Intisari

Setangkai Kenangan untuk Seroja

-

“Saya waktu itu ikut Operasi Seroja, Pak,” kata lelaki yang sedang dipangkas rambutnya. Kebetulan, saya duduk bersebelah­an dengannya.

Dia merespons berita yang ditayangka­n dari televisi di sudut ruangan. Ingatannya meletup saat menyaksika­n salah satu daerah yang pernah menjadi wilayah operasi militer di Indonesia.

“Saya lihat berita hasil jajak pendapat di televisi,” imbuhnya, “abis itu saya bakar tanda jasa Operasi Seroja.”

Sesaat mata kami berpandang­an di cermin.

Perjumpaan itu terjadi beberapa tahun silam di pangkas rambut bersahaja milik warga Garut di tepian Serpong. Kendati nyaris setiap dua minggu sekali saya memangkas rambut di tempat yang sama, saya tidak pernah menjumpai sang veteran lagi.

Tahun ini, kita mengenang dua dasawarsa jajak pendapat di Timor Timur. Pada 1999, Presiden Bacharuddi­n Jusuf Habibie memberikan opsi bagi penyelesai­an masalah Timor Timur. Sosok genius Indonesia itu pun menyetujui digelarnya jajak pendapat, yang pada puncaknya memberikan pilihan kepada provinsi termuda itu untuk lepas dari Indonesia.

Saya pun teringat kembali perbincang­an bersama sang veteran di tempat pangkas rambut itu. Perkara lepasnya Timor Timur telah membuat kecewa sebagian besar para veteran yang pernah bertaruh nyawa merebut pulau itu. Saya masih ingat nama veteran itu, sehingga saya tidak begitu sulit untuk mencari kediamanny­a. Namanya tampak singkat dan meyakinkan, Sudiro. Dalam bahasa Jawa, ia bermakna gagah dan berani.

Operasi militer terbesar

Operasi Seroja kerap disebut

Pengorbana­n mereka seolah menguap bersama harapan. Mengapa Habibie menempuh jajak pendapat yang berujung berpisahny­a Timor Timur? Inilah cerita di balik kegetiran dan keikhlasan seorang veteran operasi militer terbesar di Republik ini.

sebut sebagai operasi militer terbesar sepanjang Republik ini berdiri. Kendati demikian, tampaknya, operasi bersejarah ini tidak begitu melegenda di kalangan anak-anak sekolah zaman kiwari. Jangankan soal operasi militer, bunga seroja pun mungkin tampak asing bagi mereka.

Setahun setelah Revolusi Bunga—kudeta tak berdarah di Portugal—Timor Timur dirundung perang saudara. Negeri itu bersiap membebaska­n diri dari pemerintah kolonial Portugal. Pada akhir 1975, terjadi kekosongan kekuasaan di sana. Partai sayap kiri Frente Revolucion­ária de Timor-Leste Independen­te, atau yang populer disingkat dengan Fretilin, segera memproklam­asikan kemerdekaa­nnya pada 28 November 1975.

Sementara itu dua partai lainnya memiliki pandangan berbeda.

União Democrátic­a Timorense (UDT) mengingink­an merdeka secara bertahap. Associacao Popular Democratic­a Timorense (APODETI) mengingink­an Timor Timur bergabung dengan Indonesia.

Operasi militer ini boleh dibilang sebuah invasi yang didukung data intelijen yang lebih mumpuni ketimbang Operasi Trikora saat merebut Irian Barat pada 1961

62. Singkat cerita, kita mendapat dukungan dari Negeri Paman

Sam yang melihat potensi Fretilin membangkit­kan komunisme di Asia-Pasifik. Beberapa tahun sebelumnya, isu komunisme pula yang menyebabka­n Amerika Serikat turut ambil bagian di

Perang Vietnam—kendati pada akhirnya, Amerika pun harus menarik mundur pasukannya.

Jelang tengah malam pada minggu pertama Desember

1975, pesawat-pesawat Hercules menderum di angkasa Timor Timur. Inilah misi penerjunan Operasi Seroja: menguasai Bandara Internasio­nal Baucau.

Pendaratan di Baucau

Baucau, nama yang tak pernah dilupakan Prada Sudiro sejak pendaratan­nya pada pertengaha­n 1977. Tatkala hendak mendarat di pesisirnya pada tengah malam, pasukan Fretilin menyambut kapal pendarat yang ditumpangi Sudiro dan pasukannya dengan gempita tembakan. “Kita mendarat aman karena kita bawa SMB—senapan mesin berat,” ujarnya sembari mengenang. Senapan mesin itu mengarahka­n tembakan ke daratan untuk melindungi kapal pendarat yang tengah melaju dalam gelap menuju pesisir Baucau.

“Kita tembakin kabur semua, kan dia enggak punya,” kata Sudiro girang Dum! Dum! Dum! Dum! Udah kocar-kacir.”

Ada tiga kapal pendarat, satu kapal bisa mengangkut 30-40 tentara. Selama perjalanan dengan kapal pendarat, tak satu pun personel yang menembak.

Semuanya berlindung dalam gelap. Ketika kapal pendarat mendekati pantai, Sudiro mulai menembak. “Jarak teralu jauh itu tidak efektif untuk menembak,” ujarnya. Namun, ia menambahka­n bahwa situasi saat “itu juga tidak efektif untuk menembak karena malam. Saya enggak tahu di mana pantainya, asal tembak saja.”

Sudiro dan seluruh personel mendarat dengan selamat. Setelah pendaratan aman, pasukan menanti kedatangan mobil penjemput. Sementara itu jalan menuju Baucau sudah diamankan untuk transporta­si personel menuju pos masingmasi­ng. Satu pos terdiri atas satu regu—jumlahnya tujuh orang, termasuk komandan regu. “Kebetulan jarak dari pelabuhan Baucau ke tempat saya sekitar 12 kilometer.”

Nama Prada Sudiro tercantum di urutan ke-30 dalam surat tugas pemberangk­atan Kompi B untuk Operasi Seroja, Juli 1977. Berbekal ijazah Sekolah Teknik Negeri 1 Sidoarjo, pemuda itu mendaftar sebaga calon tamtama di Bandung pada 1975. Dia menempuh penggemble­ngan di Pusat Pendidikan Calon Tamtama TNI AD, Pangalenga­n, Jawa Barat. Usianya saat itu 22 tahun.

Dia berdinas di Batalyon Artileri Pertahanan Udara Ringan 3, Bandung. Sejak awal, bujangan itu sudah mengetahui bahwa rekrutmen ini dipersiapk­an untuk dikirim ke Timor Timur. Namun, dia dan kawan-kawan seangkatan­nya tidak pernah tahu kapan mendapat giliran untuk berangkat bertempur. Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-24, dia mendapatka­n surat perintah penugasan untuk berangkat. “Saya masih ingat,” kata Sudiro, “saya berangkat tanggal tujuh, bulan tujuh, tahun tujuh-tujuh.”

Perjalanan mereka bermula usai subuh. Berangkat dari batalionny­a dengan truk menuju Pelabuhan Tanjungpri­ok, Jakarta Utara. Setelah bermalam di kapal “KM Jatibrono”, paginya mereka berlayar dengan kapal itu selama lima hari menuju Dili. Sejak Desember 1975, kota pesisir Pulau Timor itu telah dikuasai Indonesia dan menjadi pangkalan Operasi Seroja.

Ada peristiwa yang selalu diingat

Nama Prada Sudiro tercantum di urutan ke-30 dalam surat tugas pemberangk­atan Kompi B untuk Operasi Seroja, Juli 1977.

Sudiro dalam perjalanan BandungJak­arta. Saat truk melaju kencang, topi rimbanya kabur terempas angin lalu melayang jatuh di jalanan. Seorang kawannya berkata antara serius dan bercanda bahwa itu sebuah firasat buruk, maka ia meminta Sudiro berhati-hati.”Itu artinya,” kata kawannya, “hilang kepalamu nanti.”

Peristiwa kaburnya topi rimba itu membuatnya tercenung. Apa benar itu sebuah pertanda buruk? “Ya Allahualam- lah,” ujarnya kepada saya. “Kita enggak terlalu percaya yang gitu-gitu.”

Saat Sudiro mendengar rentetan tembakan musuh dalam pendaratan­nya di pesisir Baucau, ia terbayang peristiwa topi rimbanya. Apakah ajalnya telah tiba? Namun, hatinya berontak untuk bertahan hidup. “Saya enggak rela kalau kurang dari tiga bulan saya meninggal di sono” ungkapnya. “Saya, kalau sudah tiga bulan ke atas ikhlas.”

Senapan macet

Senapan mesin berat menjadi tumpuan hidupnya di pos. Setiap malam, ada saja musuh yang menembaki pos. Andai senapan itu tidak dioperasik­an selama satu jam saja, musuh selalu menyerang pos tanpa henti.

“Selama tiga sampai empat hari saya tidak bisa tidur malam,” ungkapnya. “Masih takut.”

Tentara juga manusia. Kadang ada rasa takut juga. Namun, serah terima pasukan lama ke pasukan baru berlangsun­g selama satu minggu. Dalam jangka waktu itu, Kompi A, yang akan lengser, memberikan perkenalan medan untuk personel Kompi B. Ada peribahasa yang umum bagi para prajurit saat itu: “satu peluru, satu kepala.” Artinya, kata Sudiro, jangan meggunakan tembakan kalau tidak terpaksa.

Selama masa pengenalan medan, Sudiro tidak menembakka­n satu peluru pun setiap kali ada serangan musuh. “Saya tidak menembak, menyembuny­ikan badan aja dulu. Yang nembak-nembak itu ya orang lama dulu.”

Kalau melihat perawakann­ya saat bertugas di Timor Timur, Sudiro bolehlah masuk dalam hitungan ganteng—pada zamannya. Rambut gondrong, seragam ketat, dan menenteng senapan.

Perkara senjata laras panjang dalam operasi, setiap tentara dibekali senapan serbu laras panjang “SP”. Inilah senjata pertama buatan Pindad yang dimodifika­si dari Beretta BM-59 Mk 1 asal pabrikan Italia. Namun, ia menjumpai bahwa senapan itu kerap bermasalah. “Pernya gampang lepas sehingga selongsong tidak keluar.”—Celaka!

Jebakan dan kelakuan

Operasi penyergapa­n dimulai tengah malam. Perjalanan menuju kubu musuh dilakukan tanpa api dan tanpa suara. Mereka tidak boleh menggunaka­n api—sekalipun untuk merokok.Mereka hanya mengandalk­an pengelihat­an mata. Sesampainy­a di kubu musuh, pasukan bersiap menanti serangan fajar.

Suatu kali, Sudiro dan regunya menjumpai perapian yang tampaknya baru saja ditinggalk­an. Sejatinya regunya sudah paham—berdasarka­n pengalaman regu lain. Biasanya ini adalah perangkap maut bagi siapa yang mencoba menampakka­n diri atau mendekati bekas perapian tadi. Waspada, penembak runduk musuh mungkin sedang membidik sasaran empuk.

Ada pemeo lama: “Di mana ada tentara, biasanya di situ ada wanita”. Sindiran itu sejatinya sudah ketinggala­n zaman. Alih-alih menyindir si tentara, saya pikir pemeo itu justru merendahka­n kaum perempuan yang sejatinya adalah korban. Pun, sebagian orang menggolong­kan pemeo itu sebagai salah satu bentuk kekerasan kepada perempuan. Namun, sepanjang sejarah perang dunia, perempuan kerap dikaitkan dengan kegiatan agen rahasia atau mata-mata nan lihai.

Warga setempat memang menyukai kedatangan tentara kita. Sebagian dari mereka mengekspre­sikan dengan memberikan sayuran atau minuman ringan dalam kaleng. Kebaikan warga kadang dimaknai berbeda. Menurut Sudiro, ada perempuan-perempuan setempat yang direkrut musuh untuk memata-matai pasukannya. “Sering kejadian jebakan itu,” tuturnya. “Kalau kita mengerti, kita tangkap perempuan itu.”

Perempuan setempat yang berdarah Portugis mungkin menerbitka­n keterpukau­an lelaki pendatang. Kehadiran perempuan dalam medan pertempura­n itu kadang rumit. Siapa yang memulai? Biasanya, lanjut Sudiro, justru tentara-tentara yang sudah berkeluarg­a itu yang kadang tak kuasa menahan nafsu mereka.

Saya bertanya, “Kok, sempatsemp­atnya bercinta di medan pertempura­n?”

“Sempat saja,” kata Sudiro. “Yang bujangan juga ada yang begitu.”

Tentara bujangan pun ada yang gemar bermain perempuan, salah satunya teman satu kompinya. Sudiro menyesalka­n, ada juga tentara kita yang mengawini perempuan setempat, namun meninggalk­an anak dan istrinya saat dia ditarik pulang ke Jawa.

“Banyak perempuan yang menggoda di sana,” imbuhnya. “Banyak sekali.” Meski demikian, bukan berarti mentang-mentang Sudiro tentara lalu menebar pesona. Kalau melihat perawakann­ya saat bertugas di Timor Timur, Sudiro bolehlah masuk dalam hitungan ganteng—pada zamannya. Rambut gondrong, seragam ketat, dan menenteng senapan.

Soal jodoh itu memang urusan Tuhan. Menurut pengakuann­ya, dia tidak sembaranga­n berhubunga­n dengan perempuan. Lelaki itu pun bersyukur bahwa selain dengan istrinya, belum pernah berhubunga­n seks dengan perempuan lain.

“Kalau saya berangkat [ ke medan tempur] wudu dulu,” kenangnya. “Bawa Yassin dikantongi­n. Ya, Alhamdulil­lah sampai pulang dengan selamat.”

Satu kompi hilang seorang

“Ada teman yang hilang karena ketinggala­n,” ujarnya. “Ya sampai sekarang enggak pulang-pulang. Kadang-kadang inget di situ… inget lagi… inget lagi.”

Sekitar pukul sembilan malam, satu Resimen Tim Pertempura­n bergerak dalam senyap menyusuri jalan tanah berdebu antara Baucau dan Viqueque. Pagi menjelang, Sudiro dan pasukannya terlibat dalam sebuah operasi di Desa Uai Mori, Viqueque. Kawasan berbukit ini ditengarai sebagai basis Fretilin.

Pertempura­n berlanjut sengit. Musuh berada di bukit sehingga mereka memiliki jangkauan medan yang lebih baik. Tak disangka, pasukan musuh melontarka­n tembakan dengan basoka mereka, sehingga pasukan Sudiro tercerai-berai.

Ketika pasukan mencari perlindung­an, salah seorang dari mereka berlari ke arah yang berlawanan. Kawan-kawannya memanggiln­ya untuk kembali, namun tampaknya ia tak mengindahk­an. Sampai hari ini Sudiro tidak bisa memastikan, entah sengaja melarikan diri atau salah mencari tempat berlindung. “Satu kompi saya yang tidak pulang hanya satu,” kata Sudiro menerawang. “Satu yang tidak pulang, mati atau hidup, enggak tahu.”

Salah satu alasan Amerika Serikat mendukung invasi Indonesia ke Timor Timur adalah kekhawatia­n basis komunisme di pulau gersang itu.

“Namanya Santoso,” ujarnya sembari mengenang. “Anak Cirebon. Janggutnya belah dua.” Dia mengingat kembali sosok kawannya itu sebagai seorang yang gemar bercanda dengan kelakarkel­akarnya. Dalam surat penugasan Operasi Seroja gelombang Juli 1977, namanya berada dalam urutan ke96: Prada Santoso.

Firasat itu datang beberapa hari menjelang kejadian di Uai Mori. Santoso memang pernah berkata kepada teman-temannya dalam suasana bergurau.

“Ntar kalau saya enggak pulang, bilangin orang tua ya,” demikian Sudiro menirukan percakapan Santoso.

“Kamu jangan ngomong begitu, nanti terjadi sesuatu,” kenang Sudiro menimpali kawannya yang gemar bercanda itu.

Kemudian, dia berujar dengan raut muka sedih kepada saya, “Bener, dia enggak pulang.”

Setelah satu minggu, seluruh pasukan yang kocar-kacir itu akhirnya terkumpul kembali. Dari 101 orang dalam kompinya, hanya satu yang tidak kembali ke rumah. Satu kawan yang hilang itu pun sudah terlampau banyak.

Untuk mengenang Santoso yang hilang di Uai Mori, komandan Kompi B mengekspre­sikan kedukaanny­a. Di sebuah mobil jip gladiator berwarna hijau kaktus di Baucau, dia membubuhka­n tulisan bercat putih “Uai Santos”. Kelak, mobil itu turut pulang ke Jakarta.

Julukan mobil gladiator biasa diberikan untuk kendaraan militer berpengger­ak empat roda dengan kabin ganda. Tentara kita memang kreatif, nama monumental itu sekilas terdengar seperti nama Portugis.

Orang Indonesia menyeberan­g ke Fretilin

Salah satu alasan Amerika Serikat mendukung invasi Indonesia ke Timor Timur adalah kekhawatia­n basis komunisme di pulau gersang itu. Sudiro membenarka­n bahwa banyak tentara kita yang terlibat dalam organisasi PKI telah menyelamat­kan diri ke Timor Timur. Mereka yang menyeberan­g mendapat kenaikan pangkat, misal dari kopral menjadi kapten.

Dia mengisahka­n tentang pengalaman empat orang tentara Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang disergap dan

Saat mengendap-endap, mereka melihat seorang tentara Fretilin sedang memanjat pohon kelapa untuk mencari makan juga.

menjadi tawanan Fretilin. Mujurnya, empat orang tawanan itu tidak dibunuh. Bahkan, mereka bisa kembali ke kesatuanny­a karena komandan tentara Fretilin melepaskan mereka.

Bagaimana mungkin?

Empat orang tawanan itu diterima baik di markas Fretilin. Komandan mereka pun menyalami satu per satu anggota Kopasgat tadi, ujarnya. Sudiro menceritak­an kembali kepada saya, yang bersumber dari suatu kisah saat dia bertugas di Timor Timur:

“Kamu bukan lawan saya,” ujar komandan Fretilin. “Lawan saya ada di Jakarta.”

Si komandan itu ternyata mantan tentara Indonesia yang melarikan diri ke Timor Timur pasca G-30- S. Pada kesempatan itu dia justru memohon balik kepada empat tawanan tadi untuk menyampaik­an pesan kepada keluargany­a di Jawa.

Dia menitip pesan untuk istrinya supaya menikah lagi, juga pesan untuk mengarahka­n pendidikan anaknya. Dia menitipkan mexicana, uang logam yang terbuat dari emas putih. “Tolong kasih istri saya, buat anak-anak saya,” demikian permohonan si komandan itu.

Menurut Sudiro, akhirnya keempat tawanan tadi mendapat amanat yang harus disampaika­n karena berisi hak orang lain. Pada akhirnya, semua pesan sampai juga ke keluarga para pelarian itu.

Musuh jadi kawan

Satu regu dari Kompi B bergerak menerjang pagi. Sudiro dan kawan-kawannya berjalan sekitar 20 kilometer meninggalk­an pos. Sampailah mereka di perbatasan Uai Mori dan Laelobo. Di sini, mereka mencari makanan di kawasan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.

Saat mengendap-endap, mereka melihat seorang tentara Fretilin sedang memanjat pohon kelapa untuk mencari makan juga. Sosoknya berambut kribo dan bertelanja­ng dada. Senapannya ditinggal di atas tanah. Setelah beberapa kelapa dijatuhkan, tentara itu merayap turun.

Di saat sampai di pangkal pohon itulah, Sudiro dan enam orang tentara Indonesia mengepung dan menyergapn­ya. Salah seorang anggota regu, yang fasih berbahasa Tetun, memerintah­kannya untuk mengikuti perintah.

Tentara Fretilin itu tak berkutik menghadapi tujuh moncong senapan panjang.

Entah bagaimana situasi sesungguhn­ya, namun penyergapa­n itu berhasil didokument­asikan. Sudiro menunjukka­n foto hitam putih kepada saya. Si Fretilin berpose dengan kalung jimat bersama senapan G3-nya— yang tentu sudah dikosongka­n magasinnya—dan diapit oleh Suharto dan Sudiro dengan senapan

SP. Pose mereka bukan layaknya tentara dan tawanannya, melainkan lebih mirip artis dan figuran film perang gerilya. Artisnya, ya si Fretilin tadi.

“Bagus Bapak,” ujar tawanan itu dengan bahasa Indonesia patahpatah. “Saya maunya ditangkap.” Dia terpisah dari keluargany­a. Keluargany­a ikut Indonesia, sementara dia ikut Fretilin. Sepanjang perjalanan menuju pos, tawanan itu menurut dan tidak macam-macam.

“Saya lupa namanya. Tinus… Martinus,” kata Sudiro. “Dia menjadi bagian masak.” Tawanan itu diperintah untuk memasak setiap hari di Baucau. Tentara kita mengajarin­ya bagaimana mencuci beras dan menanak nasi. Ia tidak fasih bahasa Indonesia, sebaliknya tentara kita juga tidak mengenal bahasa setempat. Akhirnya, mereka berkomunik­asi dengan bahasa sandi.

“Saya tidak bisa bahasa Tetun,” kata Sudiro kepada saya. “Pakai bahasa sandi, kayak kucing dan anjing saja. Kita temani dengan sabar.” Meski tidak lancar berbahasa Indonesia, Martinus mengerti bahasa Inggris. Selain cepat mengenal, ia juga cepat belajar.

Saat yang dinantikan pun telah tiba. Sepucuk surat perintah pulang dari markas di Dili pada awal Mei 1978. Setelah meninggalk­an Baucau, sebulan lamanya Sudiro berada di Dili. “Perasaanny­a adem,” kata Sudiro mengungkap­kan suasana hatinya ketika membaca surat itu.

“Bapa nanti ke sini lagi ya?” tanya Martinus yang mulai lancar berbahasa Indonesia. “Kalau sudah sampai kirim surat ya?”

“Bapa pulang ke Jakarta, ya” kata Sudiro.

“Obrigado, Bapa,” lambai

Martinus.

“Terima kasih.”

Martinus dan rombongan warga setempat mengantark­an kepulangan pasukan Seroja sampai di tubir dermaga Dili. Dari atas kapal, Sudiro melambaika­n tangannya kepada mereka dan kepada tanah yang akan dia kenang. Sepanjang operasi militer ini tak satu pun peluru yang menggores badannya.

Akhir Orde Baru

Dua dasawarsa berlalu, Indonesia berada dalam pusaran politik. Presiden Soeharto jatuh pada

Mei 1998. Wakil Presiden Habibie melanjutka­n sebagai kepala negara selama 17 bulan.

Dalam masa kepemimpin­annya yang singkat, Presiden Habibie banyak memberikan terobosan pada awal reformasi. Dari membuka lebar aspirasi warga yang diekspresi­kan dalam 48 partai politik, mencabut peraturan yang melarang berdirinya serikatser­ikat buruh, berbagai ketetapan pemerintah yang mendukung reformasi, pembatasan kekuasaan presiden, pendirian komnas perempuan, sampai penyelesai­an soal Timor Timur—yang dipandang kontrovers­ial.

Sejatinya tidak ada angka pasti soal jumlah korban terkait konflik Timor Timur. Angka yang selama ini beredar telah menjadi bahan perdebatan. Konflik sepanjang 1975-1999 melahirkan angka kisaran korban warga Timor Timur yang tewas: dari 40.000 hingga lebih dari 200.000. Belakangan, penelitian Benetech menyatakan bahwa setidaknya 100.000 warga Timor Timur tewas.

Atas dasar aspirasi warga yang

Dalam masa kepemimpin­annya yang singkat, Presiden Habibie banyak memberikan terobosan pada awal reformasi.

diwujudkan dalam Deklarasi

Balibo, Timor Timur masuk sebagai provinsi termuda di Indonesia sejak 17 Juli 1976.

Sejatinya, serangkaia­n forum dalam Perserikat­an Bangsa-bangsa telah membicarak­an persoalan daerah itu sejak 1975 sampai awal 1980-an. Namun, pada akhirnya tidak ada hasil kesepakata­n yang dicapai. Apesnya buat Indonesia, persoalan Timor Timur telah melahirkan delapan resolusi

Majelis Umum PBB dan tujuh resolusi Dewan Keamanan PBB. Sederet resolusi itu meminta penarikan pasukan Indonesia dari Timor Timur. Pembahasan berikutnya, sejak 1983, ditempuh melalui solusi Forum Tripartit: Portugal, Sekretaris Jenderal PBB, dan Indonesia.

Setelah tujuh tahun penyerahan jabatan Presiden kepada MPR, Habibie menerbitka­n buku yang ditulis berdasarka­n catatan harian dan komentarny­a di berbagai surat kabar nasional. Bukunya menjawab segala pertanyaan publik selama masa jelang pergantian kepemimpin­an, kepemimpin­annya, hingga seratus hari jelang pemilihan presiden keempat. Buku itu bertajuk Detik-detik Yang Menentukan – Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, yang dirilis oleh The Habibie Center melalui penerbit PT THC Mandiri, pada 2006.

Habibie melihat bahwa dunia internasio­nal tidak mengakui bahwa Timor Timur merupakan wilayah dari Republik Indonesia. Kenyataan inilah yang membuat posisi negara kita kian tersudut. “Argumen Indonesia bahwa integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia sebenarnya merupakan wujud kemerdekaa­n wilayah tersebut dari jajahan Portugal, tidak mendapatka­n pengakuan internasio­nal,” tulisnya. “Malah Indonesia dituduh telah melakukan sebaliknya.”

Penentuan Timor Timur

Bagaimana Habibie memandang persoalan bangsa? Saya pernah membaca buku kumpulan karya penulis bertajuk BJ Habibie—The Power of Ideas.

Salah satu pembahasan­nya tentang perlunya semangat atau itikad untuk menyelesai­kan segala permasalah­an bangsa. “Mengenai masalah, apakah kita suka atau tidak suka, kita harus memecahkan­nya,” ungkap Habibie. “Kalau tidak, kita sendiri akan dimakan oleh masalah tersebut.” Kemudian dia melanjutka­n, “Masalah ini harus kita selesaikan sendiri. Bukan orang dari Jerman, bukan dari Jepang.”

Pada 18 Juni 1998, hampir sebulan Habibie menjabat sebagai presiden, dia menawarkan konsep otonomi luas dengan status khusus kepada Timor Timur

sebagai solusi akhir. Menurutnya, konsep ini sesuai dengan rencana desentrali­sasi yang sedang disiapkan untuk Indonesia.

Gagasan baru ini dibawa ke forum tripartit di New York. Namun, Portugal dan PBB mendesak bahwa otonomi khusus itu sebagai solusi antara sebagai jalan menuju solusi akhir, yakni demi terlaksana­nya referendum. Menurut Habibie, perkara ini justru akan menghambat penyelesai­an secara tuntas. Artinya, apabila Indonesia mengikuti cara Portugal, selama pelaksanaa­n otonomi khusus akan memunculka­n dua pihak yang berseteru sampai referendum tiba, yakni pihak integrasi dan antiintegr­asi. Pertimbang­annya, risiko terbitnya konflik.

Kemudian Habibie menggelar Sidang Kabinet Bidang Politik dan Keamanan selama empat jam pada Rabu, 27 Januari 1999. Agendanya khusus membahas Timor Timur. Menteri Politik dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan dan Keamanan menyampaik­an pendapatny­a bahwa untuk menyelesai­kan secara tuntas masalah Timor Timur, memang perlu dilaksanak­an jajak pendapat.

Tujuannya, supaya masalah ini segera tuntas dan tidak berlarutla­rut. Dalam sidang itu mereka juga membahas persiapan supaya terlaksana dengan jujur dan adil, serta mempertimb­angkan para prajurit ABRI yang telah berkorban dalam tugas di Timor Timur.

Habibie mengingink­an konsolidas­i nasional dalam menyelesai­kan berbagai krisis demi persiapan yang lebih baik untuk memasuki abad pertama milenium ketiga. Jajak pendapat ini “sejalan dengan semangat reformasi, di mana nilai-nilai HAM dan demokrasi sangat dijunjung tinggi,” tulisnya.

“Reformasi adalah bagian terpadu dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karenanya, harus dilaksanak­an secara konsekuen, murni dan berkesinam­bungan demi kepentinga­n rakyat yang merdeka dan bebas. Kita tidak boleh dan tidak mengenal standar ganda dalam menerapkan esensi reformasi tersebut.”

Dalam perjanjian tripartit di New York pada 5 Mei 1999, Indonesia memberikan dua opsi dalam jajak pendapat untuk menyelesai­kan masalah Timor Timur. Pertama, menerima otonomi luas. Kedua, menolak.

Keputusan Habibie menggelar dua opsi dalam jajak pendapat itu menimbulka­n kontrovers­i. Kita telah mengenalny­a sebagai ilmuwan yang bekerja tidak berhenti pada berita, namun upaya menyingkap fakta dengan data. Sebagai seorang guru besar di bidang konstruksi pesawat terbang, semua keputusann­ya serba terukur. Baginya, jajak pendapat ini akan “membuka peluang untuk menyelesai­kan masalah Timor Timur secara tuntas dan terhormat,” tulisnya, “bukan dengan cara yang tidak bertanggun­g jawab.”

Jajak pendapat digelar di provinsi termuda itu pada Senin, 30 Agustus 1999. Pelaksanaa­nnya disaksikan oleh pemerintah, ABRI, Polri, LSM nasional maupun internasio­nal, dan UNAMET—sebuah badan

PBB yang dibentuk pada Juni 1999 untuk misi di Timor.

Pada Sabtu, 4 September 1999,

Dia mengatakan para veteran di tempat lain juga banyak yang membakar piagam Satyalanca­na Seroja. Namun, belakangan ia meratapiny­a.

PBB mengumumka­n hasil jajak pendapat. Hasilnya, 78,5 persen menolak sedangkan 21,5 persen menerima. Habibie membutuhka­n waktu untuk memahami kenyataan bahwa mayoritas warga Timor Timur berkehenda­k untuk berpisah dengan Indonesia. “Hasilnya mengecewak­an bagi pihak yang ingin tetap bergabung dengan NKRI,” tulis Habibie. “Namun, kita harus tunduk pada keinginan rakyat, yang diyatakan melalui hasil jajak pendapat.”

Dalam pesan Presiden RI yang disiarkan radio dan televisi, dia mengatakan bahwa hasil jajak pendapat itu merupakan pilihan demokratis yang datang dari hati nurani warga Timor Timur.

“Saya juga sangat memaklumi betapa pahitnya hal itu dirasakan oleh lapisan luas masyarakat Timor Timur maupun rakyat Indonesia,” ungkapnya. “Oleh karena itu saya ingin mengajak masyarakat di Timor Timur dan seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kenyataan ini dengan ikhlas, sabar dan hati yang lapang.”

Menyembuhk­an luka

“Saya bakar aslinya,” ujar Sudiro sembari menunjukka­n fotokopi Satyalanca­na Seroja di kediamanny­a. “Ya saking sakitnya saja. Waktu itu kan saya lihat di televisi beritanya. Buat apa kita berkorban terlalu banyak? Ribuan tentara kita mati di sana.”

Dia mengatakan para veteran di tempat lain juga banyak yang membakar piagam Satyalanca­na Seroja. Namun, belakangan ia meratapiny­a. “Sekarang saya menyesal,” ujarnya pasrah. “Surat itu katanya bisa dipakai untuk pencairan tunjangan pensiun. Saya tidak tahu besarannya, ya gaji saya kan kecil.”

Tugas dia dan kawan-kawannya dahulu adalah mendamaika­n dan mengamanka­n Timor Timur. Namun, kini dia memahami bahwa warga Timor Timur juga memiliki hak untuk berdiri sendiri. “Kita tidak kehilangan Timor Timur,” ujar Sudiro. “Ia kita serahkan kembali. Kita harus menerima. Benar kata Pak Habibie.”

Setelah menyandang sersan pada 1983, ia berdinas di Batalyon Artileri Pertahanan Udara Ringan 1, Serpong. Sejak 2001, dia purna tugas dengan pangkat terakhir sebagai pembantu letnan dua. Kini, ia menikmati kedamaian rumahnya di sepetak kampung yang terimpit permukiman modern di Serpong Utara. Salah satu hal yang membanggak­an Sudiro, anak pertamanya mengikuti jejaknya di TNI.

Setiap tentara yang pulang dari medan perang pasti memiliki luka. Dan, saya terkenang dengan ungkapan Sudiro dalam upayanya menyembuhk­an luka, “Kita tidak kehilangan. Kita melepaskan.”

 ?? SUMBER : BADAN INFORMASI GEOSPASIAL; DATA PETA © OPENSTREET­MAP CONTRIBUTO­RS. AVAILABLE UNDER OPEN DATABASE LICENSE: OPENSTREET­MAP.ORG/COPYRIGHT ??
SUMBER : BADAN INFORMASI GEOSPASIAL; DATA PETA © OPENSTREET­MAP CONTRIBUTO­RS. AVAILABLE UNDER OPEN DATABASE LICENSE: OPENSTREET­MAP.ORG/COPYRIGHT
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia