Intisari

Belajar di Negeri Teknologi, Pulang Bawa Demokrasi

- Penulis: T. Tjahjo Widyasmoro

BJ Habibie dan Jerman, Antara seolah punya hubungan khusus yang tak terpisahka­n. Cakrawala berpikir Habibie muda (Rudy) memang tercerahka­n di negeri sudah mulai sarat teknologi itu. Di sana pula ia berpikir jangka panjang tentang cara memajukan negerinya.

Oktober 1954. Pertemuan sejenak dengan Lim Keng Kie di tengah jalan, mungkin bisa dikatakan sebagai pertemuan paling bersejarah dalam hidup Rudy. Saat itu Rudy yang sedang membonceng skuter, melihat teman kuliahnya itu sedang berjalan sendirian ke arah pulang. Rudy menyapa.

Tanya punya tanya, Keng Kie ternyata baru saja pulang dari Kedutaan Jerman, mengambil visum. Surat keterangan itu jadi salah satu syarat baginya bersekolah di Jerman Barat. Di sebuah sekolah teknik terbaik, Rheinisch-Westfälisc­he Technische Hochschule Aachen di Aachen.

Ha! Mata Rudy terbelalak.

Tak heran ia terkejut. Karena sebenarnya bersekolah di luar negeri, jurusan penerbanga­n pula, adalah impian terbesarny­a selama ini. Tapi kenapa justru temannya itu yang berangkat lebih dulu?!

Lebih sirik lagi setelah Rudy tahu, Keng Kie berangkat atas beasiswa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K). Tidak sembarang orang bisa mendapat beasiswa dari pemerintah. Ribuan orang melamar, cuma segelintir lulus saringan.

Sayangnya, dari informasi Keng Kie, pendataran sudah ditutup. Kesempatan baru ada lagi tahun depan. Tentu saja, kenyataan itu membuat Rudy kesal sekaligus menyesal. Mengapa ia tidak mendapat informasi berharga semacam ini?

Bukan Rudy namanya kalau tidak berkeras hati. Ia rupanya ngotot ingin berangkat tahun itu juga. Sayangnya, benar apa kata Keng Kie. Dinas P&K sudah menutup pendaftara­n beasiswa ke Jerman. Yang ada kesempatan ikut beasiswa Colombo Plan, sekolahnya di Australia.

Pilihan bagi Rudy akhirnya

berangkat dengan biaya sendiri. Nanti setelah berhasil berkuliah di sana, siapa tahu bisa mengajukan beasiswa. Per bulan diperkirak­an biayanya 375 DM. Jumlah yang tidak kecil pada saat itu. Awalnya Rudy sempat ragu.

Namun rupanya Toeti Marini, ibunda Rudy, memahami keinginan besar anaknya untuk berangkat. Segala cara diupayakan oleh single parent dengan delapan anak itu untuk mendapatka­n biaya perjalanan dan biaya hidup Rudy nantinya. Bahkan, Rudy akan berangkat dengan pesawat terbang agar tidak terlambat mengikuti pelajaran. Betapa mewahnya.

Waktu ujian mepet

Bagi mahasiswa Indonesia, bersekolah di luar negeri tanpa beasiswa, terutama di Eropa, bukanlah sesuatu yang lazim kala itu. Tak heran jika kedatangan Rudy sempat diremehkan senior-senior yang semuanya peserta program beasiswa dari instansi pemerintah.

Rudy terpacu untuk membuktika­n kualitas dirinya. Pada umumnya, calon mahasiswa asing akan mengikuti Studienkol­legs setelah mengikuti kelas persiapan selama dua tahun. Setiap orang punya kesempatan dua kali untuk ikut. Jika gagal, terpaksa pulang.

Nah, di situlah Rudy terpacu untuk segera lulus, semata-mata agar menghemat waktu yang artinya menghemat uang. Dengan persiapan yang mepet, ia justru malah lulus Studienkol­legs dengan nilai tinggi, peringkat tiga besar. Tak semua orang bisa lulus ujian seleksi yang diikuti oleh calon mahasiswa dari seluruh dunia itu, bahkan termasuk siswa dari Jerman sendiri.

RWTH –Aachen sendiri merupakan perguruan tinggi bergengsi di Jerman. Sejarahnya, didirikan untuk mendukung kebutuhan Revolusi Industri, sehingga juga jadi perguruan tinggi tertua di sana. Standar pendidikan di Jerman yang berorienta­si kualitas membuat standar kelulusan begitu tinggi. Hanya sekitar 40% saja dari lulusan SMA yang bisa ikut ujian masuk

universita­s ( Abitur), termasuk di Aachen.

Namun menariknya, mahasiswa setempat, bahkan calon mahasiswa sekalipun bisa kerja praktik di pabrik-pabrik. Calon mahasiswa? Ya, karena calon mahasiswa yang masih dalam kelas persiapan sekalipun sudah tergoda kerja praktik untuk mencari penghasila­n tambahan. Tak sedikit mahasiswa dari Indonesia, melakukann­ya.

Begitu juga Rudy yang semestinya masih dalam masa persiapan ujian masuk, sudah merasakan kerja praktik di Klöckner Humbolt Deutz. Inilah pabrik pembuatan mesin dan traktor yang berada di Köln-Kalk, kota kecil antara Bonn dan Aachen. Pabrik ini juga merupakan tempat bagi para mahasiswa di RWTH untuk menjalani praktik wajib sebelum lulus sarjana.

Mahasiswa yang praktik di pabrik akan bekerja seperti layaknya karyawan biasa selama enam bulan. Mereka akan berpindah-pindah selama sekitar empat sampai enam minggu pada setiap bagian. Bagi mahasiswa asing, kesempatan ini biasanya tidak disia-siakan karena upahnya cukup lumayan untuk biaya hidup.

Selain upah, pada praktikum pertamanya, Rudy juga memanfaatk­an bengkel kerja di pabrik untuk mewujudkan keinginann­ya membuat pesawat. Tentu bukan pesawat besar, melainkan pesawat kecil tapi tetap bisa terbang. Beruntung, rekanrekan­nya mengizinka­n Rudy

Rudy berhasil menyelesai­Akhir Mei 1955, kan pesawat eksperimen­nya sekaligus menerbangk­annya. Pesawat dengan panjang sekitar 60 cm itu terbang setinggi dua meter.

memakai fasilitas di pabrik.

Dengan uang yang terbatas, Rudy berbelanja beberapa komponen seperti kayu balsa, mur, serta motor kecil. Dia merancang dan membuat dengan cermat setiap bagian. Kegiatan tambahan ini bahkan sering kali membuat Rudy harus lembur di pabrik.

Akhir Mei 1955, Rudy berhasil menyelesai­kan pesawat eksperimen­nya sekaligus menerbangk­annya. Pesawat dengan panjang sekitar 60 cm itu terbang setinggi dua meter. Seutas tali diikatkan untuk

mengontrol arah terbang. Maklum, saat itu belum lazim radio control seperti sekarang.

Orang-orang di sekitar bertepuk tangan. Mereka juga yang meminta Rudy berpose dengan pesawat rancangann­ya sebagai kenangkena­ngan. Klik! Jadilah pose “Rudy dengan pesawat pertamanya” yang sangat populer beberapa tahun kemudian setelah nama Habibie mendunia.

Tidak terlalu politik

Sebagai mahasiwa tanpa beasiswa, Rudy punya pemikiran untuk berkuliah setinggi-tingginya dengan waktu secepat-cepatnya. Ketika itu mahasiswa di Aachen rata-rata butuh 10 tahun untuk sampai lulus S-3. Perinciann­ya, Kandidat-Ingenieur (S-1) tiga tahun, Diplom-Ingenieur (S-2) tiga tahun, dan Doktor-Ingenieur (S-3) empat tahun.

Meski punya target pribadi, Rudy tetap menjalani perkuliaha­n di RWTH selayaknya mahasiswa pada umumnya. Hanya saja, jika diamati benar, ia sebenarnya tidak terlalu banyak bermain-main. Waktunya banyak dihabiskan di perpustaka­an. Bukan cuma belajar, tapi karena di sana kadang ia dapat makanan. Cukup lumayan untuk mengganjal perut. Terutama kalau uang kirimannya terlambat.

Ada kalanya Rudy bersemanga­t saat harus mengerjaka­n tugas kelompok. Lagi-lagi, karena ia bisa mendapat makan gratis sekaligus bisa bergaul akrab dengan temanteman bule- nya. Di antara para mahasiswa Jerman saja, kecerdasan Rudy sudah terlihat menonjol.

Pergaulan Rudy dengan temanteman sesama mahasiswa asal Indonesia di Aachen juga terus terjalin. Apalagi, pada 1955 di Bad Honnef diadakan pertemuan mahasiswa Indonesia di seluruh Eropa yang melahirkan Perhimpuna­n Pelajar Indonesia (PPI). Setahun kemudian, PPI Jerman didirikan di Bonn yang menaungi 11 cabang PPI di negara itu.

Dalam organisasi yang mewadahi sekitar 50-an orang mahasiwa di Aachen, awalnya Rudy jadi Sekretaris. Baru setahun kemudian, 1957, ia dipercaya rekan-rekan jadi Ketua. Saat itulah ia merealisas­ikan

ternyata Rudy Meski aktif berorganis­asi, sama sekali tidak tertarik pada bidang politik.

program pertama yang digagasnya yaitu klubraum. Sebuah tempat berkumpul bagi mahasiswa Indonesia untuk bersosiali­sasi.

Dalam ingatan Wardiman Djojonegor­o, sahabat dekat

Rudy, tak ada mahasiwa asing lain di Aachen yang punya ruang berkumpul bersama seperti itu. Di masa Rudy menjadi ketua, ide itu langsung direalisas­ikan. “Kami sengaja menyewa bersama-sama, harganya mahal,” tuturnya.

Di ruangan apartemen itu, para mahasiswa Indonesia bisa berdiskusi, membaca, menonton televisi, sampai acara perayaan pernikahan dan ulang tahun. Bagi Rudy, berada di tempat semacam ini justru lebih bermanfaat daripada para mahasiswa itu nongkrong di bar.

Meski aktif berorganis­asi, ternyata Rudy sama sekali tidak tertarik pada bidang politik. Padahal situasi di Tanah Air sedang bergejolak karena berbagai peristiwa besar, seperti Pemilu 1955 serta perebutan Irian Barat. Pengaruh politisasi di Indonesia sampai juga ribuan kilometer jauhnya di Eropa. Setiap kelompok berusaha untuk menarik dukungan dari para mahasiswa Indonesia, karena dianggap caloncalon intelektua­l.

Rudy berpendapa­t, tugas mahasiswa di perantauan adalah menuntut ilmu. Rakyat dan

bangsa yang pada umumnya masih miskin dan terbelakan­g lebih membutuhka­n sumbangsih pemikiran mereka saat kembali nanti. Untuk memajukan sebuah bangsa, selain kemajuan teknologi, Rudy percaya dibutuhkan kemajuan di bidang sumber daya manusia.

Sikap Rudy yang keras itu sering kali membuatnya harus berbentura­n dengan berbagai pihak. Bukan hanya dengan seniorseni­ornya, melainkan juga dengan perwakilan pejabat pemerintah Indonesia. Lucunya, ternyata pemerintah­an otoriter saat itu ternyata sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab Rudy bukan penerima beasiswa pemerintah. Di situlah ia merasa beruntung karena independen.

Ambruk karena seminar

Selain memang suka, kecintaan Rudy akan dunia penerbanga­n juga lantaran teringat kata-kata Bung Karno. Terutama saat Presiden Pertama RI itu berkunjung ke Jerman dan berdialog dengan sejumlah mahasiswa Indonesia. Antara lain Soekarno mengatakan,

Indonesia sebagai negara kepulauan, butuh banyak tenaga ahli penerbanga­n dan perkapalan.

Rudy sepakat dengan pandangan Soekarno, kita butuh industri pesawat terbang sebagai penghubung antarpulau. Dengan pesawat terbang, kendala jarak yang selama ini banyak menghambat kemajuan dapat teratasi.

Namun di sisi lain, Rudy juga berpikir, tidak mungkin membangun industri itu sendirian. Dibutuhkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk mewujudkan­nya. Padahal, selama ini belum ada panduan pasti tentang arah pembanguna­n Indonesia. Pemerintah saat itu hanya sibuk bergulat dengan urusan politik.

Lebih menyedihka­n lagi, para mahasiswa juga hanya diberi beasiswa sampai S-2 tanpa dibekali visi dan strategi apa yang harus mereka kerjakan setelah pulang ke Indonesia. Contohnya tak jauhjauh, Wardiman sendiri, sahabat dekat Rudy. Di Aachen, jurusan kuliahnya perkapalan. Namun ketiadaan industri perkapalan kala itu membuatnya harus berkarier di bank kemudian Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Bagi Rudy, karena studi sarjananya akan berakhir, harus segera menentukan penjurusan di S-2. Pilihannya aerodinami­ka, konstruksi pesawat terbang, dinamika gas, aeroelasti­sitas, struktur pesawat, propulsi, atau mekanika penerbanga­n. Masalahnya, pada semua mata kuliah itu nilai Rudy bagus.

Meski awalnya sempat bingung, Rudy mantap memilih Konstruksi Pesawat Terbang. Alasannya, jurusan itulah yang paling sulit. Namun dari pengalaman kebingunga­nnya itu, di benaknya terpantik suatu ide yang lebih besar lagi, yakni perlunya sebuah Seminar Pembanguna­n.

Seminar diperlukan untuk memberi arah pembanguna­n Indonesia di masa depan. Tentu

aerodinami­ka, konstruksi Pilihannya pesawat terbang, dinamika gas, aeroelasti­sitas, mekanika struktur pesawat, propulsi, atau penerbanga­n. pada semua

Masalahnya, mata kuliah itu nilai Rudy bagus.

dengan melibatkan pemikiranp­emikiran intelektua­l perguruan tinggi, terutama di bidang teknologi. Saat itu, pemerintah seolah tidak memiliki pegangan sama sekali.

Akhir 1957, pemerintah memang sempat mengadakan Musyawarah Nasional Pembanguna­n

(MUNAP) yang dihadiri berbagai elemen bangsa. Namun lagi-lagi pembahasan­nya tidak jauh dari ideologi, Irian Barat, dan isu DwiTunggal.

Persiapan seminar yang rencananya akan dihadiri 300 utusan mahasiswa Indonesia dari seluruh Eropa tentu tidak mainmain. Selain karena dananya benar-benar dari nol, para mahasiwa ini juga tetap berkuliah seperti biasa. Saat itu Rudy juga sibuk mempersiap­kan tugastugas persiapan sarjana ( Studien Arbeitten) dan ujian sarjana ( Diplomprüf­ung). Akibatnya, kondisi kesehatann­ya menurun drastis.

Rudy mencoba menutupi kebutuhan dana hingga ribuan DM dengan mencari sponsor. Optimisme akan manfaat seminar ini di masa depan, membuat panitia berani menyebut diri mereka Aufbau Generation alias generasi penyangga. “Karena kamilah masa depan Indonesia.”

Wardiman mengenang,

Rudy sangat bersemanga­t dalam mengumpulk­an temanteman­nya yang dianggap bisa berkontrib­usi bagi kemajuan

Indonesia kelak. “Beliau ketika itu sudah berpandang­an bahwa pengembang­an sumber daya manusia menjadi yang terpenting,” tutur mantan menteri yang kini sudah berusia 85 tahun ini.

Seminar akhirnya sukses diadakan 20-25 Juli 1959 di Hamburg-Barsbuttel. Selain dihadiri pejabat kedutaan dan atase RI di Jerman, dari Jakarta hadir Dr. Moh Hatta yang memberi amanat. Sayangnya, justru sang penggagas seminar, Rudy, malah terkapar di

Departemen Hingga suatu hari, pihak Pertahanan datang dan menyetopny­a. Alasannya, Rudy orang asing dan berasal dari negara yang Padahal ini proyek bukan bagian dari Barat. rahasia negara.

Rumah Sakit Universita­s Bonn. Tubuhnya ambruk karena terlalu letih, hingga muncul penyakit.

Kerja sia-sia

Setelah studinya sempat tertunda setahun akibat sakit, Rudy akhirnya bisa meneruskan pendidikan ke jenjang S-3. Prestasi ini cukup membanggak­an, karena ia satu di antara empat orang seangkatan yang berhak menempuhny­a. Saringan pada sistem pendidikan Jerman memang benar-benar ketat.

Para mahasiswa S-3 diharuskan membuat proposal untuk memenangi tender penelitian. Nantinya penelitian itu jadi karya akademik, sekaligus akan mendapat gaji sebagai peneliti. Rudy mendapat tender ini Agustus 1960 dengan gaji 1.300 DM. Ia menjadi asisten peneliti Profesor Hans Ebner di Institut Konstruksi Ringan RWTH Aachen.

Proyek penelitian Rudy berjudul Kugel-Raupe yang secara harfiah berarti ulat bulu. Proyek ini melakukan pengembang­an kapal selam militer yang dapat menyelam lebih dari 300 meter di bawah permukaan laut. Tentu saja penelitian bersifat rahasia dan didanai Departemen Pertahanan Jerman Barat.

Tak kurang 18 bulan Rudy

tenggelam dalam kesibukan penelitian siang-malam. Hingga suatu hari, pihak Departemen Pertahanan datang dan menyetopny­a. Alasannya, Rudy orang asing dan berasal dari negara yang bukan bagian dari Barat. Padahal ini proyek rahasia negara.

Tentu saja Rudy cukup terpukul. Bukan saja karena kerja kerasnya sekian lama hancur sia-sia, namun studinya juga akan semakin lama. Padahal dia sudah bertekad, selesai secepatcep­atnya.

Dari kesaksian Wardiman, saat itu sebenarnya Rudy punya pilihan. “Dia bisa meneruskan penelitian asalkan mau jadi warganegar­a Jerman. Karena penelitian itu untuk persenjata­an masa depan,” tuturnya. Hanya saja, karena rasa nasionalis­menya, Rudy menolak.

Kerisauan Rudy tentu saja dirasakan Ebner. Akhirnya Ebner pula yang memberi sebuah proyek untuk perhitunga­n sirip roket. Tujuannya agar roket jatuh tepat sasaran. Masalahnya, Rudy berpikir, penelitian ini lagi-lagi untuk kepentinga­n militer. Ia jadi teringat akan bom-bom yang dijatuhkan Jepang dan Sekutu di kampung halamannya, Parepare.

Ebner menatap Rudy. Dia tahu kegundahan anak muda itu. Namun ia menyemanga­ti, jika hitunghitu­ngan Rudy benar, maka ada kemungkina­n roket itu justru tidak akan melukai mereka yang tidak bersalah. Meski masih tersisa resah, di situlah Rudy bisa memahami peran ilmu yang bebas nilai di dalam kehidupan.

Ngobrol bahasa Jerman

Usai bersekolah, Rudy selanjutny­a berkarier di Jerman. Kisahnya begitu terkenal saat ia akhirnya menduduki jabatan penting di Messerschm­ittBölkow-Blohm, sebuah pabrik pesawat terbang di Hamburg. Tentu saja sebuah kenyataan yang membanggak­an, karena posisi itu diperolehn­ya dalam waktu singkat berkat prestasiny­a.

Sebagai sahabat, Wardiman memaklumi pilihan Rudy berkarier di Jerman. Karena memang saat itu di Indonesia belum ada wadah yang bisa menampung cita-citanya mendirikan industri pesawat terbang. “Justru di sanalah ia memupuk keahlian dan jejaring untuk dibawa ke Indonesia,” tuturnya.

Meski Rudy sempat tinggal di Jerman (sebelum akhirnya ditarik ke Jakarta pada 1973), hubunganny­a dengan para mantan mahasiswa Indonesia di Aachen tetap baik. Komunikasi mereka tidak pernah putus.

Hingga puluhan tahun kemudian, kenangan demi kenangan akan negeri tempat mereka menuntut ilmu memang masih melekat di antara lulusan Aachen. Setidaknya setahun dua kali para ingenieur ini berkumpul, mempererat tali persaudara­an. Tradisi ini berlangsun­g setidaknya sampai Wardiman selaku “Lurahnya” para alumnus Aachen, menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 1993.

Menariknya, ungkap Wardiman, di saat berkumpul, mereka tetap saling berkomunik­asi dengan bahasa Jerman. Bukan sekadar bernostalg­ia. “Tapi komunikasi­nya jadi lebih enak. Terasa egaliter dan lugas,” tutur ahli perkapalan yang kini banyak berkutat dengan literasi sejarah ini.

Dalam temu kangen itu, terkadang terselip juga diskusi tentang kondisi bangsa. Bahkan mengkritis­i kebijakan pemerintah, terutama semasa Rudy yang kemudian dikenal sebagai BJ Habibie menjadi presiden. Seperti pada masa mahasiswa dulu, ia sangat terbuka menerima masukan teman-temannya. Tidak antikritik. Begitulah sejatinya, Bapak Demokrasi.

kenangan demi Hingga puluhan tahun kemudian, kenangan akan negeri tempat mereka menuntut ilmu masih melekat di antara lulusan memang Aachen.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Kampus RWTHA Aachen, Jerman
Kampus RWTHA Aachen, Jerman
 ??  ?? Sosok Habibie yang supel meski gemar belajar.
Sosok Habibie yang supel meski gemar belajar.
 ??  ?? Bersama para mahasiswa yang kuliah di Jerman Barat.
Bersama para mahasiswa yang kuliah di Jerman Barat.
 ??  ?? Wardiman, ahli perkapalan yang berkarier di bank, karena ketiadaan industri perkapalan saat itu.
Wardiman, ahli perkapalan yang berkarier di bank, karena ketiadaan industri perkapalan saat itu.
 ??  ?? Suasana perkuliaha­n di Jerman.
Suasana perkuliaha­n di Jerman.
 ??  ?? Rudy berwisata dengan teman-temannya di Sungai Rhein.
Rudy berwisata dengan teman-temannya di Sungai Rhein.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia