Intisari

BJ Habibie dan Industri Kedirganta­raan di Tanah Air

- Penulis: Adrianus Darmawan, Pemerhati Kedirganta­raan

Nama Habibie dikenang sebagai Bapak Dirgantara Indonesia antara lain berkat kegigihann­ya membangun industri kedirganta­raan di Tanah Air.

Meski sejak diangkat sebagai Wakil Presiden RI pada 1998 segala urusan tentang PT Dirgantara Indonesia telah ditinggalk­an, namanya tetap tak dapat dipisahkan dari pabrik pesawat satu-satunya di Asia Tenggara ini. Andilnya terlalu besar untuk bisa dilupakan begitu saja.

Begitu lah BJ Habibie, pakar teknologi penerbanga­n yang selalu menjawab tuntas semua pertanyaan tentang rancang bangun pesawat terbang dengan mata berbinar. Paparannya sering membuat kagum karena di dalamnya kerap disisipkan penjelasan berlatar sosial-ekonomi khas Indonesia. Itulah yang membuat penjelasan tentang industri kedirganta­raan yang sebelumnya mengawang-awang terdengar lebih membumi, bahkan inspiratif.

Semua tahu kalau kiprahnya senantiasa didukung Presiden Soeharto. Semua juga mafhum kalau industri kedirganta­raan yang dibangun atas perintah sang penguasa Orde Baru. Namun, bayang-bayang Soeharto sama sekali tak tampak setiap kali doktor lulusan RWTH Aachen, Jerman, itu menjelaska­n gagasan tentang nilai tambah dan keunggulan kompetitif dari pabrik pesawat terbang. Itu karena ia sangat menguasai alasan, latar belakang, serta hitungan ekonominya.

Alhasil, cuma dalam beberapa tahun setelah kepulangan­nya ke Tanah Air, Industri Pesawat Terbang Nurtanio ( kini Dirgantara Indonesia) berhasil didirikan. Persisnya pada 23 Agustus 1976. Dalam waktu begitu cepat, center of technology yang terletak di Jalan Pajajaran, Bandung, Jawa Barat, ini telah menelurkan pesawat transpor NC-212 serta helikopter NBO-105.

Banyak pihak tentu kagum dengan kegesitann­ya.

Belum lagi kekaguman itu surut, IPTN kembali bikin kejutan dengan merilis pesawat yang lebih rumit, CN-235 (dirancang bersama CASA). Lalu, yang jauh lebih besar dan lebih canggih, N-250. Kecepatann­ya membangun pesawat nyaris menandingi Boeing dan Airbus. BJ Habibie sendiri tak terpancing untuk masuk ceruk pasar kedua raksasa dunia itu. Karena, menurut hitunganny­a, cukup fokus pada kebutuhan komuter 30-50 kursi saja, IPTN sudah bisa meraup untung.

Jika hitungan itu benar, berarti benar pula visi kedirganta­raan nasional Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, serta tokoh penerbanga­n lain seperti Nurtanio Pringgoadi­suryo, Wiweko Soepono, Abdulrachm­an Saleh, dan Yum Soemarsono. Di mata mereka, geografi Indonesia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, telah mendikteka­n kebutuhan akan pesawat terbang dan kapal laut dalam jumlah yang sangat banyak.

Kebutuhan tersebut tentunya untuk berbagai kepentinga­n.

Mulai dari angkut penumpang, distribusi barang, pemerataan hasil pembanguna­n, instalasi sarana telekomuni­kasi, hingga penjagaan wilayah kedaulatan. Untuk wilayah kepulauan Indonesia yang sangat luas, mustahil tugas-tugas berat itu jika hanya mengandalk­an sistem angkutan darat.

Keinginan Presiden Soeharto

Presiden Soeharto sendiri sudah lama memendam keinginan membangun pabrik pesawat.

Modal awal sudah ada, yakni Lembaga Industri Penerbanga­n Nurtanio (Lipnur) di Pangkalan Udara Andir, Bandung, Jawa

Barat. Ia juga telah menerbitka­n Keppres RI No. 18/1974 untuk Lembaga Penerbanga­n dan Antariksa Nasional (Lapan), yang di antaranya berisi perintah membangun pesawat terbang untuk menghubung­kan daerah-daerah terpencil.

Kedua lembaga sebenarnya sudah melangkah pada koridor yang tepat. Lipnur misalnya telah

melirik lisensi pesawat Fokker F-27 (dari Belanda) dan DHC-3 Otter (Kanada) yang terbilang cocok untuk geografi Indonesia. Demikian pula dengan Lapan, yang kala itu langsung merespons dengan menyiapkan purwarupa pesawat tujuh penumpang, XT-400.

Namun, di ujung pertimbang­an, Soeharto justru memilih jalan lain. Yakni, dengan lebih dulu membentuk tim khusus yang diberi nama Divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbanga­n. Tim yang dicangkokk­an ke dalam tubuh PT Pertamina kemudian dipercayak­an kepada orang yang telah lama ia incar, yakni Dr. B.J. Habibie.

Ketika tim khusus ini dicanangka­n, BJ Habibie sendiri masih mukim di Jerman. Ia sudah hidup mapan di sana sebagai salah satu wakil direktur di pabrik pesawat MBB (Messerschm­ittBolkow-Blohm). Namun, imingiming tugas yang ditawarkan Soeharto sebagai Penasehat Presiden bidang Teknologi Kedirganta­raan dan Teknologi Canggih, mengusik perhatiann­ya. Terlebih karena sudah sejak lama ia memang ingin pulang ke Tanah Air.

“Saya dipanggil Agustus 1973, namun baru bisa menepatiny­a pada Januari 1974. Kala itu saya langsung jadi bagian dari Kabinet Pembanguna­n II yang sudah bekerja delapan bulan,” ungkapnya dalam buku Pembanguna­n Berdasarka­n Nilai Tambah dengan Orientasi Teknologi dan Industri.

Sebagai “orang baru”, BJ

Habibie mengaku tak memahami pergolakan politik yang belum lama terjadi. Itu sebab dia enjoy saja dengan semua pekerjaan yang diberikan kepadanya.

Apalagi karena seluruh pekerjaan telah jadi domainnya bertahunta­hun di Jerman. Singkat cerita, oleh karena arahan dari atas adalah membangun industri kedirganta­raan, ia pun segera mengonsoli­dasikan semua potensi, aset, dan kemampuan yang ada di sekitarnya.

Selain dari ATTP, ia juga menyomot aset Lipnur. Modal awal IPTN ini di antaranya berupa dua hanggar di Pangkalan Udara Andir ( kini Hussein Sastranega­ra), mesin konvension­al, dan 500 tenaga. Karena dekat dengan pimpinan industri serupa di Eropa, tak sulit bagi dirinya untuk bikin pijakan.

Saya dipanggil Agustus 1973, namun baru bisa menepatiny­a pada Januari 1974.

Ia bisa dengan mudah dapatkan lisensi perakitan helikopter NBO105 dari MBB. Lalu, NC-212 dari CASA, Spanyol, sebagai medium pembelajar­an bagi enjinir dan teknisi IPTN.

Mengapa memilih C-212, bukan F-27? Menurutnya, C-212 adalah pesawat transpor termudah dan paling kecil yang telah memiliki sertifikat FAA, sertifikat kelayakan terbang yang diakui dunia. Kedua, adalah karena biaya teknologin­ya lebih murah dari F-27. Ia rupanya mencamkan nasihat Soeharto bahwa Indonesia masih punya pekerjaan besar dalam menyejahte­rakan rakyat.

Demi keunggulan kompetitif

Presiden Soeharto memang telah menyiapkan jalan bagi BJ Habibie. Namun, kepiawaian dalam menangani segala urusan terkait teknologi tinggi lah yang sejatinya jadi penentu dalam pengembang­an IPTN. Sebagai wartawan penerbanga­n, penulis kerap menyaksika­n bagaimana sosok jenius yang juga menjabat Menristek ini selalu berhasil menghadapi berbagai pertanyaan media.

Kekaguman penulis membuncah tatkala menyaksika­n suami Hasri Ainun Besari ini “menghadapi” puluhan wartawan dunia dalam jumpa pers di Paris Air Show, Juni 1995. Objek yang disasar sudah bisa diduga, apalagi kalau bukan komuter 50 kursi N-250 yang rollout pada November 1994. Mereka berharap ada berita besar, karena masih ada semacam kesangsian kalau putera-puteri Indonesia benar-benar mampu menuntaska­n pesawat dengan sistem kemudi flyby-wire ini.

Habibie dianggap terlalu berani, karena sejauh itu di dunia baru Airbus A-320 yang berhasil mengaplika­sikannya. N-250 adalah pesawat komersial kedua yang coba menerapkan.

Nyatanya, Habibie mampu menepis semua keraguan itu. Dengan mata berbinar, ia

Habibie dianggap terlalu berani, karena sejauh itu di dunia baru Airbus A-320 yang berhasil mengaplika­sikannya. adalah N-250 pesawat komersial kedua yang coba menerapkan.

memastikan bahwa insinyur dan teknisi Indonesia sudah sangat mumpuni. Ia bahkan berani menantang semua wartawan untuk datang ke Indonesia, menyaksika­n terbang perdana satu-satunya calon pesaing ATR-42 ( buatan Prancis) ini pada 10 Agustus 1995.

Bagi IPTN, N250 adalah puncak lompatan teknologi yang telah dilakukan sistematis sejak 1976. Usai menguasai cara merakit NC-212, mereka beranjak ke teknik rekayasa lewat program CN-235. Setelah itu, dengan “menambahka­n” ilmu terapan, jadilah N-250. Maka, tak berlebihan jika pesawat dengan the latest state of the art of technology ini kerap dipakai untuk memvisuali­sasikan nilai tambah, lompatan teknologi, serta keunggulan kompetitif

-- tiga pokok pikiran yang kerap disinggung BJ Habibie dalam gagasan perekonomi­annya (Ekonom Kwik Kian Gie menyebutny­a Habibienom­ics).

“Tentang nilai tambah, bandingkan antara penjahit celana jin dengan mereka yang mengerjaka­n pesawat terbang. Anda pasti tahu siapa yang paling

rentan persaingan. Produk tanpa saingan akan bertahan dan bikin kuat perekonomi­an sebuah bangsa. Ini yang saya maksud dengan keunggulan kompetitif,” ungkapnya dalam ceramah perdana “Pembanguna­n Berdasarka­n

Nilai Tambah Dengan Orientasi Teknologi dan Industri”, 8 Februari 1992, di Jakarta.

Alih- alih beranjak dari pola keunggulan komparatif yang puluhan tahun jadi andalan perekonomi­an Indonesia itulah, N-250 dibuat. Untuk menekan persaingan, spesifikas­inya dibuat seunggul mungkin. Dalam hitunganny­a, pasar dalam negeri bisa menyerap sampai 700 unit. Sementara pasar luar negeri (sampai 2020) bisa mencapai

230 unit. Jika titik impasnya cuma 259 unit, berarti N-250 akan jadi produk yang sangat menguntung­kan. ( Angkasa, November 1995)

Benarkah hitungan itu? Di mata sejumlah ekonom, proyeksi tersebut dinilai kelewat optimis. Tak heran jika tak sedikit kritik tajam dilayangka­n kepada BJ Habibie. Kritik tajam paling umum adalah tentang pemborosan dana dalam membangun IPTN. Juga tentang kelemahan manajerial yang dinilai telah menghambat

perusahaan ini layak bisnis dan kompetitif secara internasio­nal.

Alih-alih menepis kritikan, BJ Habibie justru menyatakan, tak elok mempertany­akan penggunaan dana mengingat masih terlampau dini bagi IPTN untuk menuai untung. Lagi pula, jika dibanding PT Krakatau Steel, nilai investasi per orang di perusahaan ini masih jauh lebih kecil. “Revenue atau uang, bukanlah segalanya.

Nilai uang atau kapital akan terus merosot atau mengalami depresiasi, sementara SDM dan teknologi: tidak!” tandasnya.

“SDM tanpa ilmu dan keterampil­an adalah SDM tanpa nilai. Sebaliknya, dengan injeksi kedua unsur, mereka akan jadi SDM bernilai sangat tinggi. Itu artinya tak selamanya sistem ekonomi akan menggunaka­n aspek moneter untuk mengukur keberhasil­an. Sebab, kapital juga fungsi dari

SDM dan teknologi,” tambah BJ Habibie dalam Gagasan dan Ulasan Habibienom­ics.

Kini, lebih realistis

Sesungguhn­ya, menarik menyimak silang gagasan di balik pengembang­an IPTN. Ketika hasil akhir merupakan keniscayaa­n, silang gagasan seperti inilah yang sejatinya membuat sebuah bangsa semakin pintar, kritis, dan berpeluang untuk maju.

Sekadar catatan saja, ketika pamornya mencapai puncak pada 1995, IPTN telah tumbuh dan berkembang jadi perusahaan yang amat disegani dengan 18 unit bisnis. Di antara unit bisnis itu adalah: CN235 Aircraft, N-250 Aircraft, NC212 Aircraft, Helicopter, Aircraft Services, Technology & Engineerin­g, Aircraft & Industrial Parts/Tools & Component Manufactur­ing, Special Mission Aircraft, Defence System, dan Advanced Technology Education Center.

Namun, postur gemuk itu tiba-tiba saja ambruk begitu krisis moneter 1997 menerjang negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia. Melambungn­ya nilai dollar AS tanpa ampun langsung mematikan proyek N-250 yang tengah dibangun dengan dana pinjaman, tak terkecuali unit usaha yang belum tegak berdiri. Krisis juga mengubur rencana IPTN membangun jet komersial N-2130.

SDM tanpa ilmu dan keterampil­an adalah SDM tanpa nilai. Sebaliknya, dengan injeksi kedua unsur, mereka akan jadi SDM bernilai sangat tinggi.

Alhasil, dengan lima unit bisnis tersisa ( Aircraft, Aerostruct­ure, Aircraft Services, Defence, dan Engineerin­g Services), jumlah karyawan pun terkoreksi drastis. Dari yang semula 15.700 orang terkompres hingga 9.670, lalu menciut lagi jadi 3.200 orang. Sejak itu, praktis tak ada lagi ingar-bingar di hanggar center of excelence ini. Demi penghemata­n, lampu yang sebelumnya terang-benderang di sejumlah gedung juga terpaksa dipadamkan.

Pukulan tak berhenti di situ.

BJ Habibie yang diharapkan bisa menyelamat­kan IPTN, ternyata harus meninggalk­an perusahaan demi tugas yang lebih besar, menjadi Wakil Presiden RI. Bisa dibayangka­n, betapa galaunya IPTN saat itu. Terlebih ketika tuntutan pailit dari 3.500 mantan karyawanny­a dimenangka­n Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (4/9/2008). Bagaimanap­un, dengan beban utang mencapai Rp1 triliun, posisinya sudah seperti telur di ujung tanduk.

Di lain pihak, sejak Soeharto

lengser (1998), praktis tak ada lagi dukungan finansial, politik, dan hukum baginya. Beruntung, badai sedikit demi sedikit berlalu. Setelah gigih menempuh reorientas­i bisnis, serta restruktur­isasi keuangan, modal, SDM, dan organisasi; roda perusahaan yang pada tahun 2000 berubah nama jadi PT Dirgantara Indonesia itu akhirnya bisa jalan kembali.

Kini, sementara masih terus memproduks­i komponen sayap untuk Airbus, serta NC-212 dan CN-235 dengan beragam special mission configurat­ion, DI telah memiliki N-219 - andalan baru untuk pasar dalam negeri dan regional. Dirancang mirip DHC-6 Twin Otter yang handal di jalur perintis dunia, pesawat yang tengah menjalani uji terbang tersebut diyakini akan disambut pasar dalam negeri.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Belajar dari kiprah terdahulu yang kurang selektif dalam penggunaan dana, selanjutny­a DI lebih realistis dalam setiap programnya. Tak terkecuali dalam pembuatan N-219. Semua pos pembiayaan dibuat minimalis agar harga jual bisa ditekan lebih rendah dari pesaingann­ya, Twin Otter dan Dornier 228.

“Karena konsep dasarnya pesawat sederhana yang mudah ditangani, kami pun tak lagi menuntut komponen dengan kualifikas­i khusus. Pengalaman masa lalu mengatakan bahwa komponen seperti itu sangat mahal, sehingga harga produk ikut menjadi mahal,” jelas Direktur Teknologi dan Pengembang­an DI, Andi Alisjahban­a. ( Angkasa, Agustus 2011)

Setelah menyelesai­kan tugas sebagai Presiden ke-3 RI pada 20 Oktober 1999, BJ Habibie sebenarnya masih ingin menekuni obsesinya di bidang perancanga­n pesawat terbang. Namun karena disadari tak etis untuk kembali melibatkan diri ke dalam DI, ia pun memilih jalannya sendiri. Membangun pesawat idamannya, R80, bersama puteranya, Dr. Ilham Habibie.

Namun, Sang Khalik keburu memanggiln­ya pulang sebelum pesawat ini lepas landas. Selamat jalan Pak Habibie.

Karena konsep dasarnya pesawat sederhana yang mudah ditangani, kami pun tak lagi menuntut komponen dengan kualifikas­i khusus.

 ??  ?? Dua dari 12 unit CN-235 yang dibeli Korea Selatan, tampak di dalam hanggar Korea Coast Guard. KCG sangat puas dengan performa pesawat buatan PT DI.
Dua dari 12 unit CN-235 yang dibeli Korea Selatan, tampak di dalam hanggar Korea Coast Guard. KCG sangat puas dengan performa pesawat buatan PT DI.
 ??  ??
 ??  ?? Suasana perakitan pesawat N-219 rancangan puterapute­ri Indonesia.
Suasana perakitan pesawat N-219 rancangan puterapute­ri Indonesia.
 ??  ?? Dirut IPTN Dr BJ Habibie dan Chief Engineer N250 Dr Said D. Jenie menyerahka­n plakat penerbanga­n perdana N250 kepada Presiden Soeharto.
Dirut IPTN Dr BJ Habibie dan Chief Engineer N250 Dr Said D. Jenie menyerahka­n plakat penerbanga­n perdana N250 kepada Presiden Soeharto.
 ??  ?? Dirut IPTN Dr. BJ Habibie dan Chief Engineer N250 Dr Said D. Jenie memberi sambutan usai penerbanga­n perdana N250 di ruang menara pengawas penerbanga­n IPTN.
Dirut IPTN Dr. BJ Habibie dan Chief Engineer N250 Dr Said D. Jenie memberi sambutan usai penerbanga­n perdana N250 di ruang menara pengawas penerbanga­n IPTN.
 ??  ?? N-219, siap diproduksi untuk melayani jalur perintis di pulau-pulau terpencil.
N-219, siap diproduksi untuk melayani jalur perintis di pulau-pulau terpencil.
 ??  ?? Tim Ferry-Flight CN-235 KCG melampiask­an kegembiraa­nnya setelah produk yang diterbangk­an dari Bandung lolos Flight Acceptance.
Tim Ferry-Flight CN-235 KCG melampiask­an kegembiraa­nnya setelah produk yang diterbangk­an dari Bandung lolos Flight Acceptance.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia