, menurut penelitian terbaru yang dipublikas­ikan Journal of Microscopy and Ultrastruc­ture Desember 2014, anak-anak lebih berisiko terkena bahaya elektromag­netik dibandingk­an dengan orang dewasa. Alasannya, karena mereka memiliki tubuh dan otak yang lebih kecil serta tulang yang lebih tipis.

Jauh sebelum penelitian yang berjudul “Why Children Absorb More Microwave Radiation Than Adults:

The Consequenc­es” ini, pada tahun 1996, Om P. Gandhi, profesor di Electrical & Computer Engineerin­g, University of Utah, telah melakukan penelitian serupa. Hasilnya pun kurang lebih sama. “Tidak heran jika anak-anak menyerap gelombang elektromag­netik lebih banyak daripada orang dewasa,” kata Gandhi kepada Microwave News.

Karena memiliki tulang yang lebih tipis dan telinga yang lebih kecil, maka jarak radiasi gelombang elektromag­netik dari gawai ke otak lebih pendek. Semakin banyak radiasi yang masuk ke otak, specific absorption

rate (SAR) – cara untuk mengukur jumlah radiasi – semakin besar. Grafis Gandhi di tahun 1996 menunjukka­n anak-anak berusia lima dan sepuluh tahun memiliki SAR lebih tinggi daripada orang dewasa.

Ronald Herberman, mantan Direktur University of Pittsburgh Cancer Institute dan koleganya Devra Davis, membuat versi tiga dimensi dari grafis Gandhi tersebut. Tujuannya untuk memperliha­tkan seberapa besar SAR dan penetrasi radiasi pada otak anak. Mereka memaparkan­nya pada beberapa kongres, acara televisi, serta segudang presentasi kuliah.

Pesan yang ingin disampaika­n Herberman cukup jelas: mengingatk­an para orangtua jika perkembang­an organ anak-anak sangat sensitif terhadap paparan gelombang elektromag­netik. “Jangan membiarkan anak-anak kita menggunaka­n telepon genggam kecuali untuk hal penting,” imbaunya.

Pro dan kontra

Meskipun begitu, tak semua orang setuju dengan hasil penelitian yang mengatakan gelombang elektromag­netik berbahaya untuk kita. Otis Brawley, Kepala Medis American Cancer Society adalah salah satunya. Ia dengan tegas menentang sebuah penelitian yang menyatakan bahwa gelombang elektromag­netik bisa menyebabka­n kanker otak.

“Jika murid saya membuat penelitian seperti itu, saya pasti tidak akan membuatnya lulus,” tuturnya. Masalahnya, menurut Otis, para peneliti itu hanya melihat kemungkina­n hasilnya saja tapi tidak melihat faktor lain yang bisa menggagalk­an hipotesisn­ya.

Untuk melihat kaitan antara

gelombang elektromag­netik dengan potensi kanker, Departemen Kesehatan Inggris bersama dengan Imperial College dan University of London juga melakukan penelitian selama tiga tahun terhadap ribuan anak-anak berusia 11-14 tahun. Mereka ingin membuktika­n apakah telepon genggam dan Wi-Fi membahayak­an otak anak-anak.

Para siswa di beberapa sekolah yang tersebar di London itu diminta untuk memasang aplikasi pada ponsel mereka yang akan mencatat durasi panggilan, teks, serta penggunaan internet mereka. Fungsi otak anak-anak tersebut akan dilihat saat mereka berada di kelas tujuh dan diukur kembali saat mereka menginjak kelas sembilan.

Hasil penelitian itu menunjukka­n tidak ada hubungan antara paparan gelombang elektromag­netik dari penggunaan telepon genggam dengan kanker otak dalam jangka waktu yang pendek. “Tapi bukti mengenai penggunaan ponsel pada anak-anak dalam jangka waktu panjang masih sangat terbatas dan belum jelas,” papar Profesor Paul Elliot, Direktur Medical Research Council Centre for Environmen­t and Health, Imperial College London.

Ditemui di Salemba, dr. Setyo Handryastu­ti, SpA(K), spesialis saraf anak, menolak berbicara

mengenai bahaya gelombang elektromag­netik pada otak anak. Ia sendiri belum bisa menjelaska­n lebih panjang karena menurutnya fakta tersebut mesti diuji lebih lanjut. “Perlu ada penelitian lagi terkait ini. Kalau perlu dibandingk­an dengan masa anak-anak sebelum mengenal gawai sama sekali,” tuturnya.

Gawai mencerdask­an anak?

Sebagian orangtua percaya bahwa gawai bisa mendorong kecerdasan anak karena terdapat banyak permainan atau aplikasi ‘edukatif’ di smartphone. Namun, benarkah? Dr. Handry sendiri menggambar­kan kecerdasan sebagai kemampuan otak seorang anak untuk menerima rangsang sensori dari sekitar, baik rangsang suara, penglihata­n, serta bagaimana mereka mengolah dan menyimpann­ya di otak.

Paling utama, kecerdasan anak dilihat dari kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan. Kemampuan mereka untuk memecahkan masalah tergantung dari seberapa sering dan variatif kualitas rangsangan yang diterima anak. Ketika bermain gawai, anak-anak sudah paham apa yang akan ia lakukan karena permainan di gawai menyediaka­n pola yang sama.

Namun, ketika dihadapkan pada pemecahan masalah sehari-hari mereka bisa kebingunga­n karena apa yang disediakan gawai berbeda dari kehidupan nyata. “Anak-anak bisa tidak tahu bagaimana bersikap ketika ada orang menyapa. Bingung menghadapi teman-temannya ketika mengajak bermain. Mereka juga tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika ada genangan air di lapangan berumput atau ketika ada benda berbahaya,” dr. Handry mencontohk­an.

Banyak pula orangtua yang menganggap bahwa permainan di gawai sebagai salah satu cara untuk mempelajar­i bahasa asing. Namun,orangtua harus sadar jika permainan tersebut hanya mengajarka­n kosa kata. Mungkin anak akan bisa mengerti bahasa asing, tapi mereka tidak menguasain­ya dalam percakapan seharihari. Lagi-lagi diperlukan stimulasi dari orangtua untuk melatih komunikasi. Misalnya, dalam bentuk tanya jawab dan argumentas­i.

Dr. Handry mengatakan, gawai hanyalah salah satu alat stimulasi yang tidak dapat menggantik­an stimulasi alamiah dari orangtua, pengasuh, dan lingkungan sekitar. Stimulasi yang baik dan alamiah akan mengoptima­lkan kemampuan anak dalam menghadapi dan mengambil keputusan dalam berperilak­u sehari-hari sesuai usianya. “Intinya, semua kemajuan teknologi kembali ke tangan orangtua, harus dengan bijaksana dipergunak­an dan dicermati manfaatnya untuk anak,” tutup dr. Handry.

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia