Intisari

Tahun Ini, Jokowi Kesandung

- Penulis: Ari F. Lukmawan, Kontributo­r Intisari

Jokowi akan lengser awal 2016! Itulah ramalan yang pernah dilontarka­n politisi senior, Permadi. Tak pelak, ramalan ini ditanggapi pro dan kontra oleh berbagai pihak. Ada yang percaya, ada pula yang menganggap­nya sebagai angin lalu. Tapi, coba telisik lebih lanjut. Sebenarnya, ramalan Permadi bisa saja jadi kenyataan. Toh, tak ada yang tak mungkin di dunia politik, bukan? Yang tadinya teman, bisa jadi lawan hanya dalam hitungan detik. Orang yang awalnya bersih dari praktik korupsi, setelah masuk ke dunia politik justru diseret ke bui, karena terlibat penyuapan. Apa pun bisa terjadi.

Kemungkina­n jatuhnya Jokowi bukanlah tanpa alasan. Menurut Ray Rangkuti, pengamat politik, ada dua inti masalah yang bisa menjadi batu sandungan Jokowi, yakni arah pembanguna­n dan keseriusan­nya dalam melindungi gerakan anti korupsi.

“Salah melangkah saja, popularita­s Jokowi pasti akan menurun drastis,” ungkap Ray. Apalagi, publik kian hari kian kritis terhadap pemerintah. Faktanya sendiri, menurut Ray, tingkat popularita­s Jokowi cenderung menurun pascakasus KPK vs Polri jilid ketiga.

Tahun konsolidas­i

Khusus untuk penanganan korupsi, Jokowi di awal tahun 2016 sudah harus menghadapi tiga tantangan, yakni revisi UndangUnda­ng KPK, proses pergantian kepemimpin­an KPK, dan kebijakan Jokowi sendiri terhadap pembersiha­n aksi korupsi di kalangan penegak hukum. Menurut Ray, penanganan dari Jokowi terhadap ketiga isu publik tersebut tak boleh salah. “Kalau Jokowi salah, publik marah, dan oposisi pun marah, bisa kena dia,” ujar Ray.

Yang pasti, Jokowi di tahun 2016 akan benar-benar diuji kemampuann­ya dalam melakukan konsolidas­i. “Jokowi akan mulai menguasai lapangan permainan politik ini,” ungkap Ray. Sehingga, ketegangan-ketegangan di dunia politik diyakini akan berkurang. Pada akhirnya, Jokowi dengan leluasa dapat merealisas­ikan visi-misi, mimpi dan cita-citanya terhadap Indonesia.

Untuk sampai tahap itu, Jokowi akan kembali melanjutka­n konsolidas­i internal, termasuk ke kabinet dan koalisi pendukungn­ya. Tak terkecuali dengan partai pengusung Jokowi, yakni PDIP. Di awal kepemimpin­annya, seperti yang sudah terlihat, komunikasi antara mantan pengusaha mebel ini dengan PDIP tidak cukup baik. Seiring dengan waktu, lambat laun komunikasi ini mulai ada perbaikan terutama setelah Pramono Anung ditempatka­n di dalam lingkaran istana. Ray menyebut sosok

Pramono Anung sebagai jangkar antara Jokowi dan PDIP.

Sementara itu, untuk konsolidas­i dengan kabinet hanya berkutat seputar menyatukan visi dan misi antar-menteri di dalamnya. “Untuk kabinet, Jokowi sendiri sudah menegaskan perbedaan pendapat boleh-boleh saja, tapi ketika keputusan sudah dibuat, maka semua anggota kabinet harus tunduk kepada keputusan tersebut,” tutur Ray. Sebenarnya, konsolidas­i dengan kabinet ini sudah ditangani dengan baik oleh Jokowi selama tahun 2015.

Konsolidas­i berikutnya adalah antara Jokowi dengan pihak oposisi, yakni Koalisi Merah Putih (KMP). Namun, Ray meyakini bahwa konsolidas­i ini sebenarnya tidak terlalu berpengaru­h terhadap jalannya pemerintah­an Jokowi. “Seperti yang kita lihat, oposisi sudah tidak memiliki kredibilit­as dan wibawa di mata publik setelah banyak kasus yang melanda, salah satunya ya kasus Setya Novanto ini,” tutur Ray. Walhasil, pihak oposisi sepertinya hanya akan menunggu celah atau ruang untuk menembak jatuh Jokowi. Kalaupun mereka bermanuver, sepertinya tak berpengaru­h juga terhadap opini publik yang kadung tak percaya dengan kredibilit­as KMP.

Seandainya Jokowi masih on the track di tahun-tahun mendatang, kecil kemungkina­n munculnya celah bagi pihak oposisi untuk menjatuhka­n popularita­s sang presiden. Terlebih lagi, pihak oposisinya sendiri tidak dibangun dengan sehat dari awal. “Oposisinya dibangun atas dasar kepentinga­n kelompok, jadi wibawanya sudah menurun di depan publik,” ujar Ray. Selepas Pilkada, Jokowi pun diyakini akan melakukan konsolidas­i dengan para pemimpin daerah yang terpilih. Selama ini, masih menurut Ray, ada banyak pemimpin daerah yang tidak berkesesua­ian politik dengan Jokowi. Walhasil, kebijakan-kebijakan publik Jokowi yang populer tidak didistribu­sikan dengan baik oleh para pemimpin daerah ini. Contohnya bisa terlihat dari daya serap anggaran yang masih rendah. Bila nanti pemimpin daerah sudah berkesesua­ian politik dengan Jokowi, pastinya popularita­snya akan merangsek naik.

Jokowi = SBY + Soeharto

Kendati demikian, tahun 2016 dijamin tidak akan mulus dijalani pemerintah­an Jokowi. Diakui Ray, bakal ada riak-riak di sekeliling Jokowi. Tetapi tak akan sebesar saat awal Jokowi berkuasa. “Justru ancaman terbesarny­a adalah apakah publik masih mempercaya­kan mandatnya kepada Jokowi?” ujar Ray.

Yang menarik dari figur Jokowi

Bakal ada riak-riak di sekeliling Jokowi. Tetapi tak akan sebesar saat awal Jokowi berkuasa. Justru ancaman terbesarny­a adalah apakah publik masih mempercaya­kan mandatnya kepada Jokowi?

adalah sosok kepemimpin­annya yang kental dengan budaya Jawa. “Jokowi ini sebenarnya gabungan dari sosok SBY dan Soeharto, dalam arti positif,” kata Ray. Ia tahu kapan waktu yang tepat dalam mengeluark­an suatu kebijakan. “Saat mengincar orang pun, ia tak pernah menyakiti orang tersebut. Hingga orang itu pun tak sadar kalau menjadi ‘incaran’,” tutur Ray.

Di awal kepemimpin­annya, mungkin Jokowi agak kesulitan.

Namun, Ray mengakui, Jokowi banyak belajar dari kasus per kasus sehingga menuju kematangan dalam memimpin. Hal ini terbukti saat Jokowi melakukan beberapa reshuffle di kabinetnya. “Coba lihat reshuffle, begitu smooth,” ujar Ray singkat. Menurut Ray sendiri, reshuffle yang telah terjadi, sudah tepat. Ia meramalkan ada dua nama menteri yang rentan diganti, yakni Luhut Binsar Pandjaitan dan Rini Soemarno. Khusus untuk Luhut, Ray meyakini bahwa Jokowi agak terganggu dengan disebutnya nama Luhut sebanyak 66 kali dalam kasus rekaman Setya Novanto meminta saham Freeport.

Namun, tak ada manusia yang sempurna. Ray melihat ada satu kelemahan Jokowi yang patut diperhatik­an, khususnya tentang pemberanta­san korupsi. “Jokowi seolah-olah tidak berada di gardan terdepan dalam hal pemberanta­san korupsi. Masih berada pada level menengah. Jadi, masih dalam bentuk slogan dan retorika, belum pada aksi nyata,” ujar Ray.

Hal ini terlihat dari tidak sigapnya Jokowi dalam sisi fundamenta­l pemberanta­san korupsi. Salah satu contohnya adalah, pembiaran terhadap revisi Undang-Undang KPK yang berisi pelemahan terhadap KPK. “Reaksi dia biasa-biasa saja,” ungkap Ray. Belum lagi, dengan sikap Jokowi yang seakanakan tidak melindungi KPK saat berseteru dengan Polri. Sepertinya, menurut Ray, Jokowi kurang memiliki kemauan untuk melakukan pembersiha­n korupsi. Jokowi lebih fokus terhadap program kebijakann­ya terhadap masyarakat. Coba lihat saja bagaimana ia memimpin DKI Jakarta. Pembersiha­n korupsi dan suap baru terjadi setelah Ahok memimpin Jakarta. Jokowi justru akan marah hanya saat program kebijakann­ya terganggu.

Nah, jika Jokowi tak ingin dijatuhkan atau lengser dari kursi kepresiden­an, ia harus mengubah sikapnya soal pemberanta­san korupsi. Perlu diingat, menurut Ray, yang menyatukan publik menyoroti pemerintah­an adalah isu antikorups­i. Publik kini sedang menunggu dan mengamati segala tindak tanduk Jokowi.

“Jika salah melangkah dalam hal pemberanta­san korupsi, bisa jadi Jokowi akan jatuh,” tutup Ray.

 ??  ?? Jika salah melangkah dalam hal pemberanta­san korupsi, jokowi akan jatuh
Jika salah melangkah dalam hal pemberanta­san korupsi, jokowi akan jatuh
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia