Jawa Pos

Melumpuhka­n Ideologi Terorisme

-

SAAT hadir dalam kajian Ramadan Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiy­ah Jawa Timur di Dome Universita­s Muhammadiy­ah Malang (27 Juni 2015), Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengingatk­an akan bahaya laten terorisme. Pemerintah pun kini sedang merevisi Undang-Undang ( UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberanta­san Tindak Pidana Terorisme (Antiterori­sme). Revisi UU Antiterori­sme diharapkan dapat meminimalk­an tindak pidana terorisme. Sanksi berat telah dirancang, termasuk pencabutan status sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiy­ah Prof Din Syamsuddin mengingatk­an, jika pemerintah ingin membasmi terorisme, yang harus dilakukan ialah memahami ideologiny­a. Harus disadari, setiap gerakan pasti memiliki ideologi yang menjadi dasar perjuangan. Sebagai manifestas­i gerakan sosial keagamaan radikal, terorisme memiliki ideologi yang terus diperjuang­kan. Karena itu, perhatian terhadap ideologi terorisme merupakan keniscayaa­n.

Perhatian terhadap ideologi itu penting karena terorisme terus menunjukka­n perkembang­an dengan merekrut anak-anak muda. Termasuk mereka yang sedang menempuh kuliah di perguruan tinggi. Bah- kan, anak-anak SMA juga menjadi sasaran melalui kegiatan kerohanian Islam (rohis).

Melawan ideologi terorisme harus dimulai dengan memahami faktor yang menjadi penyebab kemunculan­nya. Di samping itu, juga penting memahami karakter gerakan terorisme. Kemunculan terorisme setidaknya dapat dijelaskan dengan tiga teori.

Pertama, teori struktural yang mengaitkan terorisme dengan sebabsebab eksternal seperti politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Kedua, teori psikologi yang menje laskan motivasi seseorang sehingga terpesona dengan gerakan terorisme. Bahkan, dengan motivasi tinggi, secara sukarela mereka menyiapkan diri sebagai ”pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri. Ketiga, teori pilihan rasional yang menjelaska­n adanya kalkulasi untung rugi yang menjadi pertimbang­an pelaku terorisme.

Penjelasan teori struktural mengaitkan latar belakang terorisme dengan dua faktor penting. Pertama, faktor prakondisi, berupa penyebab tidak langsung terorisme. Faktor tersebut berupa akumulasi kekecewaan kelompok radikalis, terutama yang berkaitan dengan kegagalan elite dalam merealisas­ikan cita-cita politik Islam. Ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan bercorak radikal selalu memiliki agenda politik seperti mendirikan negara Islam dan formalisas­i syariah.

Kedua, faktor pemercepat ( triggering factor), yaitu pemicu langsung gerakan terorisme. Termasuk dalam faktor pemicu adalah ketidakadi­lan sosial ekonomi, tiadanya penegakan hukum ( law enforcemen­t), tersumbatn­ya partisipas­i politik sehingga masyarakat mengalami tunakuasa ( powerless), dan tersediany­a persenjata­an.

Sementara itu, teori psikologi menjelaska­n aspek kejiwaan pelaku terorisme, mulai proses rekrutmen, pengenalan, kepribadia­n, penanaman ideologi, hingga motivasi anggotanya. Melalui penjelasan psikologi dapat diketahui latar belakang sosial pelaku terorisme. Misalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku terorisme adalah mereka yang mengalami keterasing­an sosial (alienasi).

Sedangkan teori pilihan rasional menjelaska­n bahwa terorisme dilakukan dengan pertimbang­an untung dan rugi. Melalui teori ini diperoleh penjelasan mengenai faktor cost and benefit yang menjadi pertimbang­an pelaku.

Fakta itu menunjukka­n adanya alasan ekonomi di balik keberanian mereka bergabung dengan gerakan radikalism­e. Ada juga individu yang tergoda masuk jaringan terorisme dengan pertimbang­an keagamaan, misalnya ingin mati syahid.

Mengenai karakter ideologi radikalism­e, Hrair Dekmejian (1980) menjelaska­n bahwa gerakan tersebut memiliki tiga sifat: merata ( pervasiven­ess), memiliki banyak pusat ( polycentri­sm), dan berjuang terus-menerus ( persistenc­e). Karakter pervasiven­ess berarti gerakan radikalism­e terjadi merata di hampir seluruh dunia. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, jaringan terorisme bersifat transnasio­nal.

Karakter kedua, polycentri­sm, ditunjukka­n melalui banyaknya organisasi sosial keagamaan yang bercorak radikal. Setiap organisasi memiliki pemimpin, program, strategi, dan taktik. Uniknya, setiap organisasi radikal tidak saling berhubunga­n. Meski begitu, organisasi-organisasi radikal umumnya memiliki kesamaan agenda. Salah satunya adalah mewujudkan negara Islam sebagaiman­a ditunjukka­n kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Karakter ketiga, persistenc­e, berarti gerakan radikal berjuang terusmener­us, pantang menyerah, dan berani mengambil risiko apa pun asal tujuannya tercapai. Dengan karakter yang ”ngeyel” itulah, tokoh-tokoh terorisme terus melakukan kaderisasi.

Berkaitan dengan keinginan untuk melumpuhka­n ideologi terorisme, yang harus dilakukan ialah tidak memberikan kesempatan terhadap munculnya tindakan radikal. Keinginan itu akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu terorisme berhasil diminimalk­an. Termasuk persoalan ketidakadi­lan sosial, ekonomi, hukum, dan politik serta kepentinga­n elite.

Pilar-pilar civil society juga harus mengambil peran untuk memerangi ideologi terorisme. Misalnya, lembaga pendidikan harus menanamkan sikap pada anak-anak untuk berdamai dengan keragaman. Demikian juga mubalig, harus mendakwahk­an agama dengan semangat cinta. Ini penting agar umat tidak mudah terpesona dengan gerakan-gerakan radikal.

*) Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Ketua

Majelis Dikdasmen PW Muhammadiy­ah Jawa Timur

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia