B.J. Habibie dan Efek Sekunder “Gatotkaca”
Indonesia diprediksi oleh berbagai badan independen dunia dan perusahaan konsultan manajemen internasional akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi lima besar dunia pada 2045. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2019 ( Development Policy Review 2019), ekonomi Indonesia dicatat secara konsisten tumbuh dengan indikator pertumbuhan produk domestic bruto (GDP) 5,5% per tahun yang menciptakan lapangan kerja 1,8 juta per tahun dan menekan angka kemiskinan di bawah 10%.
Namun demikian, Indonesia juga mempunyai berbagai kendala dalam tumbuh ke tahap berikutnya. Pertama, pertumbuhan yang cenderung melambat. Hal ini menandakan adanya produktivitas yang menurun. Kedua, gaji yang rendah dalam angkatan kerjanya. Ketiga, prosentase kelas menengah yang masih rendah.
Bagaimana mengatasi kendala tersebut secara efektif? Apakah formula strategi pembangunan yang tepat bagi Indonesia dalam mencapai keberhasilan ekonomi yang berkelanjutan?
Salah satu topik sentral yang telah dibicarakan dalam khasanah strategi pembangunan selama hampir setengah abad adalah pengembangan industri berbasis nilai tambah. Sebuah strategi yang akan membangun keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dan tidak semata-mata bergantung kepada keberlimpahan sumberdaya alam ( keunggulan komparatif ).
Membidik Rp800 triliun
Lebih dari empat dekade yang lalu, BJ Habibie menawarkan strategi pembangunan bagi Indonesia dengan formula transformasi industrinya yang terkenal. Sebagai showcase nasional, industri yang dipilih Habibie sebagai poros adalah industri pesawat terbang. Adagium transformasinya adalah “bermula pada akhir dan berakhir pada awal”.
Apakah maksud Habibie dengan adagium ini? Lantas, mengapa industri pesawat terbang yng dipilih?
Habibie identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat iptek, ia pun mencoba membawa masa depan Indonesia melalui transformasi produk bernilai tambah.
Timbul polemik antara teknokrat dan ekonom saat formulasi strategi ini dicetuskan. Para ekonom berpendapat, transformasi industri Habibie berbiaya mahal dan tidak sesuai dengan konstelasi dan latar belakang Indonesia sebagai negara agraris. Begitu pula sumber daya manusia Indonesia dipandang tidak siap untuk menangani industri teknologi berrisiko tinggi tersebut.
Sebaliknya, Habibie berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia akan mencapai kemakmuran yang berkesinambungan bila negara secara konsisten membangun industri berbasis nilai tambah. Indonesia yang terdiri atas lebih dari tujuh belas ribu pulau adalah negara kepulauan terbesar di dunia memiliki kekhasan dalam hal transportasi.
Tak berlebihan jika industri pesawat terbang yang dipilih sebagai salah satu sokoguru industri strategis. Pesawat terbang akan memberikan solusi pada masalah transportasi nasional untuk menghubungkan pulaupulau utama Indonesia. Ketika pulau-pulau Indonesia terhubung, diharapkan pemerataan hasil pembangunan lebih terjamin.
Saat ini, prediksi Habibie 40 tahun silam terbukti. Dunia transportasi Indonesia berkembang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Kebutuhan moda transportasi yang andal diperlukan untuk menghubungkan simpul-simpul ekonomi di seluruh Nusantara.
Maskapai-maskapai Indonesia merespons kebutuhan ini dengan mengembangkan armadanya.
Nilai pesanan ke Boeing dan Airbus dari maskapai Tanah Air mencapai angka Rp800 triliun. Separonya telah terealisasi. Kue ekonomi inilah yang sebenarnya ingin dibidik oleh Habibie dengan mengembangkan industri pesawat terbang secara mandiri.
Bila sepertiga, atau bahkan seperempat saja, dari kebutuhan transportasi nasional tadi bisa dijawab sendiri oleh industri dalam negeri tentu akan menghasilkan ekosistem industri yang menggerakkan ekonomi Indonesia. Selain itu Indonesia, dengan captive market dalam negeri yang merupakan pasar nomor sembilan dunia, juga berpotensi menjadi salah satu pemain global dalam industri pesawat terbang.
Satu dari tujuh negara
Akibat dampak krisis moneter tahun 1998, program andalan Habibie pesawat N250 (dengan nama sandi Gatotkaca) memang harus dihentikan sebagai salah satu klausul dari persyaratan bantuan IMF. Namun demikian tidak berarti usaha Habibie sia-sia. Ada sekian banyak spin-off effects yang terjadi berkat transformasi Habibie.
Pertama, kepercayaan diri.
Dampak paling langsung dari program transformasi Habibie melalui berbagai industri berbasis nilai tambah adalah rasa percaya diri bangsa. Industri pesawat terbang misalnya adalah sebuah organisasi bisnis dan teknologi yang kompleks, mengintegrasikan komponen dan produk dari ribuan pemasok.
Secara transformatif Habibie membangun rasa percaya diri bangsa bahwa orang Indonesia bisa menangani proses industri yang canggih ini secara bertahap. Dimulai dari under license dan dilanjutkan dengan jointdevelopment pesawat CN-235 dengan CASA. Pesawat CN-235 mulai dirancang pada bulan Januari 1980 dan melakukan penerbangan perdana 11 November 1983. Saat ini ada lebih dari 230 unit pesawat CN235 berbagai versi yang beroperasi di lebih dari 25 negara dan mengakumulasi lebih dari setengah juta jam terbang.
Kedua, kesadaran akan pentingnya industri berbasis
Secara transformatif Habibie membangun rasa percaya diri bangsa bahwa orang Indonesia bisa menangani proses industri yang canggih ini secara bertahap.
nilai tambah. Industri berbasis nilai tambah tinggi menghasilkan lapangan kerja dengan gaji yang memadai. Strategi ini sesungguhnya menjadi jawaban langsung dari rendahnya upah kerja yang saat ini dihadapi oleh Indonesia sebagaimana dicatat oleh Bank Dunia.
Ketiga, human capital. Sebagai bagian dari proses transformasi, Habibie mengirimkan ribuan mahasiswa ke sembilan negara maju untuk mengambil program S-1, S-2 atau S-3 dalam bidang teknologi tinggi. Sebagian besar lulusan program Habibie ini mengabdikan ilmu dan pengalamannya di berbagai lembaga penelitian, universitas, dan perusahaan baik milik negara maupun swasta. Lainnya tetap berkarya di negara mereka belajar dan menjadi diaspora Indonesia.
Human capital yang unggul adalah modal utama Indonesia dalam tumbuh ke tahap berikutnya. Sudah tepat kiranya bahwa periode kedua Kabinet Kerja Jokowi-Amin menetapkan human capital sebagai fokus perhatian.
Keempat, jaringan kerja sama internasional. Indonesia adalah satu dari tujuh negara di dunia yang mempunyai industri pesawat terbang. Nama Indonesia dicatat di mata dunia sebagai negara yang mampu dan mempunyai orang-orang yang berkualifikasi menghasilkan produk berteknologi tinggi. Rekam jejak ini memudahkan dibukanya hubungan bisnis secara internasional sehingga orang Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain di seluruh dunia. Hanya dengan posisi seperti ini Indonesia bisa membangun jaringan kerja sama internasional.
Kelima, reputasi industri dalam negeri. Karena terkait dengan keselamatan, proses sertifikasi pesawat terbang berlangsung sangat ketat. Sejak penerbangan perdana akhir tahun 1983, pesawat CN-235 mendapatkan sertifikasi laik terbang di Indonesia dan Spanyol pada tanggal 20 Juni 1986. Kemudian mendapat sertifikasi badan dunia FAA pada tanggal 3 Desember 1986. CN-235 memasuki jasa pelayanan udara secara resmi mulai 1 Maret 1988. Siklus industri yang dimulai dari conceptual design, detail design, prototyping, testing, mass production, certification, delivery, dan after sales service merupakan proses panjang yang tidak mudah. Banyak kendala yang menghadang. Tidak hanya berkenaan dengan teknologi namun khususnya adalah segi politik bisnis. Kesuksesan program CN235 sekaligus membangun reputasi industri dalam negeri.
Gatotkaca dikembangkan
Lantas, buah apa yang bisa dipetik dari proses transformasi industri yang dilakukan Habibie? Salah satunya adalah terbentuknya pohon industri (industri tier 1, tier 2, tier 3 dan seterusnya) yang kokoh
dan menjadi penopang ekonomi bangsa. Sayang, karena disrupsi krisis ekonomi 1998, ekosistem industri yang kuat ini belum terbentuk.
Saat ini, sepeninggal Habibie, generasi penerus di Indonesia perlu untuk melanjutkan dan merealisasikan cita-cita besar Habibie yang atas karyanya dinobatkan menjadi Bapak Teknologi Indonesia. Dalam sebuah pidatonya di depan forum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Habibie secara efektif merangkum tiga pola strategi yang berorientasi kepada kebutuhan pasar domestik dan pasar internasional, yang harus secara simultan dilaksanakan. Pertama, pendidikan. Kedua, pelaksanaan riset dan teknologi. Ketiga, penyediaan lapangan kerja.
Pendidikan dipandang sebagai syarat awal atau titik mulai.
Akan tetapi perlu terus menerus diperkaya dan diperkuat dengan pelaksanaan serta pengembangan riset dan teknologi yang terprogram dan berkesinambungan.
Pesawat N250 Gatotkaca yang programnya sempat berhenti sekarang ini dihidupkan kembali dengan dukungan komunitas ahli dan industri pesawat terbang Tanah Air. Pesawat asli yang bernumpang 50 orang dikembangkan lebih lanjut dengan teknologi mutakhir menjadi pesawat dengan kapasitas 92 penumpang berjangkau terbang 1.481 km.
Pesawat ini bila telah diproduksi tentunya akan menjawab sebagian besar kebutuhan transportasi udara di Tanah Air. Juga akan menghasilkan lapangan kerja serta devisa yang signifikan untuk Indonesia.
Semoga secara keseluruhan momentum strategis perioda kedua kabinet kerja yang fokus pada pengembangan human capital ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan SDM terampil; SDM yang mampu membuat dan mengembangkan produk teknologi yang dibutuhkan tidak hanya pasar domestik tapi juga pasar internasional.
Pesawat N250 Gatotkaca yang programnya sempat berhenti sekarang ini dihidupkan kembali dengan dukungan komunitas ahli dan industri pesawat terbang Tanah Air.