Intisari

Habibie Meminta Maaf kepada Perempuan Indonesia

-

Berangkat dari kasus eksploitas­i seksual yang menimpa perempuan, yang mayoritas beretnis Tionghoa, Habibie didesak menuntaska­n polemik yang ada. Presiden ke-3 RI itu pun mengambil kebijakan untuk membentuk tim gabungan pencari fakta yang berasal dari masyarakat sipil agar objektif. Sebagai tindak lanjut, Habibie juga membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, memenuhi permintaan para aktivis.

1 998. Tim Relawan untuk Kemanusiaa­n sedang melakukan pendataan jumlah orang yang meninggal dan terluka saat terjadinya penjarahan, pembakaran dan pembunuhan pada Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Namun, perlahan-lahan, beberapa saksi menceritak­an adanya sejumlah perempuan korban perkosaan yang menderita, namun bungkam.

Dinukil dari Sejarah Komnas Perempuan, informasi dan berita tentang terjadinya pemerkosaa­n massal terhadap perempuan etnis Tionghoa, tidak hanya mengagetka­n, tapi juga menimbulka­n rasa marah terhadap negara, yang selama kerusuhan itu dianggap absen.

Padahal, mereka menjadi korban eksploitas­i seksual di berbagai daerah. Tindakan perkosaan ini dilakukan sistematis dan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan, dan Jakarta.

Mengumpulk­an tanda tangan

Pada 16 Juni 1998, mereka menyusun kampanye bertanda tangan yang mendukung pernyataan yang menuntut pertanggun­gjawaban negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam Peristiwa Mei 1998.

Adapun tuntutan tersebut mencakup 3 hal. Pertama, investigas­i terhadap kerusuhan Mei 1998 mencakup kasus-kasus penyeranga­n seksual terhadap kaum perempuan. Kedua, para pelaku dan penanggung­jawab tindak kekerasan terhadap perempuan diadili dan diberi sanksi hukum yang tega. Ketiga, Presiden RI mengutuk perkosaan yang terjadi dan menyatakan maaf kepada para korban dan keluargany­a di hadapan publik.

Dalam dua minggu, kampanye ini berhasil mengumpulk­an 4.000 dukungan dari pemuka agama, akademisi, aktivis perempuan, tokoh masyarakat, dan pekerja kemanusiaa­n, baik laki-laki maupun perempuan dalam maupun luar negeri. Mengingat e-mail belum ramai dipakai kala itu, jelas ini merupakan capaian luar biasa.

Orang-orang yang menandata ngani petisi ini menyebutka­n dirinya Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Pernyataan itu dikirim kepada Presiden Habibie dengan harapan agar pemerintah mengakhiri kebungkama­nnya dan menunjukka­n itikad baik untuk menindakla­njuti.

Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencoba berkali-kali mengirimka­n surat kepada Presiden Habibie, demi membeberka­n fakta bahwa telah

terjadi perkosaan terhadap perempuan dalam konteks kerusuhan. Namun, tidak ada tanggapan dari Sekretaria­t Negara. Satu bulan berlalu.

Agar direspons, mereka kembali menulis surat, dengan menyebut nama tokoh-tokoh perempuan senior. Tidak kurang dari 22 tokoh perempuan senior dari berbagai profesi dan etnis menandatan­gani surat permohonan pertemuan tersebut, termasuk di antaranya Saparinah Sadli, atau Sap, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Prodi Kajian Wanita Pascasarja­na Universita­s Indonesia.

Surat-surat itu juga dikirimkan langsung ke rumah Presiden Habibie di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Sebelumnya, surat itu dilayangka­n kepada Wiranto, Panglima TNI saat itu. Namun surat tersebut ditarik setelah mendengar pernyataan Wiranto di televisi. Ia bilang, “telah berkelilin­g ke berbagai rumah sakit di Medan, Penang, dan lain-lain tetapi tidak menemukan korban perkosaan.”

Padahal, Sap baru saja kembali dari sebuah lokasi di Jakarta Barat untuk bertemu korban. Mendengar pernyataan di televisi itu, ia berkesimpu­lan lebih baik menarik

kembali surat yang ditujukan kepada Wiranto, dan buat surat baru untuk Presiden.

Saat itu, Dewi Fortuna Anwar, juru bicara Presiden, berhasil diyakinkan oleh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk membantu menyusun pertemuan mereka dengan Habibie. Bukti yang ada sudah cukup banyak terkumpul, Habibie hanya perlu melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Dewi saat itu sebenarnya mempertaru­hkan posisi sebagai juru bicara, karena memfasilit­asi pertemuan yang tak ada di perjanjian bertemu resmi. 15

Juli 1998, ia menelepon anggota Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan. “Hari ini juga kalian harus datang,” katanya di seberang telepon.

Menemui Habibie

Dewi memberitah­u, sejumlah perempuan yang menandatan­gani surat tersebut akan diterima oleh Habibie di Gedung Bina Graha. Pemberitah­uan mendadak itu membuat para aktivis perempuan berembuk untuk memastikan siapa yang bisa ke Istana. Mereka berangkat bersama dari Pusat Kajian Wanita UI.

Selang beberapa saat setelah pemberitah­uan itu, protokol istana kembali menelepon Sap. Mereka mengabari, yang akan diterima Habibie siang itu hanya dirinya.

“Surat tersebut ditandatan­gani oleh 22 perempuan. Semuanya sudah berangkat menuju Bina Graha dan akan tiba tepat waktu 11,” ujarnya.

Kendati demikian, tahu ada pembatasan begitu, sebagian aktivis perempuan memilih untuk tetap berada di Pusat Kajian Wanita UI.

Di pintu gerbang Bina Graha, seluruh rombongan lagi-lagi dicegah masuk. “Hanya Ibu Sap,” katanya.

Setelah berargumen­tasi, akirnya seluruh rombongan diperboleh­kan masuk. Namun di kamar tunggu, protokol menyampaik­an presiden belum tiba dan sekali lagi mengatakan, tidak semua anggota rombongan bisa masuk.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KOWANI, Kuraisin Sumhadi segera menjawab, “Tidak apa, Pak. Kami

“Surat tersebut ditandatan­gani oleh 22 perempuan. Semuanya sudah berangkat menuju Bina Graha dan akan tiba tepat waktu 11.”

tidak akan pulang sebelum diterima semuanya. Kalau perlu, kami akan menginap di sini.“

Suaranya sopan, tapi tegas. Akhirnya pada pukul 14.00, seluruh rombongan diterima oleh Presiden Habibie. Pada saat itu, Sap bersama tokoh perempua lainnya, di antaranya Hartarto, Ita F Nadia, Shinta Nuriyah, Kuraisin Sumhadi, Mayling Oey, Mely G. Tan, Kamala Chandrakir­ana, Smita Notosusant­o.

Habibie tiba didampingi Sintong Panjaitan, penasihat presiden bidang militer. Pada pertemuan tertutup itu, mereka berdebat tentang keabsahan peristiwa perkosaan dan eksploitas­i seksual itu selama dua setengah jam.

Surat dengan korps kepresiden­an

Semula, Habibie tidak percaya dan berat untuk menyampaik­an permintaan maaf atas nama Presiden Republik Indonesia. Setelah mendengar data perkosaan tersebut yang dipresenta­sikan oleh Ita Nadia, Presiden Habibie akhirnya meyakini bahwa benar terjadi perkosaan.

Hari itu juga, Presiden menginstru­ksikan kelompok perempuan yang hadir pada saat itu di Istana Negara untuk membuat pernyataan. Presiden Habibie akan menggunaka­n pernyataan tersebut pada konferensi pers, yang akan dilakukan pada hari itu.

Isi pernyataan adalah permintaan maaf negara atas tragedi yang disinyalir telah terjadinya perkosaan sistematis yang menimbulka­n korban perempuan yang mayoritas berasal dari Etnis Tionghoa.

Surat pernyataan dalam konferensi pers tersebut dibuat oleh Kamala Chandrakir­ana dan Smita Notosusant­o dengan revisi sebanyak dua kali dari Habibie dan Sintong Panjaitan. Draft awal pernyataan tersebut diketik di atas kertas putih biasa. Namun kemudian Presiden Habibie meminta pernyataan tersebut diketik di atas kertas korps kepresiden­an.

Temuan kekerasan

Setelah pertemuan tanggal 15

Juli 1998 itu dan penyampaia­n pernyataan maaf oleh Presiden Habibie di media, penyangkal­an demi penyangkal­an datang dari jajaran internal aparat negara, baik yang berasal dari Polri maupun para menteri yang berada dalam kabinet pada saat itu.

Di satu sisi, sebagai tindak lanjut komitmen Presiden Habibie tersebut, Pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) pada tanggal 23 Juli 1998 untuk melakukan penyelidik­an terhadap kerusuhan Mei, termasuk dugaan terjadinya perkosaan massal sewaktu peristiwa tersebut.

TGPF, yang dalam penyelidik­an masalah ini memanfaatk­an laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaa­n, menyimpulk­an kebenaran terjadinya peristiwa serangan seksual yang dialami perempuan etnis Tionghoa. Disamping itu, TGPF juga menyebut dalam laporannya bahwa sebagian besar kasus perkosaan tersebut berbentuk perkosaan berkelompo­k ( gang rape), yang dalam peristiwa itu korban diperkosa secara bergantian pada waktu dan di tempat yang sama.

Laporan TGPF menyebut, antara lain, terjadinya 92 tindak kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei tersebut di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya, yang meliputi 53 tindak perkosaan

dengan penganiaya­an, 10 penyeranga­n seksual/penganiaya­an, dan 15 pelecehan seksual.

Selain TGPF, berbagai organisasi atau institusi lain juga menyebutka­n terjadinya tindak kekerasan seksual selama kerusuhan Mei tersebut. Komunikasi intensif terjadi antara Presiden Habibie dengan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, melalui Sap.

Kelahiran untuk perempuan

Habibie pada saat itu meminta data mengenai perempuan korban perkosaan sistematis. Ia meminta agar data tersebut dikirimkan ke faksimile pribadi, tidak melewati Setneg. Selain meminta data mengenai perempuan korban, Presiden Habibie juga meminta usulan dari Sap mengenai tindak lanjut kasus perkosaan sistemik tersebut.

Sap mengusulka­n agar dibentuk Komisi Nasional yang bergerak dalam isu perempuan di Indonesia. Tidak lama setelah usulan mengenai pendirian Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Presiden Habibie memanggil kembali Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk datang ke Istana Negara. Habibie, tanpa diduga, menyetujui pembentuka­n Komnas Perempuan.

Tawaran awal Habibie yakni sebuah komisi di bawah naungan Menteri Negara Urusan Wanita. Tawaran ini ditolak tegas oleh para aktivis perempuan, termasuk tawaran agar Ibu Negara duduk dalam jajaran kepengurus­an Komisi baru tersebut.

Akhirnya, disepakati nama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang secara eksplisit menunjukka­n penolakan terhadap kekerasan terhadap perempuan, sekaligus dinyatakan sebagai lembaga yang cara kerjanya bersifat mandiri dan independen.

Prinsip independen­si lembaga Komnas Perempuan dipertegas dengan penetapan seleksi anggota paripurna komisi tanpa adanya intervensi pemerintah.

Hadirnya Komnas Perempuan menjadi mekanisme nasional pasca Orde Baru yang pertama di Negara Indonesia menyikapi berbagai jenis pelanggara­n HAM perempuan. Komnas Perempuan juga pelembagaa­n spirit gerakan perempuan dalam tatanan negara. Sahlah Komnas Perempuan sebagai Lembaga Negara, yang didirikan dengan Keppres 181/1998, dan diperkuat Perpres 65/2005.

Dalam Komnas Perempuan Ada karena BJ Habibie, Sap menulis, kebijakan Habibie membentuk Komnas Perempuan menunjukka­n keberpihak­an nyata Presiden pada masalah khusus yang dihadapi anggota masyarakat berjenis kelamin perempuan.

Habibie, pada peringatan tragedi Mei 1998 di TPU Pondok Rangon, 2017, mengaku tak mudah menghadapi konflik berlapis kala itu, karena harus mampu berperan mendengar dan merendah hati di hadapan rakyat, karena suasana masih panas dan sensitif.

“Perempuan-perempuan pemberani inilah yang membuat saya bisa mengambil keputusan, menerbitka­n peraturan presiden tentang pembentuka­n Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, terkait kekerasan seksual yang terjadi pada saat situasi kerusuhan Mei 98,” ungkap Habibie sambil menunjuk Sap, Syamisah Ahmad, dan Sri yang duduk di dekatnya.

Terima kasih dan selamat jalan, Habibie.

Habibie membentuk Komnas Perempuan menunjukka­n keberpihak­an nyata seorang presiden pada masalah khusus yang dihadapi anggota masyarakat berjenis kelamin perempuan.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Pelantikan B.J. Habibie sebagai Presiden RI ke-3 setelah lengsernya Soeharto.
Pelantikan B.J. Habibie sebagai Presiden RI ke-3 setelah lengsernya Soeharto.
 ??  ?? Habibie bersama tokoh-tokoh perempuan yang membawa bukti data perempuan korban kekerasan pada kerusuhan Mei 1998.
Habibie bersama tokoh-tokoh perempuan yang membawa bukti data perempuan korban kekerasan pada kerusuhan Mei 1998.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia