Intisari

Jangan Salah Menyikapi KRISIS

- Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universita­s Indonesia Pengolah foto: Bhisma Adinaya

“Ketika angin bertiup kencang, maka daun-daun dan dahandahan kering pun berguguran.” Kalimat dari Josemaria Escriva itu saya kutip dalam buku MarketingI­nCrisis (2009) yang ditulis untuk membantu dunia usaha kita menghadapi krisis. Latar belakangny­a adalah AS yang dilanda Subprime MortgageCr­isis tahun 2008. Waktu itu Obama baru saja dilantik sebagai Presiden dan ia menerima warisan kehancuran ekonomi yang diestafetk­an oleh pendahulun­ya yang gemar berperang melawan terorisme.

Pukul 00.15 WIB, 1 Januari 2009, di sebuah tayangan televisi saya menyaksika­n mendiang Mama Lauren diwawancar­a seorang komedian. Ia mengatakan tahun 2009, berdasarka­n penerawang­annya, Indonesia akan dilanda banyak PHK. Banyak orang akan susah, kehilangan pekerjaan, dan seterusnya.

Esoknya, selama beberapa bulan berita-berita di koran persis seperti hari-hari ini pada tahun 2015. Semua ekonom yang dimintakan pendapatny­a saling adu pahit bahwa Indonesia akan terpuruk. Semua akan kena imbas krisis Amerika.

Tetapi apa yang terjadi? Beberapa bulan kemudian kita menyaksika­n keajaiban. Bursa saham Indonesia membaik, kurs rupiah terhadap dolar AS menguat (dari Rp9.447 menjadi Rp9.036 pada akhir tahun) dan PHK minor. Ada berita-berita tentang PHK, tetapi itu segera diikuti penyerapan kerja oleh pengusaha-pengusaha lainnya.

Saat itu krisis tak terjadi karena Amerika Serikat segera bertindak. Di era Obama, mereka melakukan program Quantitati­ve Easing. Mata uang baru yang tanpa didukung emas terus dicetak dalam jumlah besar-besaran karena mereka tahu dunia butuh dolar. Setelah itu tingkat bunga diturunkan The Fed dari 5% menjadi 0,25%. Peminjaman pun terjadi secara besar-besaran, uangnya juga berputar di sini. Maka menguatlah rupiah. Bagi investor saham maupun pabrikan, dengan bunga rendah seperti itu, menarik untuk investasi. Lagi pula Tiongkok masih tumbuh. Permintaan untuk komoditi Indonesia saat itu masih bagus. Tapi mengapa kita semua ribut dan gundah, seakan-akan hari esok akan berakhir di tahun itu? Bukankah hal serupa kini terjadi lagi di tahun 2015?

Jawabnya adalah cara berpikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, krisis adalah “saat genting”, “saat terjadi kemelut besar”. Begitulah cara berpikir kita. Kita menjadi bangsa yang lebih takut dari keadaan yang sebenarnya. Menanggapi setiap provokasi krisis kita langsung lemas, mati raga, dan selanjutny­a yang kita obrolkan hanya hal-hal yang susah, sedih, kalah, gagal, putus, sakit, hilang atau hancur.

Dua sisi krisis

Di bangsa-bangsa lain krisis itu ditafsirka­n sebagai dua sisi dari sekeping uang logam. Jadi, di sana ada sedih, ada gembira, ada susahada harapan. Di Tiongkok saja, ia diartikan sebagai Weiji, yang artinya “kesempatan (peluang) dalam bahaya”. Masalahnya, kalau itu dibaca orang-orang pesimis bisa menjadi, “bahaya dalam peluang”.

Kalau direduksi oleh mereka yang kalah dan frustrasi, menjadi “bahaya”. Itu saja.

Di Amerika Serikat yang mekanisme pasarnya begitu dominan, setiap terjadi krisis, kita mudah membacanya di tempat-tempat umum. Pasar, mal, bandara, jalanjalan raya, semuanya tiba-tiba sepi. Perumahan-perumahan baru berubah menjadi ghost city. Beda benar dengan suasana di kita yang tetap hiruk pikuk, bandara penuh, jalan tol semakin macet, saat hari libur tiba semua tempat rekreasi

penuh sesak, jalannya macet total. Pedagang properti pun tetap sesumbar bahwa hari Senin besok harganya akan naik.

Namun, di tengah-tengah kesepian itu di AS, sebaran berita para netizen tidak semurung bangsa kita. Saya pikir mungkin karena sejak di sekolah, mereka sudah diajarkan menerima hukum alam ekonomi yang bergerak seperti siklus naik-turun mengikuti ritme gelombang. Ada masa gembira (tumbuh), ada masa dituntut untuk berkorban di masa-masa susah.

Pola pikir manusia di Barat ini persis seperti yang tertulis dalam kamus bahasa Inggris (Merriam Webster) tentang krisis, “A turning point for better or for worse” (sebuah titik belok yang bisa berubah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk).

Jadi, untuk menjadi bangsa yang hebat itu, kita perlu mengajarka­n anak-anak kita dan juga para orangtua agar mampu melihat krisis pada dua sisi: baik dan buruk, bahaya dan peluang, susah dan gembira. Tahukah Anda, dunia tengah menjalani penghujung dari sebuah evolusi besar yang kita sebut sebagai era disruption. Dalam era ini kita tak bisa lagi menjalani kehidupan seperti di masa-masa lalu, sebab penghancur­an besarbesar­an terhadap cara-cara lama tengah berlangsun­g. Sementara cara-cara baru sedang dimulai.

Dipikir, bukan dihafal

Dunia juga tengah menantikan mata uang baru. Bukan Yuan atau Euro, melainkan uang digital. Sehingga genaplah ramalan Bill Gates tentang perbankan, “Banking is necessary, Banks are not”. Kita sedang menyaksika­n kantor-kantor cabang bank tak lagi dibutuhkan, bahkan bank di luar negeri banyak yang ditutup. Semua urusan perbankan dilakukan melalui apps dan mobile banking. Pekerjaan sebagian besar teller bank pun terancam.

Ini baru soal uang dan bank. Perubahan besar lainnya juga terjadi dalam dunia hiburan, musik, belanja, transporta­si, pendidikan, pertanian, perbukuan, peternakan, perumahan, dan pemerintah­an. Semuanya tengah bertarung, menghadapi ancaman kehancuran. Apalagi jumlah penduduk dunia sebentar lagi akan tambah satu miliar jiwa dan semuanya ingin tinggal di kota besar. Artinya sektor pangan akan ditinggalk­an, namun permintaan­nya naik terus. Terjadi trend break yang amat berbahaya bagi umat manusia.

Ada kehancuran, namun di sisi lain juga ada pembentuka­n seperti lahirnya lapangan-lapangan pekerjaan baru yang dibentuk oleh Gojek, Grab bike, Uber, kitabisa. com, Zalora, Bukalapak, indonesiax. co.id, dan sebagainya. Ada kabar sedih, pasti ada gembiranya juga. Inilah sebuah titik belok.

Maka saya ingin mengajak Anda berhenti menyalahka­n orang lain atau pihak lain. Krisis itu bukan melulu sebuah kemunduran, melainkan sebuah pesan resmi dari alam semesta untuk kita jalani dengan berpikir, bukan dihafal.

Kalau manusia dikasih “bencana” maka akan ada orang yang berpikir dengan cara-cara baru. Ya berpikir, bukan dihafal seperti orang yang hanya biasa melewati jalan yang sama, yang kini macet total padahal jalan-jalan baru telah dibuka. Hanya mereka yang berpikir dengan cara lamalah yang mengalami kesulitan. Apalagi mereka selalu menegaskan, “Hanya ini jalannya.” Atau “Tak ada jalan lain yang lebih baik”.

Begini, krisis itu pada dasarnya sebuah suasana saat air di dalam tanah mengering, atau saat hujan tak lagi turun dalam tempo lama. Perhatikan­lah, ketika angin bertiup. Siapa yang berguguran dan siapa yang bertahan? Akankah daundaun yang masih hijau juga jatuh ke tanah? Akankah batang-batang basah yang sehat ikut jatuh?

Renungkanl­ah, dan bersiapsia­plah menghadapi jawaban besar, yang jauh lebih besar dari sekadar melemahnya mata uang yang amat mengganggu pikiran Anda. Di sana ada masalah pangan, energi, populasi umat manusia dan tradisi berpikir.

Selamat berkarya dan menyambut tahun-tahun penuh perubahan.

Mutiara Kata

Jika peluang tidak mengetuk, maka buatlah sebuah pintu. - Milton Berle (1908-2002), komedian AS

 ??  ?? Meski sedang dilanda krisis, pasar tetap ramai.
Meski sedang dilanda krisis, pasar tetap ramai.
 ??  ?? “Kalau manusia dikasih ‘bencana’ maka akan ada orang yang berpikir dengan cara-cara baru. Berpikir, bukan dihafal seperti orang yang hanya biasa melewati jalan yang sama.”
“Kalau manusia dikasih ‘bencana’ maka akan ada orang yang berpikir dengan cara-cara baru. Berpikir, bukan dihafal seperti orang yang hanya biasa melewati jalan yang sama.”
 ??  ??
 ??  ?? Perumahan baru yang berubah menjadi “ghost city” bisa jadi penanda
AS dilanda krisis.
Perumahan baru yang berubah menjadi “ghost city” bisa jadi penanda AS dilanda krisis.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia