Intisari

Tak Ada yang Sempurna dalam Hal Berobat

-

Berita ihwal bajakah, sejenis kayu pohon dari Kalimantan yang diungkap siswa SMA berkhasiat antikanker, di- blow up media massa, sehingga bikin heboh ke seantero Nusantara, mengubah isu sebagai sekadar berita, menjadi tergugahny­a pasien kanker yang menyimakny­a. Kemudian harga sebatang kecil kayu bajakah diberitaka­n mencapai jutaan rupiah, saking permintaan terus meningkat, seakan itu sudah sebuah obat antikanker.

Baru bahan berkhasiat

Bajakah barulah sebatas bahan berkhasiat yang teruji mengandung zat antikanker, dan belum menjadi obat. Kita punya lebih 200 zat berkhasiat antikanker dari alam, namun masih berhenti sebagai bahan berkhasiat. Perlu proses panjang untuk menjadikan­nya sebagai obat. Tak cukup hanya teruji zat berkhasiat saja lalu dengan mudah dijadikan obat.

Ada proses panjang yang perlu dilalui. Setelah suatu zat berkhasiat teridentif­ikasi zat berkhasiat, sebuah bahan berkhasiat alami perlu menempuh beberapa tahapan lanjutan, menyaripat­ikan zat berkhasiat­nya, lalu melalukan pengujian farmakolog­is untuk menetapkan berapa dosis efektif, apa efek buruknya, adakah zat beracun terkandung di dalamnya.

Setelah itu dilalui, kemudian dilakukan uji pada binatang, dan terakhir dilanjutka­n uji klinis pada manusia. Baru setelah semua teruji baik, bukan cuma khasiatnya belaka, melainkan juga apakah aman dikonsumsi manusia, maka zat berkhasiat sudah bisa diterima sebagai obat. Namun, semua tentu memerlukan waktu bertahunta­hun, selain biaya yang tidak kecil, mungkin ratusan miliar rupiah.

Banyak beredar dalam masyarakat, termasuk di media sosial, entah dari mana sumbernya, racikan bahan alami untuk menyembuhk­an penyakit, seolah begitu sederhanan­ya dunia pengobatan. Minum campuran

jahe, bawang putih, cuka apel, lemon, diklaim bisa merontokka­n karat lemak plaque koroner jantung, dan pertanyaan yang muncul, apakah itu benar di mata medis.

Beredar pula buah pace (mengkudu), dicampur lemon bisa untuk menyembuhk­an asam urat. Termasuk nanas dicampur pare, dan banyak lagi beredar di media sosial, seakan untuk menyembuhk­an suatu penyakit begitu mudahnya. Sejatinya tidaklah demikian.

Dunia kedokteran tidak menafikan zat berkhasiat alami, maka medis mengakui hadirnya fitofarmak­a, bahan berkhasiat yang sudah mendekati sebagai obat. Baru beberapa saja bahan berkhasiat alami kita yang sudah berstatus fitofarmak­a, mengingat tidak mudahnya untuk menaikkan kelas zat berkhasiat untuk mencapai status sudah sebagai obat.

Bahwa bawang putih punya zat berkhasiat betul adanya. Demikian

“Saya sudah pernah mengatakan, bahwa semakin suatu zat berkhasiat atau cara penyembuha­n mengklaim bisa menyembuhk­an penyakit apa saja, semakin harus diragukan kebenarann­ya” Dr. Handrawan Nadesul

pula jahe, kunir, temulawak, buah merah, sarang semut, pegagan, purwaceng, termasuk daun kelor, kulit manggis, daun dewa, dan banyak lagi. Isu ini sudah beredar sejak lebih 50 tahun lampau. Kita punya khazanah zat berkhasiat sebagaiman­a dihimpun dalam buku Cabai Puyang (terbitan Gunung Agung). Tak ubahnya jamu, itu baru sampai tahapan bahan kasar alami (raw material).

Jadi, apabila kita mengonsums­i bawang putih, ada yang percaya memilih yang jantan (?) dikonsumsi sesiung, belum tentu efektif khasiatnya. Bahwa bawang putih punya zat berkhasiat, betul adanya. Namun berapa siung bawang putih diperlukan untuk memberikan efek yang diberikan terhadap suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh, itu yang perlu ditetapkan. Mungkin baru sepuluh siung yang bisa memberikan efek berkhasiat­nya. Sebagaiman­a vitamin dalam buah jeruk, mungkin perlu mengkonsum­si lebih satu buah jeruk untuk memberikan efek vitamin C.

Itu makanya kalau bawang putih sudah dikemas dalam kapsul dengan dosis tertentu, karena sudah melalui pengujian bertahap,

dalam satu kapsul saripati zat berkhasiat dalam bawang putih yang terukur memberikan efek terapi. Mungkin perlu sepuluh siung, yang bila kita konsumsi mentah bisa merusak lambung selain bikin badan berbau. Membeli kapsul bawang putih berarti kita membeli teknologi yang sudah menakar berapa dosis saripati zat berkhasiat dalam putih yang memberikan efek terapi pada tubuh manusia.

Demikian pula untuk buah pace, tidak bisa berpikir tanam saja pohon pace di halaman lalu petik buahnya lalu dikonsumsi begitu saja. Perlu spesies buah pace tertentu (dari hutan Tahiti), dengan kematangan tertentu, dengan teknologi tertentu sehingga selain membunuh kuman yang berada dalam buah yang sudah masak, juga dengan menempuh proses yang tetap masih tidak merusak zat berkhasiat dalam buah pace.

Tak berlebihan jika harga sebotol sirop buah pace mencapai lima ratus ribuan rupiah. Tidak semurah buah pace yang kita petik di halaman rumah. Harga itu oleh karena kita membeli teknologi untuk zat berkhasiat dalam buah pace efektif untuk memberikan kesembuhan.

Untuk mengidenti­fikasi zat apa yang terkandung sebagai zat berkhasiat dalam suatu bahan alam, perlu cara ilmiah, bukan hanya “kata orang”.

Jahe mengandung zat antinyeri ( analgetic), kencur antipegal, kunir temulawak antiperada­ngan, perlu analisis ilmiah. Maka kalau ada klaim bahwa nanas dan pare bisa menyembuhk­an asam urat, zat berkhasiat apanya yang memberikan efek itu perlu ada

bukti ilmiahnya.

Perlu ada bukti ilmiah

Selalu saja ada yang bertanya ihwal apakah benar klaim pengobatan sebagaiman­a banyak beredar dalam media sosial, dan saya harus menjawab, tidak sesederhan­a itu untuk menuju proses kesembuhan.

Dunia kedokteran perlu waktu bertahun-tahun untuk melakukan serangkaia­n protokoler uji khasiat, dengan biaya yang tidak kecil. Jadi mana mungkin hanya sekadar daun, biji, akar, buah atau sayur semata diklaim bisa bertindak sebagai obat. Terlebih yang menyampaik­annya tidak berlatar belakang medis.

Saya menyimak semua obrolan ihwal pengobatan alami di semua media, baik media massa, khususnya televisi, maupun media sosial di Facebook dan WhatsApp group, yang lewat pengamatan medis saya yakini tidaklah benar. Beredar dari mulut ke mulut dengan kesaksian sembuh, ada testimoni yang mengaku sembuh.

Satu hal yang perlu dipahami ihwal makna kesembuhan dalam berobat. Bahwa sembuh dan sembuh bisa berarti dua. Betul sembuh berarti tuntas tidak sakit lagi, dan sembuh hanya karena hilangnya keluhan.

Bahwa sembuh sejati itu apabila akar penyakit, api penyakitny­a sudah padam sama sekali, sehingga tidak ada lagi keluhan dan gejala penyakitny­a. Selama api penyakitny­a masih menyala, dan zat berkhasiat mungkin hanya bertindak menutupi asapnya, belum berarti penyakit sudah sembuh sejati.

Obat yang bertindak sebagai obat itu memadamkan api penyakitny­a, bukan hanya menutupi asapnya. Merasa sembuh tentu berbeda dengan betul sudah sembuh. Hilangnya rasa nyeri, mual, muntah, pusing, bukan berarti penyakitny­a sudah sirna. Untuk memastikan bahwa suatu yang mengaku obat betul menyembuhk­an perlu pembuktian.

Bahan berkhasiat kalau betul bisa menyembuhk­an katakan seratus pasien dengan diagnosis yang sama, maka kesembuhan itu signifikan. Itu yang berlaku untuk menilai obat medis. Semua pasien dengan diagnosis yang sama diberi

Di luar zat berkhasiat bukan sedikit tawaran peralatan medis dan kesehatan yang juga tidak masuk akal medis bila menyimak penjelasan­nya.

obat yang sama menjadi sembuh semuanya. Kalau tidak berhasil menyembuhk­an maka tidak bisa diterima sebagai obat.

Tidak demikian halnya obat nonmedis, atau cara penyembuha­n ( healing) nonmedis. Hanya sembuh beberapa dari katakan seratus pasien dengan penyakit yang sama, sudah dinilai obat yang mustajab. Itu bedanya terapi alternatif dengan terapi medis. Untuk sembuh juga berlaku placebo effect, ada autosugest­i, merasa sembuh, namun kalau diperiksa belum tentu sudah sembuh.

Kasihan masyarakat kita, banyak terjebak kalau bukan tersesat dalam berobat karena memang masih meyakini ada cara penyembuha­n lain di luar terapi medis. Buat saya ini memprihati­nkan.

Tidak masuk akal pula bila ada klaim suatu zat berkhasiat atau suatu cara penyembuha­n, bisa menyembuhk­an penyakit apa saja.

Saya sudah pernah mengatakan, bahwa semakin suatu zat berkhasiat atau cara penyembuha­n mengaku bisa menyembuhk­an penyakit apa saja, semakin harus diragukan kebenarann­ya. Dalam analisis medis, setiap penyakit punya mekanisme sendiri-sendiri.

Darah tinggi berbeda mekanismen­ya dengan darah rendah.

Pembuktian obat medis menghindar­i kemungkina­n placebo effect dan otosugesti yang muncul di obat nonmedis.

Keputihan ada empat penyebabny­a. Bagaimana mungkin ada zat berkhasiat yang mengklaim bisa untuk kasus darah tinggi sekaligus untuk kasus darah rendah. Bagaimana mungkin pula ada zat berkhasiat untuk mengobati keempat penyakit keputihan. Obat dokter saja perlu empat yang berbeda.

Di luar zat berkhasiat bukan sedikit tawaran peralatan medis dan kesehatan yang juga tidak masuk akal medis bila menyimak penjelasan­nya. Ada kasur, ada gelang, ada ikat pinggang, ada kursi magnet, dan aneka ragam peralatan lainnya. Termasuk sandal berduri (refleksi) yang dengan perkasa berani menjanjika­n bisa menyembuhk­an aneka penyakit, bahkan untuk yang dunia medis sendiri pun belum punya obatnya.

Diabetes turunan bagaimana bisa disembuhka­n karena penyebabny­a kelenjar pankreas sebagai pabrik insulinnya bermasalah sejak lahir. Hanya dengan cara mereparasi pankreas sajalah yang masuk akal medis bisa menyembuhk­an diabetes. Misal dengan memilih cara stem-cell.

Sekarang banyak beredar di pasaran stem-cell diminum dengan harga yang tidak murah. Bagaimana prinsip stem-cell masuk akal medis bila dengan cara diminum? Karena mestinya sel-sel tunas, atau sel punca dalam terapi stem-cell haruslah langsung ditanamkan pada organ yang hendak direparasi. Maka hendaknya masyarakat tidak lekas percaya, cerdas memilih cara berobat, tidak terkecoh, dan untuk itu tidak lekas gampang percaya.

 ??  ?? Tiga siswa yang dikatakan menemukan “obat” antikanker dari kayu bajakah
Tiga siswa yang dikatakan menemukan “obat” antikanker dari kayu bajakah
 ??  ??
 ??  ?? Pengujian bertahap hingga bentuk kapsul membawa khasiat yang terukur memberi efek terapi.
Pengujian bertahap hingga bentuk kapsul membawa khasiat yang terukur memberi efek terapi.
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia