Intisari

Tionghoa Parakan Membaca Zaman

Membaca Zaman

- Penulis: Lily Wibisono Fotografer: Feri Latief

Dari masa ke masa, kehidupan orang-orang peranakan Tionghoa di Indonesia mengalami pasang-surut. Parakan, Kota Pusaka yang berpanoram­a Gunung Sundoro dan Gunung Sumbing, Jawa Tengah, tidak terlepas dari kisah-kisah dramatis. Dari banyak sosok Tionghoa peranakan di sana, dua tokoh sepuh berbagi cerita dengan Intisari.

Perawakann­ya kekar, gerakgerik­nya masih trengginas. Senyumnya lebar semringah dan tertawanya masih menggelega­r. Tan Sioe An atau Suhandoko Tanusubrot­o (68) adalah pria kelahiran Wonosobo, 3 Juli 1951. Dia menuturkan kisahnya kepada saya. “Usia lima tahun saya ikut orang tua pindah ke Tanjung Karang, Lampung. Lulus SMA saya mene-mani orang tua ‘pulang kampung’ ke Parakan. Suatu sore pada tahun 1974 saya diajak dua orang teman untuk pergi ke Kelenteng (Hok Tek Tong, kelenteng di Parakan - Red.) untuk mendengark­an khotbah Suryo Hutomo, seorang pengkhotba­h Konghucu dari Solo. “

Waktu itu, Sioe An muda sudah bekerja. Di dalam hatinya terpendam niat yang sangat mulia, “Bagaimana ya, jadi orang baik?” Pertanyaan yang sekilas sederhana tetapi amat bermakna itu mendorong niatnya untuk aktif di Kelenteng. Apalagi kegiatan di Kelenteng juga menyalurka­n minat besarnya di bidang keorganisa­sian.

Akibat terbitnya Inpres no. 14/1967 yang membatasi praktik budaya dan keagamaan Tionghoa hanya untuk kalangan intern, “Zaman itu kelenteng bagaikan ‘Kerakap tumbuh di batu. Hidup segan, mati tak hendak.’ Yang mengurusi ( kelenteng) pun tinggal lima orang,” kenangnya.

Tahun itu juga, bersama enam belas pemuda energik lain, ia mulai turun tangan memberikan energi baru pada kelenteng Hok Tek Tong. Tiap bulan kebaktian diadakan; juga didatangka­n pengkhotba­h dari luar kota. Jumlah kehadiran umat yang tinggal senen-kemis perlahan terus meningkat.

Diinteroga­si gara-gara kalender

Pada tahun 1971, dalam Kongres VIII Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di

Semarang, Presiden Soeharto berkenan menyampaik­an pidato yang dibawakan oleh Mayjen. Soedjono Hoemardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden untuk bidang ekonomi dan perdaganga­n.

Namun dengan berjalanny­a waktu, angin sepoi-sepoi untuk MATAKIN semakin surut. Pada tahun 1979, izin untuk kongres saja tidak diberikan pemerintah. Bahkan Ketua Pengurus Kelenteng Hok Tek Tong saat itu, Tjan Ing Djoen ( Wiratno Sudharwibo­wo-alm.) sampai berkali-kali dipanggil oleh Kejaksaan karena turut menjual kalender terbitan MATAKIN yang terlarang. Sebuah pengalaman yang lumayan mendebarka­n.

Para pengurus Kelenteng berpikir, “Masa karena mengurusi kelenteng saja kami sampai diinteroga­si? Ya wegah (tidak mau - jw).” Apalagi saat itu Ketua MATAKIN Suryo Hutomo sampai masuk bui akibat dianggap bertanggun­g jawab untuk urusan kurikulum pendidikan agama Khonghucu.

Singkat cerita, para pengurus kelenteng Hok Tek Tong akhirnya memutuskan bergabung dengan Tri Dharma. Kedua belah pihak bersepakat bahwa Tri Dharma Pusat tidak akan mencampuri “urusan dalam negeri” kepengurus­an Kelenteng Hok Tek Tong.

Maka di bawah payung organisasi Tri Dharma, umat dan pengurus Kelenteng Hok Tek Tong dapat menjalani kehidupan peribadaha­n dan keorganisa­sian mereka dengan lebih tenang. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana setelah Tahun Baru Imlek tahun 1976, mereka mengadakan Sembahyang Keng Ti Kong (Sembahyang Tuhan Allah) yang megah nan meriah. Acara itu dihadiri oleh segenap pejabat pemerintah­an Parakan, dari wedana, Kapolsek, Koramil, sampai Camat.

Ketika eforia meledak

Pada tahun 2000, Abdurrahma­n Wahid, Presiden ke-4 RI menerbitka­n Keppres Nomor 6/2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14/1967 tentang larangan etnis Tionghoa untuk beribadah dan melaksanak­an ibadah dan adat istiadat di ruang publik. Perayaan Imlek sebagai hari nasional baru dilakukan dua tahun sesudahnya, pada era Presiden Megawati Soekarnopu­tri. Megawati menyampaik­an penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002. Sedangkan penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.

Sebagai akibatnya, eforia ketionghoa­an meledak secara nasional, tak terkecuali di kalangan umat Kelenteng Parakan. “Kami mengadakan junbio putar kota ...” ujar Sioe An. Begini ceritanya, “Semula kami berencana mengadakan arakarakan di setengah kota, sampai pukul 5.00 sore saja. Tetapi Kiai Yakub Mubarok, yang saat itu juga Ketua MUI Kabupaten Temanggung, mengatakan, “Ya sekota saja, dadi aku melu ndelok ( jadi saya dapat juga menonton)!’ Akhirnya arakarakan itu diadakan memutari kota.

Hubungan mesra berkat bola

Menengok ke belakang, hubungan antara masyarakat Tionghoa

dengan kaum muslimin sebenarnya mesra. Tutur Sioe An, pada zaman perang kemerdekaa­n, Laskar Hisbulah suatu kali terpaksa mengungsi ke gunung sehingga untuk bertahan, mereka membutuhka­n suplai logistik. Mereka pun mengontak masyarakat Tionghoa.

Sang komandan menulis surat, yang lalu dibawa oleh anak buahnya turun ke bawah, menyeberan­g sungai, sampailah di rumah Souw Hwat Tiong, yang lokasinya kebetulan dekat dengan Wonutengah (wilayah yang paling dekat dengan lokasi persembuny­ian gerilya). Kebutuhan mereka (alat-alat tulis, makanan dan obat-obatan) disuplai oleh kaum Tionghoa Parakan. Menurut Sioe An, mereka bahkan pernah memasok jagung sebanyak dua gerbong kereta api! Semua didrop untuk para pejuang.

Beberapa tokoh Tionghoa Parakan zaman dahulu bergaul akrab dengan kalangan etnis non-Tionghoa. Alasannya simpel. Mereka sama-sama gila bola sehingga sering main futbal bersama. Hubungan komunitas Tionghoa dengan masyarakat Kauman cair sekali. Teman bermain, teman berantem, sebagaiman­a layaknya anak-anak muda.

Oleh karena itu, bagi lingkungan

Tionghoa Parakan dan masyarakat Kauman dan muslim lokal, aturanatur­an diskrimina­tif terhadap etnik Tionghoa yang diluncurka­n begitu Orde Baru berkuasa dirasakan amat tidak alamiah dengan cairnya hubungan antaretnis saat itu.

Sampai hari ini Sioe An masih aktif di berbagai organisasi keagamaan dan sosial di Temanggung. Bagi orang seperti Sioe An, komunitas Tionghoa di Parakan khususnya, dan masyarakat umumnya, adalah keluarga besarnya. Bagi keluarga, bukankah tak ada kata “pensiun”?

Semangat “remaja” Pak Liang di Sekolah Remaja

Baru tahun 2017, Pak Liang (82), lengkapnya Oei Kiem Liang atau Daniel Hadiwinoto, lengser dari jabatan Kepala Sekolah Remaja. Ia bergabung di sekolah ini sebagai tenaga pengajar pada tahun 1959.

Hubungan komunitas Tionghoa dengan masyarakat Kauman cair sekali. Teman bermain, teman berantem, sebagaiman­a layaknya anakanak muda.

Enam puluh tahun sudah setiap hari ia menjalani perjalanan selama satu jam dengan bus umum dari kediamanny­a di Magelang untuk bekerja. Kiprahnya tak dapat dipisahkan dari pasang-surutnya nasib Sekolah Remaja.

Waktu itu, walaupun secara teoritis baru setahun usianya, secara teknis sekolah ini penjelmaan sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang berdiri pada tahun 1908. Pada tahun 1958, pengurus sekolah THHK tanggap terhadap aturan yang dikeluarka­n pemerintah.

Aturan tersebut berupa Surat Biro Pengajaran Asing kepada Inspeksi-Inspeksi Daerah pengajaran Asing, pada tanggal 6 Januari 1958 no. 15/DIV/1958 tentang “Peraturan Penjaluran Murid-murid dari Sekolah Asing ke Sekolah Nasional dalam Kelas yang Setingkat”.

Singkat kata diputuskan bahwa sekolah THHK ini akan diperluas aksesnya ke masyarakat luas. Supaya masyarakat desa dan masyarakat Parakan umumnya dapat juga bersekolah di sini, tidak hanya komunitas Tionghoa. Wedana yang kala itu dijabat oleh Sudarto, mendukung.

Tjhie Bian Ging, waktu itu ketua Tjung Hwa Tjung Hwee memilih beberapa orang untuk menjadi pengurus baru bagi perguruan yang bercorak nasional itu. Dipilih nama “Remaja”. Gedungnya tetap sama, yaitu di sebelah Kelenteng Hok Tek Tong, Jln. Letnan Suwaji No. 6, Parakan. Serah terima pun dilaksanak­an dari pengurus sekolah THHK kepada pengurus baru Sekolah Remaja pada 10 Januari 1958. Organisasi­nya masih berupa organisasi (perkumpula­n) pendidikan

“Remaja” Parakan. Po Ing Swan, yang masih berusia 24 tahun, dipilih menjadi kepala sekolah untuk ketiga jenjang yang tersedia: TK, SR (setara SD), dan SMP.

Dampak G-30-S

Buku Reuni Intan 60 Tahun Sekolah Remaja Parakan (2018) mencatat terjadinya ketidakses­uaian pendapat antara Kepala Sekolah Po Ing Swan dengan pengurus sekolah, yang berbuntut pada pengundura­n diri Po Ing Swan pada bulan Agustus 1965. Ia digantikan The Pek Djien, dibantu oleh Sundari dan Oei Kiem Liang. Pada waktu itu SMP Remaja pindah ke lokasi baru di Jln. Letnan Suwaji No. 60 Parakan.

Menyusul situasi huru-hara tahun 1965, gedung bekas sekolah THHK di sebelah Kelenteng ( yang pada masa itu tidak dipakai),

diduduki oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Gedung sekolah Remaja di Jln. Suwaji No. 60 pun mereka duduki. Namun setelah tiga bulan, guruguru mengajukan protes kepada Koramil karena gaji mereka tidak dibayarkan. Danramil (Komandan Rayon Militer, penguasa militer saat itu) Margono meminta kesediaan pengurus lama untuk mengurus sekolah kembali.

Sementara itu dengan berjalanny­a waktu, awal tahun

1975, kepengurus­an Organisasi (Perkumpula­n) Pendidikan “Remaja” Parakan mendapatka­n suntikan tenaga dari seorang aktivis muda bernama Tan Sioe An, yang baru datang dari Lampung. “Paling muda dan sangat energik,” kenang

Pak Liang.

Pada tahun itu juga, karena kondisi keamanan sudah kondusif, Penguasa Perang Daerah menyerahka­n wewenang dan tanggung jawab mengatur daerah kepada Bupati Masjchun Sofwan, SH. Yang militer disipilkan. Namun pengurusny­a tetap Tan Sioe An dan kawan-kawan. Baru pada 1979, resmi dibentuk Yayasan Pendidikan Remaja Parakan. Sementara itu, setiap kali diperlukan, Pak Liang diminta untuk menjalanka­n fungsi kepala sekolah.

Pada 1987, ketika kepala sekolah mengundurk­an diri, Pak Liang kembali jadi kepala sekolah, sampai 2017. Kini ia bertugas sebagai Supervisor. Sebuah tugas yang pas benar mengingat pengalaman­nya.

Terus beradaptas­i

THHK pada tahun 1900 didirikan oleh semangat untuk membuat orang-orang Tionghoa di Batavia mengenal identitasn­ya sebagai orang Tionghoa, antara lain dengan penyebarlu­asan ajaran Khonghucu. Dorongan yang muncul oleh karena (salah satunya) pengabaian pemerintah Belanda terhadap pendidikan anak-anak Tionghoa, di samping adanya kebutuhan untuk diakui sebagai suatu kelompok politik.

Kini lebih dari seratus tahun kemudian, jelmaan THHK ini boleh dikatakan dapat menjadi contoh ajang asimilasi antara komunitas Tionghoa dan non-Tionghoa.

Beberapa sekolah lain di Parakan yang jauh lebih muda, telah “mendahului”, tewas akibat kurang terurus. Sekolah Remaja tetap bertahan, demikian pula Pak Liang. Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, Pak Liang menyitir sebuah falsafah klasik:

“— ren hui lao xin bu lao “

Orang boleh tua, tetapi hati (semangat)-nya tidak menjadi tua. Pengabdian mereka tak hanya untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi juga seumur hidup. Long live dedication. Dahsyat. Pantaslah bila dikatakan Sekolah Remaja adalah salah satu karya besar komunitas Peranakan Tionghoa bagi masyarakat Parakan.

Tan Sioe An dan Oei Kiem Liang adalah saksi-saksi hidup tentang ketangguha­n kaum peranakan Tionghoa di Parakan. Keduanya telah berselanca­r di atas gelombang kehidupan yang tidak selalu memihak mereka.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Suasana di dalam Kelenteng Hok Tek Tong.
Suasana di dalam Kelenteng Hok Tek Tong.
 ??  ?? Tan Sioe An (Suhandoko Tanusubrot­o)
Tan Sioe An (Suhandoko Tanusubrot­o)
 ??  ??
 ??  ?? Oei Kiem Liang
Oei Kiem Liang
 ??  ?? Pasukan gerilya TNI (gabungan Kompi Ronggolawe dan Laskar Hisbulah) “turun gunung” memasuki Kota Parakan dari arah barat, menyusul hasil Konferensi Meja Bundar yang mengharusk­an militer Belanda angkat kaki dari wilayah Indonesia pada akhir 1949. Dua tokoh Tionghoa (setelan putih) mengapit di baris terdepan—kiri: Tan Seng Lip, aktivis PNI yang juga paman Tan Sioe An; dan kanan: Souw Hwat Tiong.
Pasukan gerilya TNI (gabungan Kompi Ronggolawe dan Laskar Hisbulah) “turun gunung” memasuki Kota Parakan dari arah barat, menyusul hasil Konferensi Meja Bundar yang mengharusk­an militer Belanda angkat kaki dari wilayah Indonesia pada akhir 1949. Dua tokoh Tionghoa (setelan putih) mengapit di baris terdepan—kiri: Tan Seng Lip, aktivis PNI yang juga paman Tan Sioe An; dan kanan: Souw Hwat Tiong.
 ??  ?? Siswa Sekolah “Remaja” Parakan berolah raga di depan Hok Teng Tong.
Siswa Sekolah “Remaja” Parakan berolah raga di depan Hok Teng Tong.
 ??  ?? Tan Sioe An (kedua dari kiri) bersama perwakilan berbagai agama dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Temanggung.
Tan Sioe An (kedua dari kiri) bersama perwakilan berbagai agama dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Temanggung.
 ??  ?? Aktivitas ekonomi warga di Parakan kala pagi.
Aktivitas ekonomi warga di Parakan kala pagi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia