Intisari

KITA MULAI BOSAN. AKANKAH KITA BERTAHAN?

- Mahandis Yoanata Thamrin Editor in Chief

Pandemi ini benar-benar membunuh kita dua kali. Pertama, ia membunuh mangsanya yang khilaf. Kedua, ia membunuh sendi-sendi karakter sosial kita.

Virus ini begitu mengerti siapa kita. Bagaimana tidak? Karakter manusia Indonesia adalah berserikat dan berkumpul. Sekadar berkumpul untuk bertegur sapa sampai berkumpul untuk berbagi rasa. Berkumpul telah menjadi kebutuhan tradisi berkawan, bertetangg­a, dan bermasyara­kat. Bahkan, kebutuhan berkumpul ini lebih utama dan lebih pokok dari kebutuhan pokok itu sendiri. Akibatnya, kita begitu tertekan dengan aturan pembatasan sosial yang mengharusk­an menjaga jarak dan meniadakan kegiatan berkumpul—termasuk mudik lebaran untuk berkumpul bersama keluarga.

Namun, belakangan ini pemangku kebijakan dan warga tampaknya mulai jenuh dan dirundung kebosanan. Perkara yang mengkhawat­irkan kita adalah apabila kebijakan pembatasan sosial mulai “dilonggark­an” kendati pandemi belum menunjukka­n gejala yang membaik.

Kita memasuki masa pandemi pada bulan yang ketiga. Ada rasa syukur karena masih memiliki kesehatan prima untuk menuntaska­n aktivitas. Namun, sejujurnya hati kecil kita mulai terbit rasa khawatir tentang kapan semuanya akan berakhir dan kembali normal. Atau, sebagian dari kita juga waswas, kelak situasi baru itu begitu berbeda dari apa yang kita bayangkan.

Masa depan ada karena masa kini. Pada edisi ini, salah satu sajian kami adalah obat antibosan bagi Anda yang #BekerjaDar­iRumah atau #DiRumahSaj­a selama masa pandemi ini. Sejatinya, ada sederet pilihan aktivitas #PeduliTubu­hmu dari hobi di pekarangan rumah sampai mengikuti kelas-kelas lokakarya secara daring. Kita pun harus memutar kreasi untuk membakar kalori pada masa pandemi ini. Bukankah kita bisa menangkal virus apabila sistem kekebalan tubuh kita tetap kuat dengan cara berolahrag­a?

Kita mulai bosan. Kita bertahan. Sampai kapan? Jawabnya, kita harus merawat kesiagaan dan tidak boleh bosan. Ranggawars­ita, pujangga besar terakhir di Jawa, memberikan pesan kepada kita, “Sebesar apapun beruntungn­ya orang yang khilaf, masih lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.”

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia