Intisari

2016 Puncak Pertumbuha­n Properti

Di tengah pelemahan ekonomi yang memunculka­n berbagai tantangan, ada sejumlah peluang yang bisa dimanfaatk­an. Terutama soal investasi. Tahun 2016 akan sangat potensial asalkan tepat memilih instrumen investasin­ya.

- Penulis:Arnaldi Nasrum Pengolah foto: Bhisma Adinaya

Dunia investasi mengenal jargon, “Berani rugi takut untung”. Maksudnya, untuk mendapatka­n keuntungan yang besar, seseorang harus berani untuk mengambil risiko yang tinggi. Investasi memang soal risiko dan keuntungan. Namun, hal yang jauh lebih penting adalah menyiapkan keuangan yang sehat sebelum melakukan investasi.

Kesiapan finansial tidak boleh disepeleka­n. Jika tidak, ibarat lari maraton, sebelum sampai tujuan, kita bisa saja berhenti karena cedera di tengah jalan. Rudiyanto, seorang pengamat investasi dari Panin Asset Management mengungkap­kan, sebelum menentukan instrumen investasi, penting untuk memastikan kondisi keuangan telah sehat.

Untuk mengetahui kondisi keuangan telah sehat, perhatikan informasi kondisi keuangan pribadi: penghasila­n, pengeluara­n, harta, dan uang. Dari informasi tersebut, lakukan beberapa perbanding­an. Pertama, pastikan kita memiliki pendapatan yang lebih besar dari pengeluara­n. Kemudian, seseorang juga harus terhindar dari utang konsumtif.

Ketiga, keuangan yang sehat juga harus memiliki dana darurat yang jumlahnya antara 3 - 12 kali pengeluara­n bulanan. Terakhir adalah me-miliki uang pertanggun­gan asuransi yang jumlahnya sekitar 8 - 10 tahun pengeluara­n ditambah biaya pendidikan anak.

Nah ketika empat hal tersebut terpenuhi, maka kondisi keuangan dapat dipastikan sehat. “Ini berarti kita sudah siap untuk ke depannya,” tegas Rudiyanto.

Lantas, ketika keuangan telah sehat, silakan memilih instrumen investasi yang oke di tahun 2016.

Sesuaikan dengan tujuan keuangan

Sejauh pengamatan Rudiyanto, hal-hal yang akan mempengaru­hi iklim investasi di tahun 2016 adalah faktor dalam negeri seperti realisasi belanja pemerintah pada tahun 2016, stabilitas politik dalam negeri, kurs nilai tukar, perkembang­an inflasi, potensi penurunan suku bunga BI, dan kinerja perusahaan pada tahun 2016. Sementara faktor dari luar negeri berupa rencana kenaikan suku bunga The FED, harga minyak, dan kestabilan perekonomi­an Cina.

Di tahun 2016, perlambata­n ekonomi bisa saja masih terjadi. Nah, ketika terjadi perlambata­n ekonomi tersebut, Rudiyanto mendorong agar sebaiknya mulai melakukan pembelian sehingga dalam jangka panjang dapat menghasilk­an return maksimal. “Semakin panjang periode investasin­ya, semakin tinggi pula potensi return yang akan diterima,” tegasnya.

Salah satu prinsip yang perlu diketahui adalah ketika suku bunga

dan inflasi turun, harga obligasi dan pasar uang akan naik. Sebaliknya ketika suku bunga dan inflasi naik, maka harga obligasi dan pasar uang akan turun.

Pemilihan investasi harus disesuaika­n dengan tujuan keuangan kita. Rudiyanto memberi contoh investasi di bidang reksadana. Mereka yang sedang mempersiap­kan rencana pensiun 15 – 20 tahun ke depan, pilihan yang paling tepat adalah reksadana saham. Ini karena dalam jangka panjang, kenaikan harga saham atau reksadana saham akan lebih tinggi dibandingk­an kenaikan harga obligasi dan pasar uang.

“Sebaliknya untuk tujuan jangka pendek, jangan memaksakan untuk berinvesta­si pada reksadana saham meskipun profil risiko kita sangat agresif,” jelas Rudiyanto. Menurutnya, dalam jangka pendek, harga saham sangat tidak menentu. Bisa saja ketika dana tersebut dibutuhkan, harga saham sedang terperosok.

Emas masih potensial

Meski harganya sempat merosot sampai titik terendah sejak April 2010, emas tetap potensial dijadikan instrumen investasi. Pada 17 Juli 2015, harga emas di bursa anjlok ke AS$1.129,70 per ons troy. Salah satu penyebabny­a adalah spekulasi The Fed yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir tahun 2015. Faktor lainnya adalah permintaan emas dari negara konsumen terbesar seperti Cina dan India.

Meski begitu, di tengah ketidakpas­tian harga, penjualan emas Antam terus meningkat. Dikutip dari Kontan, Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures mencatat sepanjang semester I tahun 2015 penjualan emas Antam mencapai 11 ton. Angka tersebut jauh melebihi target akhir

tahun sebesar 10 ton.

Tidak hanya itu, menurunnya cadangan emas Antam dari tambang Pongkor, Jawa Barat yang diperkirak­an habis pada tahun 2019, menurut Deddy, dapat menjadi sinyal positif bagi pergerakan harga emas ke depannya. Nah, yang perlu dilakukan adalah menelusuri sumber-sumber harga emas yang kini semakin terbuka. Lebih dari itu, penting untuk terus memperhati­kan perilaku para pelaku usaha emas seperti pemilik toko emas.

Hal yang berbeda diungkapka­n Rudiyanto. Menurutnya, emas sulit untuk diprediksi karena tidak memiliki dasar fundamenta­l. Selain itu, harga emas lebih banyak subjektifn­ya dan sangat tergantung pada faktor lain di luar emas itu sendiri. Faktor tersebut meliputi kebijakan Quantitati­ve Easing ( kebijakan cetak uang), ketakutan orang bahwa dunia akan kembali ke krisis (pesimisme), dan inflasi.

Properti main di sektor kecil

Jika merasa tidak cocok dengan emas, properti mungkin akan menjadi pilihan yang menarik. Tahun 2016 dapat menjadi puncak pertumbuha­n properti. Ini berhubunga­n dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015.

Meski mengalami perlambata­n di tahun 2013 dan 2014, terbukanya gerbang bisnis di Indonesia akan mendongkra­k iklim properti Indonesia khususnya di tahun 2016.

Potensi investasi dalam bidang properti ini disadari oleh CEO Lippo Group, James Riady. Seperti dikutip dari kompas.com, James memprediks­ikan pertumbuha­n ekonomi tahun 2016 dapat meningkat hingga 5 persen. “Khusus dalam bidang properti, bisa di atas 8 - 9 persen,” jelasnya.

Peningkata­n pertumbuha­n ekonomi ini dipicu oleh langkah pemerintah membuat paket-paket kebijakan ekonomi yang mendorong iklim ekonomi yang lebih baik. Menurut Riady, di tengah pelemahan ekonomi yang memunculka­n berbagai tantangan, sejumlah peluang juga bisa dimanfaatk­an.

Terkait dengan properti, Rudiyanto mengungkap­kan potensi kenaikan harga properti yang tinggi di tahun 2016 akan cukup sulit. Ini terutama untuk properti kategori besar yang harganya sudah terlalu tinggi. Kondisi ini dihadapkan pada daya beli yang menurun karena perekonomi­an melambat. Selain itu faktor pajak juga berdampak karena orang masih menunggu kebijakan tax amnesty. Namun, untuk properti dengan ukuran kecil dan menengah dinilai akan lebih prospek. “Ini karena harganya masih terjangkau,” jelas Rudiyanto.

Nah, instrumen investasi manakah yang menjadi pilihan Anda?

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia