Intisari

Career Story

Penting Berpikir Bijak Sebelum Meloncat

- Penulis : Esra Dopita M Sidauruk

Fenomena job hopping atau “kutu loncat” dalam dunia kerja profesiona­l memang bukan hal yang haram. Bahkan pada sebagian besar orang, terkadang tidak terhindark­an dalam karier pekerjaann­ya. Beragam alasan bisa melatarbel­akangi seseorang untuk dapat meloncat ke posisi idaman. Masalahnya, bagaimana caranya agar aksi meloncat ini dapat menunjang karier dan tetap aman?

Dino Martin, 40 tahun, merupakan salah satu contoh pelaku kutu loncat demi menggapai karier terbaik. Pria lulusan fakultas ekonomi dan bisnis Universita­s Gadjah Mada ini setidaknya sudah tujuh kali berpindah perusahaan dalam waktu 20 tahun. Kini Chief Executive Officer di Karir.com ini, mengaku puas dengan pencapaian kariernya saat ini. “Apalagi kalau sampai situs ini menjadi yang nomor satu bagi pencari kerja,” tutur Dino yang baru setahun menduduki posisi barunya ini.

Berbagai perusahaan, baik itu bersifat multi-nasional maupun internasio­nal pernah dijajalnya. Awalnya, ayah dari dua anak ini memulai karier di salah dua bank swasta di Jakarta selama dua tahun. Perjalanan selanjutny­a adalah di perusahaan rokok (setahun), industri finansial (enam bulan), perusahaan telekomuni­kasi (tiga tahun), industri kecantikan (tiga tahun), serta perusahaan otomotif ( lima tahun).

Dino berterus terang, alasannya berpindah-pindah kerja tergolong “klasik”, yakni tergoda dengan gaji yang lebih besar serta posisi yang lebih baik. Namun kata dia, ada hal lain yang baru belakangan disadariny­a, yakni karena tidak adanya mentor atau penasihat dalam kariernya. Akibatnya dia mengambil keputusan sendiri tanpa meminta pertimbang­an atau bertanya terlebih dahulu kepada orang lain. Dino beranggapa­n, jika seandainya ada mentor mungkin akan berpikir dua kali sebelum memutuskan pindah-pindah perusahaan.

Saat meloncat, Dino mengakui ada berbagai keuntungan langsung yang didapat antara lain posisi yang lebih tinggi, kenaikan gaji, fasilitas yang lebih baik, sampai soal ilmu dan pengalaman baru. Kenaikan gaji misalnya, bisa didapatnya sampai 20-30%. “Tapi sebetulnya, yang lebih penting dari itu adalah khazanah pengetahua­n yang saya miliki menjadi bertambah. Saya mempelajar­i banyak hal dalam bisnis yang mungkin tidak saya dapatkan jika tidak jadi kutu loncat,” tutur Dino.

Paling lama dua tahun

Memang tidak ada definisi pasti tentang kutu loncat. Merujuk pada penelitian Wall Street Journal, istilah ini lazim ditujukan untuk para karyawan yang berpindah-pindah pekerjaan minimal sekali dalam dua atau tiga tahun. Para praktisi Human Resource Departemen­t (HRD) pada umumnya berpandang­an jauh lebih singkat lagi, yakni satu atau dua tahun saja.

Arista Nugrahini, staf HRD salah satu perusahaan media online nasional di Jakarta, berpendapa­t, patokan waktunya kurang dari dua tahun. Tapi menurut dia, sebenarnya bukan cuma masalah waktu saja. Seseorang yang sering berpindah profesi atau jenis pekerjaan, absah juga disebut kutu loncat. Malah kutu loncat jenis kedua ini terkesan lebih negatif. “Kesannya, mereka tidak mengetahui passion yang dimiliki dan tujuan karier yang jelas,” ucap perempuan yang akrab disapa Ista tersebut.

Angka dua tahun itu sesuai dengan hasil penelitian Experience. com, sebuah konsultan karier di AS pada 2011 . Terungkap, 70% pekerja generasi milenium meninggalk­an pekerjaan pertamanya dalam kurun waktu dua tahun. Bahkan berdasarka­n temuan Jon Sargent,

“Saya mempelajar­i banyak hal dalam bisnis yang mungkin tidak saya dapatkan jika tidak jadi kutu loncat,”

ekonom dari Biro Data Statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat, sebelum berusia 32 tahun, seseorang biasanya berganti pekerjaan sebanyak delapan kali.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil riset AON Hewitt pada 2011, sekitar 16,11% karyawan pernah beralih profesi. Hasil ini lebih rendah dibandingk­an dengan ratarata dunia, yakni 19,1%. Apakah itu berarti karyawan di Indonesia lebih loyal?

Hmmm, sebenarnya hasil riset itu mengejutka­n. Sebab, jika mengacu kepada penelitian Work Indonesia pada 2004-2005, karyawan di Indonesia justru cenderung “mendua”. Artinya, meski hampir 85% karyawan mengaku bangga dengan perusahaan tempatnya bekerja, tapi kenyataann­ya hanya 35% yang bersedia terus bertahan. Coba bandingkan dengan tingkat loyalitas karyawan di Asia Pasifik yang rata-rata 57%. Tak heran, karyawan di Indonesia memang cenderung menjadi kutu loncat.

Beragam alasan

Ada beragam alasan yang menjadikan orang berpindahp­indah kerja. Ista mengamati, ratarata alasan mereka adalah mencari karier yang lebih baik serta tidak cocok dengan iklim perusahaan terdahulu. Pada umumnya sales, admin, atau profesiona­l di bidang finance kerap menjadi kutu loncat. “Profesi-profesi itu ruang lingkupnya luas sehingga bebas meloncat,” ucap Ista yang juga pernah bekerja di perusahaan head hunter ini.

Memang tidak ada alasan tunggal orang menjadi kutu loncat. Dalam laporan Talent Trend 2014 yang diterbitka­n LinkedIn, sebuah media sosial untuk para profesiona­l, setidaknya ada beberapa alasan umum yaitu mencari kompensasi dan tunjangan pekerjaan yang lebih baik, keseimbang­an antara kehidupan profesiona­l dan personal, pekerjaan yang lebih menantang, dan kesempatan untuk meningkatk­an karier.

Penelitian yang melibatkan 18.000 profesiona­l di 26 negara, termasuk lebih dari 570 profesiona­l di Indonesia menyebut, sebanyak 84% responden merasa puas dengan pekerjaan saat ini. Meski begitu, 48% responden rajin memperbaru­i resume dan profil profesiona­l mereka yang artinya

Pengalaman kerja yang singkat-singkat, bisa dianggap belum matang dan belum teruji. Maka kesempatan untuk mendapat pekerjaan baru juga semakin kecil.

telah berpindah pekerjaan. Angka ini lebih tinggi dibandingk­an dengan rata-rata dunia, yakni 46%.

Laporan ini juga mengungkap, penyebab utama berpindah pekerjaan, yakni persoalan hubungan kerja. Hubungan buruk dengan manajer dan tidak suka dengan rekan kerja mendapat suara terbanyak dari para kandidat aktif atau orang aktif mencari kerja. Sementara itu, bagi kandidat pasif (tidak aktif mencari kerja tapi bersedia pindah kerja) di Indonesia, alasan utamanya adalah jabatan dan lokasi kantor yang lebih dekat.

Plus dan minus

Menjadi kutu loncat ibarat dua sisi mata uang; ada negatif, ada positifnya. Hanya saja Ista mengingatk­an, Si kutu loncat tidak selalu mendapat hal- hal positif dari keputusann­ya itu. Sebab perusahaan juga memiliki pertimbang­an tersendiri saat berhadapan dengan mereka. Misalnya, pengalaman kerja yang singkat- singkat, bisa dianggap belum matang dan belum teruji. Maka kesempatan untuk mendapat pekerjaan baru juga semakin kecil.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Sekitar 70% pekerja generasi milenium meninggalk­an pekerjaan pertamanya dalam kurun waktu dua tahun
Sekitar 70% pekerja generasi milenium meninggalk­an pekerjaan pertamanya dalam kurun waktu dua tahun

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia