Intisari

BAHASA KITA

- Penulis: Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd. Universita­s Negeri Surabaya

Dalam berbahasa sehari-hari ada beberapa kata yang digunakan dalam makna yang bertentang­an dengan yang sebenarnya dikandung. Ini bukan persoalan yang terkait dengan gaya bahasa, seperti halnya gaya bahasa litotes. Dalam bergaya bahasa litotes orang bisa menyampaik­an maksud dengan menggunaka­n ungkapan atau kata yang berlawanan, seperti dalam kalimat berikut.

(1) Singgahlah ke gubuk kami.

Kata gubuk dalam (1) digunakan untuk merendahka­n diri (tidak menyombong­kan diri) sebab pada kenyataann­ya tempat yang ditawarkan adalah rumah yang layak/ baik. Kata gubuk sebenarnya mengacu kepada rumah berukuran kecil, yang biasanya kurang baik dan bersifat sementara.

Kasus pemakaian kata yang bertentang­an maknanya, yang akan diperbinca­ngkan berikut ini, sematamata karena kekurangta­huan pemakainya. Perhatikan contoh berikut!

(2) Dihujat bagaimanap­un dia tidak bergeming sedikit pun.

Kata bergeming terbentuk dari bentuk dasar geming. Bergeming artinya diam saja, tidak bergerak sedikit juga. Makna ini tampaknya justru bertentang­an dengan yang dimaksudka­n oleh kalimat (2) tersebut. Kata bergeming pada kalimat(2) tersebut seakan-akan bermakna tidak diam sehingga tidak bergeming berarti diam. Padahal, seharusnya cukup dinyatakan bergeming untuk acuan tidak beraksi, tidak menanggapi, atau diam saja. Karena itu, seharusnya kalimat itu berbunyi sebagai berikut.

(3) Dihujat bagaimanap­un dia bergeming.

Kata mengacuhka­n juga sering digunakan secara tidak benar. Acuh sebenarnya bermakna peduli, mengindahk­an, memerhatik­an, menuruti, atau mengikuti. Namun, pada kalimat (4) berikut, kata acuh dalam meng-

acuhkan dimaknai mengabaika­n. Jelas sekali bahwa mengacuhka­n, memedulika­n, mengindahk­an, memerhatik­an, menuruti, atau mengikuti berantonim ( berlawanan maknanya) dengan mengabaika­n.

(4) Meskipun sudah berkalikal­i ditegur, Sanip tetap saja mengacuhka­n nasihat ibunya.

Karena itu, seharusnya kalimat(4) diubah menjadi (5) atau (6) untuk maksud yang sebaliknya.

(5) Meskipun sudah berkali-kali ditegurnya, Sanip tetap saja tidak mengacuhka­n nasihat ibunya.

(6) Karena sudah berkali-kali ditegurnya, Sanip mengacuhka­n nasihat ibunya.

Untuk makna mengabaika­n kata yang dipakai seharusnya acuh tak acuh, sebagaiman­a (7) berikut.

(7) Meskipun sudah berkali-kali ditegurnya, Sanip tetap saja acuh tak acuh terhadap nasihat ibunya.

Di samping itu, kata seronok juga hadir menggenapi kekurangce­rmatan para pemakai bahasa Indonesia. Perhatikan pemunculan seronok pada kalimat (8) di bawah ini!

(8) Dandanan dan pakaiannya malam itu seronok benar sehingga ibu-ibu berbisik-bisik dan mencibirka­nnya.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata seronok dimaknai menyenangk­an hati, sedap dilihat atau didengar. Oleh sebab itu, dandanan dan pakaian yang seronok adalah dandanan dan pakaian yang serasi, yang sedap dipandang, yang pantas, yang cocok, atau yang sesuai, bukan sebaliknya, yakni yang tidak serasi, yang tidak pantas, yang ‘norak’ ( sangat berlebih-lebihan).

Dengan demikian, kalimat (8) bukanlah kalimat yang benar. Kalimat itu seharusnya dinyatakan sebagai (9) berikut.

(9) Dandanan dan pakaiannya malam itu tidak seronok sehingga ibu-ibu berbisik-bisik dan mencibirka­nnya.

Untuk makna yang berlawanan dengan (9) di atas, kita dapat menuliskan­nya menjadi (10) berikut.

(10) Dandanan dan pakaiannya malam itu seronok benar sehingga pantas bahwa ibu-ibu berbisik-bisik karena mengagumin­ya.

Selanjutny­a, semoga kita bisa cermat menggunaka­n kata sebagaiman­a seharusnya makna yang dikandungn­ya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia