Mengenang Pak BJH, Berguru pada Bapak Teknologi
Ya, seperti dikatakan Bu Ainun, yang kemudian menjadi Ibu Negara setelah Pak BJ Habbibie menjadi Presiden ke-3 RI 21 Mei 1998, pembicaraan malam itu, dan juga pada malam-malam dan kesempatan lain, memang selalu asyik. Sekadar penjelasan, yang dimaksud Bu Ainun dengan ‘mainan Bapak’ adalah model pesawat terbang, roket, peluru kendali, juga kapal, yang ada di atas meja kerja Pak Habibie, yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus.
Memulai karier sebagai wartawan profesional di harian Kompas sejak bulan November 1981 membuat saya sedikit punya “privilese”. Ini karena wartawan yang spesialis teknologi pada waktu itu, bisa dikatakan langka kalau bukan tidak ada. Umumnya yang meliput sains dan teknologi adalah juga wartawan yang meliput bidang pendidikan. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Ketika Kepala Humas Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) Pak Makmur Makka mengundang wartawan untuk ikut meliput kunjungan Pak Habibie, yang ikut bisa dikatakan grup khusus. Seingat saya ada
Alm. Pak Subekti dari harian Sinar Harapan, Alm. Pak Mustofa Kamil Ridwan dari harian Suara Karya, Pak Alwi Shahab dari Kantor Berita Antara, dan Dudy Sudibyo sebagai penulis harian Kompas sekaligus wartawan spesialis penerbangan.
“Sudah ya..Cukup dulu. Saya tahu, pembicaraan pasti asyik, apalagi di depan mainan Bapak.. Tapi hari sudah malam.” Itulah kalimat yang diucapkan oleh Ibu Hasri Ainun Habibie kepada kami— beberapa wartawan—yang tengah berbincang dengan Menteri Negara Riset dan Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie. Suatu hari pada pertengahan 1980-an di kantornya, Lantai 3 Gedung BPPT 1 di Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Kami pun rajin meliput dan mendengar aneka rupa penjelasan dari Pak Habibie, baik saat mengunjungi Banda Aceh, Surabaya, hinngga Manado, juga saat kami diajak meliput pameran kediirgantaraan di luar negeri, khususnya Le Boourget, Paris.
Dari sering bertemu, Pak Habibie menjelaskan berbagai strategi atau langkah-langkah transformasi industri untuk membawa Indonesia menjadi negara industri maju. Antara lain kami diperkenalkan pada apa yang disebut dengan “proses nilai tambah” ( added value), di mana nilai tambah yang tinggi semisal untuk alumunium dicapai jika ia digunakan untuk membuat produk hi-tech seperti pesawat terbang.
Meskipun spesialisnya adalah penerbangan atau aeronotika, sampai dirinya dipanggil sebagai “Mr. Crack” karena temuannya untuk asal-muasal retak pada sayap pesawat, Pak Habibie tak disangsikan lagi juga teknolog yang mumpuni. Melalui industri strategis yang ia bina, mulai dari PT IPTN (dari PT Nurtanio, dan kemudian menjadi PT DI) di Bandung yang membuat pesawat dan helikopter, juga roket, PT PAL di Surabaya yang membuat aneka kapal, PT Inka di Madiun yang membuat gerbong dan merakit lokomotif, hingga PT Pindad di Bandung yang membuat senapan serbu, Pak Habibie menjelaskan visinya tentang Indonesia maju dan didukung oleh Iptek.
Ada semangat nasionalisme dan
kemandirian yang menyertai kiprah industri strategis ini, yang dilandasi falsafah “bermula dari akhir, dan berakhir di awal”.
Apabila pembuatan pesawat berteknologi canggih berada di akhir, Pak Habibie justru melakukannya di awal. Dan satu saat nanti baru berakhir di awal, misalnya dengan membuat sepeda motor.
Sebagai wartawan yang ingin terus belajar dan diarahkan oleh profesi menjadi insan yang penuh rasa ingin tahu, bergaul dekat dengan Pak Habibie tidak saja memberi pengalaman aneka ragam, tetapi juga mendapat tambahan ilmu pengetahhuan yang luar biasa.
Kunjungan ke luar negeri membuat kami saat itu tidak saja bisa melihat airshow dengan menikmati aneka pesawat beraksi aerobatik, tetapi juga berikutnya mendapat kesempatan mengunjungi pabrik-pabrik pesawat, mulai dari CASA di Spanyol, MBB di Jerman, dan juga Fokker di Belanda, dan Airbus di Perancis.
Karena Pak Habibie pula, di Indonesia ada airshow, dua
kali, tahun 1986 dan 1996. Penyelenggaraannya pada bulan Juni, bertepatan pula dengan HUT Pak Habibie pada tanggal 25 Juni. Pada airshow kedua (sayang juga merupakan yang terakhir), hadir pula pesawat supersonik Concorde yang dioperasikan oleh maskapai British Airways. Kami pun ikut berkesempatan ikut joy flight dengan jet legendaris yang kini sudah tidak terbang lagi.
Untuk pesawat hasil industri dalam negeri, saya juga sudah mencoba atau ikut menjadi saksi kemunculannya. Untuk CASA
212, saya mencoba rute ManadoGorontalo, Bengkulu-Muko-Muko, dan Denpasar-Lombok. Sementara untuk CN-235 saya menyaksikan terbang perdananya di Landasan Lanud Husein Sastranegara, 31 Desember 1983, dan dua tahun kemudian sempat ikut terbang dengan Pak Habibie sebagai flight engineer dan pilotnya Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin.
Terbang perdana juga saya saksikan untuk pesawat yang 100 persen merupakan hasil rekayasa putera bangsa, yakni N-250
Gatutkoco, pada 10 Agustus 1995. Inilah momen puncak bagi Pak Habibie dan sebenarnya bagi bangsa Indonesia. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi.
Dari Pesawat ke Pemerintahan
Karier Pak Habibie terus menanjak, dari Menristek kemudian tahun 1997 menjadi Wakil Presiden, dan setelah Presiden Soeharto mundur 21 Mei 1998, Pak Habibie menggantikan
Pak Harto sebagai Presiden ke-3 RI. Hanya saja saat menjadi Presiden Pak Habibie memimpin Indonesia yang sedang morat-marit kondisi sosial-politik dan ekonominya.
Proyek N-250 yang dekat di hati Pak Habibie pun hanya bisa ia lihat dari jauh saat IMF melarang RI melanjutkan proyek yang masih membutuhkan dana untuk mendapatkan sertifikasi internasional, khususnya dari FAA.
Pak Habibie menjabat Presiden hanya selama 17 bulan, namun dalam tempo relatif pendek tersebut pakar teknologi dirgantara
Inilah momen puncak bagi Pak Habibie dan sebenarnya bagi bangsa Indonesia. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi.
ini menorehkan berbagai kebijakan monumental. Bagi pekerja pers tentu yang paling bersejarah adalah pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang selama era Orde Baru dirasa amat membelenggu kebebasan pers yang hidup dalam suasana terancam bredel jika mengritik Pemerintah.
Prestasi mengesankan lainnya yakni keberhasilan mengerem kemerosotan ekonomi. Jika saat mulai menjabat pertumbuhan ekonomi minus 13%, pemerintahan Pak Habibie berhasil membalikkan hal itu menjadi plus 1%. Nilai tukar rupiah yang semula sempat mencapai lebih dari Rp 16.000 per dolar AS, berhasil diperbaiki menjadi di bawah Rp 10.000 per dolar AS, bahkan satu saat mencapai Rp 6.500, nilai kurs yang tidak pernah lagi dicapai hingga hari ini.
Menggambarkan pembalikan kondisi yang bisa diibaratkan sedang mengalami stall atau kehilangan daya angkat ini, Pak Habibie menggunakan istilah dalam penerbangan, yakni “abfangen”
( bahasa Jerman), yang berarti titik terendah stall, di mana pesawat lalu bisa bergerak naik lagi.
Bapak Teknologi dan Bapak Keirgantaraan
Setelah menderita sakit beberapa waktu, Pak Habibie berpulang pada tanggal 11 September 2019 pukul 18.05, tak lama setelah azan magrib. Dua acara terakhir yang sempat saya hadiri adalah saat Pak Habibie ikut dalam acara peringatan 40 tahun BPPT pada Agustus 2018, dan saat HUT TNI-AU April 2019.
Sebelum kesehatan Pak Habibie mundur, saya masih secara berkala diundang ke kediaman di Jalan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, untuk berbincang tentang perkembangan teknologi penerbangan umumnya, dan secara khusus membahas tentang upaya mewujudkan R-80, kelanjutan N-250.
Cita-cita Pak Habibie untuk membangun “Everett di Timur” bisa dikatakan mewujud sebagian. Everett adalah salah satu pabrik pesawat Boeing yang terkemuka, terletak di luar Seattle, Washington, AS. Pesawat CN-235 masih diproduksi, namun tidak massal seperti dulu dicita-citakan Almarhum. Pesawat N-250, apalagi N-2130 ( jet dua mesin untuk sekitar 100 penumpang) tak jadi
Cita-cita Pak Habibie untuk membangun “Everett di Timur” bisa dikatakan mewujud sebagian.
berlanjut dan mewujud.
Tetapi, Pak Habibie yang karena kepintaran dan reputasinya sempat diberi Penghargaan Theodore von Karman yang prestisius, tetap diakui sebagai “Bapak Teknologi” (disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat pemakaman di TMP Kalibata 12 September 2019) dan juga “Bapak Kedirgantaraan” (disampaikan oleh Kepala Staf TNIAU Marsekal Yuyu Sutisna pada peringatan HUT ke-73 TNI-AU 9 April 2019).
Kini Pak Habibie sudah tiada, dan bangsa Indonesia berharap bisa memiliki lagi insan unggul sepertinya. Dalam kenangan, terbayang gaya Pak Habibie berbicara, dengan sinar mata lincah. Pandangan dan optimisme Pak Habibie lah yang seharusnya terus hidup di dalam sanubari bangsa, yang hidup di negeri yang sering disebut sebagai benua maritim dan terlahir untuk dirgantara, dengan dua-pertiga wilayahnya berupa laut, dengan rentang Timur-Barat 5.300 km, setara dengan Amerika Kontinental atau Istanbul-London. Inilah bangsa di mana penerbangan merupakan keniscayaan.
Pak Habibie dengan anjurannya tentang cinta ilmu pengetahuan dan teknologi, tentang pentingnya proses nilai tambah, tentang perlunya kebebasan pers dan iklim demokrasi, adalah salah satu guru bangsa, yang aktual bahkan ketika bangsa Indonesia masih terus merintis jalan menuju kejayaan.