KAPAN MESTI HATI-HATI
Beberapa waktu belakangan, Ika Natassa, 38 tahun, penulis sekaligus bankir di Medan, punya kesibukan baru. Benar-benar sibuk, karena saat mengerjakan aktivitasnya itu, pandangannya fokus, tangannya tekun menggoreskan watercolor pencils, dan tidak boleh diganggu. Ika menolak jika aktivitas pengisi waktu luang ini dikatakan sekadar ikut-ikutan tren belaka. Sebab paling tidak, dia mulai merasakan manfaatnya.
“Mewarnai itu melatih kesabaran dalam mengerjakan sesuatu dan menikmati prosesnya, bukan sekadar fokus ke hasil,” tutur perempuan yang telah menghasilkan tujuh novel ini. “Efeknya bagus dalam menghadapi permasalahan dan pekerjaan sehari-hari.”
Sisi positif lainnya, kini dia juga menjadi terbiasa “berpuasa” gadget sampai berjam-jam. Dan ternyata rasanya sangat menyenangkan dan liberating, bisa menikmati waktu dengan diri sendiri. Selain itu, mewarnai juga telah membawa Ika ke masa kecilnya dimana hal-hal yang sederhana bisa membahagiakan.
Sejak dulu, sebenarnya Ika sudah menggemari dunia menggambar dan mewarnai. Namun dia baru menggunakan buku mewarnai untuk dewasa ketika sebuah penerbit menghadiahinya. Awalnya cuma mencoba-coba satu gambar, lama-lama merasa asyik dan ketagihan. Bahkan dia pernah terlambat datang ke acara resepsi gara-gara keasyikan mewarnai.
Rumit agar tidak malu
Coba tengoklah ke toko buku maka Anda akan menyadari bahwa buku-buku mewarnai untuk dewasa sedang ramai jadi perhatian. Kabarnya saat ini sudah diterbitkan lebih dari 20 judul buku mewarnai dengan berbagai tema. Ada tema tanaman, pola batik tradisional, kebudayaan lokal, sampai pemandangan kota-kota di dunia. Harganya mulai dari Rp60 ribu sampai ratusan ribu rupiah.
Sebenarnya, fenomena ini juga terjadi di banyak negara, berawal dari Prancis. Bahkan kedua buku mewarna: Secret Garden dan Enchanted Forest karya illustrator Johanna Basford pernah menempati peringkat teratas delam penjualannya di toko Amazon.com. Fenomenanya sama dengan My Own World buku mewarnai yang asli buatan Indonesia dan sudah memasuki cetakan keempat untuk buku pertama serta cetakan kedua untuk buku kedua.
Aktivitas mewarnainya mungkin sama, tapi materinya sangat jauh berbeda antara buku untuk dewasa
dengan anak-anak. Buku untuk anak-anak cenderung lebih simpel dengan ruang mewarnai yang luas dan tidak berpola. Sementara buku untuk dewasa terdiri atas gambar dengan pola yang rumit dan ruang mewarnai yang lebih sempit sehingga memberikan kesan kompleks.
Khalezza Hidayah, salah satu penyusun My Own World menuturkan, karena ditujukan untuk dewasa maka gambargambarnya sengaja dibuat lebih rumit. “Pattern-nya kecil-kecil jadi orang dewasa enggak malu untuk mewarnai di depan umum. Gambarnya juga bagus dan enggak terlalu anak kecil juga,” tutur desainer grafis ini.
Penerbitan My Own World oleh Renebook pada Juni 2015 memang dilatarbelakangi maraknya buku mewarnai untuk dewasa dari luar negeri. Butuh tiga bulan hanya untuk menentukan ide sampai akhirnya diputuskan bertemakan human and animal. Objek bernyawa seperti manusia dan binatang, diyakini bisa memunculkan minat orang-orang untuk mulai
mewarnai.
Ternyata respons masyarakat sangat positif. Khalezza beserta Tria Nurcahyanti sebagai penyusun kerap mendapat e-mail berisi pujian dari pembeli. Umumnya mereka mengaku teringat akan masa kecilnya dan menemukan kembali dunia yang sudah lama hilang yakni mewarnai. Dalam waktu relatif singkat, kabarnya toko-toko buku banyak yang langsung kehabisan stok buku ini.
Respons yang positif membuat Renebook membentuk komunitas para pehobi mewarnai. Komunitas Tabrak Warna yang berdiri Agustus 2015 ini punya kegiatan rutin mewarnai bersama saban minggu serta pada momenmomen tertentu. Biasanya pola kegiatannya, para peserta mengunduh gambar dari situs web Renebook untuk kemudian dicetak dan diwarnai bersama-sama. Belakangan, komunitas ini juga memiliki sejumlah acara amal.
Sesuai zamannya, kini hasil mewarnai juga bukan hanya dinikmati sendiri. Jika sudah dianggap selesai, boleh juga narsis dan hasilnya diunggah ke media sosial seperti Twitter atau Instagram. Di Instagram saja, tak kurang dari 450.000 foto yang bertagar #coloringbook.
Objek bernyawa diyakini mampu memunculkan minat orang untuk mewarnai.
Bisa atasi stres?
Satu hal menarik, aktivitas mewarnai orang dewasa ini ternyata punya aturannya tersendiri. Tria mengatakan, di masa lalu orang akan selalu terikat dengan pakem-pakem tertentu saat mewarnai. Contohnya, warna tidak boleh keluar garis, pekerjaan harus selesai, serta harus sesuai dengan warna benda sesungguhnya di alam bebas. Kini, aturan-aturan boleh dilupakan. “Proses mewarnai yang bebas inilah yang membuat rileks, makanya disebut anti-stres,” tutur Tria.
Dengan mewarnai, orang juga bisa melampiaskan perasaannya. Hal ini akan tampak pada pemilihan warna, misalnya warnawarna terang pada saat seseorang sedang marah. Ada juga yang mengklaim, mewarnai juga bagian dari terapi seni dan memiliki khasiat memicu ingatan-ingatan dan perasaan bahagia yag dirasakan sewaktu kecil. Benarkah begitu?
Mutia Ribowo, SDs, MA, art psychotherapist yang membuka praktik terapi seni di Art-I Jakarta, membenarkan. Menurut Mutia, jika dilihat dari pendekatan saintifik, kegiatan ini menghasilkan brain chemicals yang happy chemicals seperti serotonin, endorfin, dll. Serotonin dan endorfin adalah dua hormon yang antara lain berkhasiat menghilangkan stres dan menimbulkan perasaan senang.
Namun menurut Mutia, kegiatan ini kurang tepat jika disebut terapi seni. Kegiatan kreatif seperti mewarnai, merajut dan membuat prakarya lebih tepat jika disebut menenangkan. Efek menenangkan bahkan relaksasinya memang sudah terbukti berdampak positif.
Mewarnai dan berbagai kegiatan kreatif yang dilakukan sendiri sebenarnya hanya mengalihkan kita dari penyebab stres. Sebab ada distraksi dan waktu untuk mengatur emosi kita. Hanya saja, aktivitas ini sebenarnya tidak mengatasi penyebab stres itu sendiri. Bahkan, aktivitas ini berkebalikan dengan proses terapi seni di mana kita justru harus menghadapi penyebab stres itu sendiri.
Soal membangkitkan kenangan masa kecil, tambah Mutia, sebenarnya bisa juga didapatkan dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan masa kecil. Misalnya bersepeda, main game dan menonton film kartun.
Ada pula manfaat lain yakni menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan. Sebab dalam proses pewarnaan terdapat proses kreatif seperti memilih warna dan memadupadankan warna serta mengaplikasikannya pada bidang yang ada.
Bukan untuk semua orang
Dibalik manfaat-manfaatnya, menurut Mutia, sesungguhnya buku mewarnai ini bukan untuk semua orang. Manfaat-manfaatnya bisa didapatkan dengan satu syarat, yaitu jika kita tidak berada di bawah tekanan hidup yang terlalu berat atau tidak memiliki kondisi psikologis tertentu. Contohnya, buku ini justru berbahaya bagi orang-orang yang kenangan masa kecilnya kurang baik. Sebab buku ini justru memicu munculnya kenangan tersebut.
Begitupun untuk orang-orang dengan obsessive compulsive disorder (OCD). OCD adalah kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang memiliki pikiran dan ketakutan yang tidak masuk akal (obsesi) yang dapat menyebabkan perilaku repetitif ( kompulsi). Misalnya, orang yang merasa harus memeriksa pintu dan jendela lebih dari tiga kali sebelum meninggalkan rumah.
Aktivitas mewarnai justru bisa memperparah OCD. Alasannya, orang dengan OCD memiliki kecenderungan untuk menjadi perfek. Dan kegiatan mewarnai yang merupakan kegiatan yang terstruktur dan berulang justru bisa mendorong sisi perfeksionisnya. Untuk mengatasi OCD, caranya justru melakukan kegiatan yang tidak terstruktur.
Menurut wacana mutakhir, sebenarnya anak-anak pun kurang dianjurkan untuk menggunakan buku mewarnai. Dari sisi education wise aktivitas ini justru dianggap bisa meredam kreativitas. “Yang seharusnya bisa mengeksplorasi hal lain atau mungkin dia bisa mewarnai di luar garis malah harus mewarnai di dalam garis dengan gambar yang sudah bagus dan canggih,” tutur Mutia.
Mewarnai juga bisa mengintimidasi dan mengurangi kepercayaan diri anak. Bisa saja begitu melihat gambar-gambar yang bagus, anak jadi kurang percaya diri untuk menggambar dan berpikir kalau kemampuannya hanya sebatas mewarnai saja.
Hati- hati juga mewarnai bisa menjadi kecanduan. Apalagi jika aktivitas ini sering dilakukan atau dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan sendirian.
Saat kita terlalu sering mendistraksi diri dari menghadapi dan menangani penyebab stres melalui aktivitas mewarnai, bisa jadi justru kita melarikan diri dari kenyataan. Dan sama seperti kecanduan lainnya, aktivitas atau perilaku distraktif yang berulang bisa menyebabkan perubahan buruk pada kerja otak kita. Demikian penjelasan Mutia.