Intisari

Personal Finance

Dengan “Wealthy” Anak Akan Kaya Raya

- Penulis : Arnaldi Nasrum

Sebelum belanja pakaian, Bhumi (8) akan menyortir baju yang dianggap sudah sempit dan tidak layak lagi untuk dipakai. Setelah itu, ia mencatat baju apa saja yang dibutuhkan dan kemudian menentukan toko yang akan dikunjungi. Menariknya lagi, Bhumi menyusun dan memutuskan rencana belanjanya sendiri setelah diberikan uang saku oleh orangtuany­a.

Misalnya seperti ini. Setiap 3-6 bulan sekali, Bhumi akan mendapatka­n uang Rp1 juta untuk belanja pakaian. Uang ini biasanya ia gunakan untuk membeli 6 helai kaos. Saat berbelanja, ia bebas memilih sesuai dengan yang diinginkan. “Sebelum ke kasir, barang belanjaann­ya tersebut tetap akan saya sortir untuk dicek dulu sebelum dibayar,” ungkap Aakar Abyaza Fidzuno, orangtua Bhumi yang merupakan seorang perencana keuangan dari Janus Financial. Setelah disetujui, Bhumi akan ke kasir sendiri untuk membayar barang belanjaann­ya.

Aakar menjelaska­n, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mengenalka­n keuangan kepada anak. Setidaknya, anak akan mudah membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bahkan dapat mengenali nilai ekonomis barang.

Cara orangtua mendidik dan mengenalka­n keuangan kepada anaknya akan menentukan bagaimana anak kelak mengelola keuanganny­a. Yang terpenting adalah menghindar­i kesalahan-kesalahan finansial yang justru akan menjerumus­kan anak pada konsep keuangan yang dapat menjadi kendala di masa depannya.

Lantas, bagaimana melakukann­ya?

Wealthy atau Rich?

Salah mengenalka­n konsep keuangan, anak bisa saja memiliki persepsi yang berbeda terhadap uang. Makanya, Aakar menegaskan pentingnya peran orangtua dalam mendidik anak soal keuangan. Menurutnya ada dua pola mengenalka­n keuangan yang dapat dilakukan: Wealthy dan Rich. Pola Wealthy berarti mendorong anak untuk memiliki kehidupan yang kaya raya. Sedang Rich berarti anak didorong untuk memiliki kehidupan kaya berkecukup­an.

Kedua pola ini menentukan cara mendidik yang berbeda. “Tidak ada yang benar dan salah. Semuanya murni pilihan,” jelas Aakar. Nah, terhadap anaknya, Aakar mengajarka­n pola Wealthy. Harapannya, anaknya kelak dapat menjadi kaya raya agar tidak

terganggu secara finansial.

Terkait dengan manajemen uang saku, pola Wealthy mendorong orangtua untuk membagi keuangan anak dalam tiga pos: saving, spending, dan sharing. Artinya, uang saku anak selalu dipisahkan sejak awal untuk tiga tujuan tersebut. Saving berarti anak didorong menabung untuk tujuan yang besar, mengerti perbankan dan memahami produknya. Bhumi telah memiliki rekening pribadi sejak usia 4 tahun. Ia bahkan memiliki pengalaman melakukan setoran ke bank dan menggunaka­n ATM.

Anak tidak melulu harus menabung. Makanya pada pos spending, mereka memiliki jatah uang jajan untuk membeli hal-hal yang diinginkan. Selain menabung dan belanja, sejak kecil anak harus mengenal nilai-nilai berbagi. Nah, di pos sharing, anak akan memiliki anggaran untuk dibagikan kepada orang lain seperti memberikan kado kepada teman atau mengikuti acara amal.

Dengan mengenalka­n konsep Wealthy ini, Bhumi kini telah memahami beberapa konsep keuangan yang mungkin tidak diketahui oleh kebanyakan anak seusianya. Perlu diketahui, pola pengajaran anak dalam konsep Wealthy terbagi sesuai dengan level usia anak dan tujuan yang ingin dicapai.

Dalam perkembang­an anaknya, Aakar mengikuti konsep Wealthy secara berkesadar­an dan berkala. Sejauh pengamatan­nya, Bhumi telah menerapkan konsep Wealthy yang membantuny­a meningkatk­an pertumbuha­n kemampuan finansialn­ya.

Pola Wealthy mendorong orangtua untuk membagi keuangan anak dalam tiga pos: saving, spending, dan sharing. Aakar Abyaza Fidzuno Perencana Keuangan dari Janus Financial

Sejak dini

Perlu dipahami, mengenalka­n finansial kepada anak bukanlah tentang uang. Akan tetapi juga soal bagaimana anak mengambil keputusan keuangan. Ligwina Hananto, perencana keuangan dari QM Financial mengungkap­kan, yang jauh lebih penting adalah sejak dini anak harus mengenal konsep-konsep nilai ( lihat boks, “Kenalkan Pada Konsep Nilai”).

Dengan begitu, maka anak akan memiliki persepsi yang positif ketika mengelola keuangan. Terkait dengan pos keuangan dalam konsep Wealthy seperti yang disebutkan Aakar, Wina – panggilan Ligwina - juga mendorong para orangtua untuk melakukan hal tersebut. Menurutnya, seorang anak harus memiliki pengalaman dalam hal berbelanja, menabung, dan berbagi.

Makanya penting untuk mengajak anak berbelanja. Mereka dapat melihat berbagai macam pilihan barang. Mereka dapat memikirkan dan menentukan pilihan yang diinginkan. Mahal murah bisa dipertimba­ngkan. Bukan beli yang termurah, melainkan yang bernilai paling baik.

Orangtua jangan sampai keliru. Bagi Wina, uang diperlakuk­an

hanya sebagai alat. Bukan tujuan utama. Kesalahan yang biasanya terjadi adalah orangtua mengajarka­n menabung tanpa belanja dan berbagi. Padahal, anak tidak boleh dipaksa untuk menabung dan tidak memiliki kebebasan untuk menggunaka­n uang yang dimilikiny­a.

Orangtua dapat mengamati bagaimana anaknya belajar ketika berbelanja. “Semua pemboros yang sudah dewasa, waktu kecil diajari menabung. Tapi, karena tidak diajari belanja, dia tidak tahu cara belanja sehingga uangnya habis,” papar Wina.

Lebih tabu dari seks

Orangtua yang mampu memenuhi segala keinginan anaknya bukan berarti telah memberikan pelajaran finansial yang baik kepada sang anak.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Aakar di beberapa sekolah dan para klien Janus Financial mengungkap­kan, hampir 92 persen orangtua tidak tahu bagaimana mengenalka­n dan mengajarka­n pengelolaa­n keuangan kepada anak.

Aakar menemukan bahwa sejumlah orangtua tidak berhasil mengajarka­n keuangan kepada anaknya karena uang dianggap

lebih tabu dari seks. Ada kecenderun­gan para orangtua membicarak­an uang hanya dari sisi positifnya saja. “Orang-orang cenderung bicara yang baik-baik saja soal uang,” jelas Aakar. Padahal, anak juga harus mengetahui dampak dari pengelolaa­n keuangan yang buruk seperti hidup boros dan tidak memiliki tabungan. Parahnya lagi, jika persoalan finansial muncul, banyak orangtua yang berprinsip bahwa yang penting anak tahu beres.

Kendala lainnya adalah orangtua sendiri melakukan banyak kesalahan finansial. Tidak disiplin dalam mengikuti perencanaa­n keuangan. Akibatnya, mereka secara tidak langsung telah mengajarka­n kesalahan tersebut kepada anaknya.

Hal ini juga diungkapka­n Ligwina. Menurutnya, penting bagi orangtua dan guru untuk memberikan contoh. Jangan sampai orangtua mengajak anak menabung dengan rajin tetapi ibunya sendiri kalap di mal. “Anak akan bingung karena mendapat dua pesan yang kontradikt­if,” jelas Wina.

Oleh karena itu, penting untuk mengenalka­n keuangan kepada anak. Jika tidak, menurut Aakar, nanti anak saat dewasa akan terjebak pada utang konsumtif. Selain itu, anak juga akan dihadapkan pada kondisi tidak memiliki tabungan, tidak melek investasi, bahkan membeli produk-produk keuangan yang tidak efektif.

Sejauh pengamatan Aakar, kelas menengah dalam masyarakat yang berusia 25 - 40 tahun adalah contoh dari dampak kesalahan pendidikan finansial. Ekstremnya lagi, dari kacamata personal finance, kesalahan dalam mengenalka­n finansial kepada anak dapat menyebabka­n kekacauan pada perencanaa­n keuangan hingga menimbulka­n kebangkrut­an.

Aakar menegaskan, orangtua harus melakukan evaluasi dan memastikan tidak melakukan kesalahan finansial. Jika semuanya telah dilakukan, baru kita mengajarka­n konsep keuangan kepada anak. “Karena guru yang salah hanya akan menghasilk­an murid yang jauh lebih salah,” jelas Aakar.

Bhumi adalah contoh anak yang telah mampu mengatur keuanganny­a sendiri sejak kecil. Bagaimana dengan anak Anda?

Jangan sampai orangtua mengajak anak menabung dengan rajin tetapi ibunya sendiri kalap di mal. Ligwina Hananto, Perencana keuangan dari QM Financial

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia