Dicari, Whistle Blower PSSI
Oleh
TERBONGKARNYA kasus suap di dalam tubuh FIFA yang diikuti dengan ditangkapnya sembilan pengurus teras plus ditetapkannya enam orang lainnya sebagai tersangka pantas dijadikan acuan bagi Menpora untuk membersihkan kepengurusan PSSI dari isu yang selama ini berkembang terkait masalah
sepak bola gajah, percobaan suap, dan ketertutupan dalam masalah keuangan. Sanksi administratif yang diterbitkan Menpora Imam Nahrawi melalui SK Nomor 01307 pada 17 April 2015 akan lebih bermakna jika dapat membuktikan apa yang selama ini hanya menjadi isu seperti pengaturan skor, permainan mafia, dan ketidaktransparansian masalah keuangan. Padahal, KIP (komisi informasi pusat) berhasil menempatkan PSSI sebagai organisasi publik yang diperkuat keputusan pengadilan negeri. Artinya, PSSI harus terbuka, terutama terkait plus minus keuangannya.
Membuktikan isu menjadi kenyataan bukanlah pekerjaan mudah. Meski, tim 9 yang sudah menyelesaikan masa tugas sebelumnya banyak menyampaikan masukan tentang berbagai hal, termasuk masalah mafioso. Isu negatif tersebut akan tetap berstatus isu, tanpa penyidikan akurat oleh petugas/aparat yang integritasnya sebagai penyidik terjamin.
Apakah Menpora harus membentuk tim penyelidikan khusus untuk melakukan seperti yang direkomendasikan tim 9? Atau, Menpora bisa minta bantuan Kapolri untuk turun tangan menyelidiki dan membongkar isu-isu tersebut.
Opsi lain; Menpora telah membentuk tim transisi yang menggantikan fungsi keadministrasian PSSI sehingga tim itu berhak membentuk kelompok kerja (pokja) yang bertugas sebagai penyidik. Acuan yang dapat digunakan adalah pembentukan tim penanggulangan masalah perwasitan (TPMP) yang dilaksanakan era Azwar Anas pada 1998 untuk menyelidiki mafia wasit. TPMP terdiri atas tujuh orang yang diketuai Mayjen Adang Ruchiatna, yang saat itu adalah ketua Tim Asistensi dan Evaluasi Ketum PSSI, dengan sekretaris Eddi Elison. Setelah tiga bulan, mafia wasit dapat dibongkar, 35 orang komponen sepak bola (pengurus PSSI, wasit, pengawas pertandingan, manajer tim) divonis 4 sampai 10 tahun.
*** Ketua Tim Transisi Inspektur Jenderal Pol (pur) Bibit Samad Riyanto, yang juga mantan pimpinan KPK, tentu mendalami masalah penyelidikan soal korupsi atau permafiaan. Begitu pula kalau Pak Bibit kelak membentuk Pokja Penyidikan Mafia PSSI. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah membuka pintu bagi melapornya whistle blower (penyulut api) seperti yang dilakukan Chuck Blazer sehingga polisi Swiss dan FBI berhasil membongkar kasus korupsi FIFA.
Adakah ’’penyulut api’’ di persada sepak bola nasional dihubungkan dengan isu korupsi, suap, atau atur skor sehingga Menpora menjatuhkan sanksi pembekuan? Bila kita mengikuti beberapa acara di dua TV swasta, saat ditampilkan dua orang (wajahnya sengaja diburamkan) yang terus terang mengakui adanya ’’bisnis skor/gol’’ dalam kompetisi ISL/Divisi Utama 2014, jelas ada whistle blower di PSSI.
Semoga keduanya siap membuka ’’kebusukankebusukan’’ di dalam tubuh PSSI yang selama ini diketahuinya kepada publik secara transparan dengan wajah asli. Tidak perlu takut ancaman pihak-pihak tertentu. Sebab, LPSK (lembaga perlindungan atas saksi dan korban) telah memberikan jaminan sesuai dengan kesepakatan dengan Kemenpora.
Kita yakin ada whistle blower lainnya yang tahu/ mampu mengungkapkan berapa pemasukan yang diterima PSSI dari hasil ’’sirkusasi’’ terhadap timnas U-19 tahun lalu; kenapa PSSI mengikat kontrak dengan BV Sport selama 10 tahun, padahal masa bakti pengurus PSSI hanya 4 tahun. Berapa hasil kontrak yang diterima PSSI setiap tahun. Kenapa BVS diberi hak mengusai TV rights, commercial rights, dan merchandise rights?
Mengapa sampai PSSI berutang kepada dua businessmen tertentu sampai miliran rupiah, padahal keduanya masih terkait dengan PSSI? Kenapa kontribusi PT Liga Indonesia kepada klubklub tersendat-sendat, bahkan hadiah yang harus diterima para juara kompetisi tahun lalu sampai saat ini belum terbayar. Ya, semua ini akan terungkap jika ada whistle blower yang tidak takut untuk membukanya. Ingat, keputusan KIP dan PN, PSSI sebagai organisasi publik harus terbuka terkait masalah keuangannya.
Semoga Kemenpora dan tim transisi menyadari, setelah korupsi di FIFA terbongkar dan FIFA menjatuhkan suspended kepada Indonesia, masyarakat luas, baik yang pro maupun anti pembekuan, termasuk wakil-wakil rakyat, akan semakin rajin menyorot. Tak ada jalan lain; segeralah bergerak di semua sektor, termasuk tahap pertama melaksanakan turnamen atau kompetisi, selain pembentukan tim penyelidik.