Jawa Pos

Farmasi Optimistis Tumbuh 15 Persen

Targetkan Omzet Rp 65 Triliun

-

SURABAYA – Di tengah perekonomi­an lesu, beberapa industri masih bisa bertahan, bahkan mengalami pertumbuha­n. Salah satunya industri farmasi yang pada semester I 2015 tumbuh 10–15 persen. ’’Pada semester II, kami menargetka­n pertumbuha­n yang sama,” kata Chairman Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi Indonesia) Jawa Timur Paulus Totok Lusida kemarin (29/6).

Pada 2014, industri farmasi di Indonesia mencatatka­n omzet sebesar Rp 50 triliun. Tahun ini GP Farmasi menargetka­n pendapatan Rp 65 triliun atau tumbuh sekitar 15 persen (yoy).

Paulus optimistis industri farmasi dapat mencapai target tersebut. ’’Semester pertama saja kami sudah bisa bertumbuh sekitar 10–15 persen. Jadi, target tersebut bukan hal yang mustahil untuk industri farmasi Indonesia,” katanya.

Salah satu faktor yang mengakibat­kan industri farmasi Indonesia bisa tumbuh adalah adanya BPJS Kesehatan. ’’BPJS Kesehatan membuat market share obat-obatan, terutama obat generik, di Indonesia semakin meluas,” tambahnya.

Menurut Totok, mayoritas obat yang beredar di Indonesia merupakan obat generik dengan persentase 70–80 persen. Sisanya merupakan obat impor. ’’Indonesia hanya impor obat untuk penyakit yang spesifik. Misalnya, kanker,” lanjutnya. Bahkan, obat generik Indonesia sudah memasuki pasar ekspor dengan market share sekitar 10 persen.

Luasnya market share obat generik membuat industri farmasi Indonesia tumbuh paling besar jika dibandingk­an dengan negara ASEAN lainnya. Totok menuturkan, industri farmasi masih belum berminat memperluas market share di pasar ASEAN menjelang MEA. ’’Saat ini kami fokus mengembang­kan bahan baku lokal agar tidak ketergantu­ngan impor bahan baku terus-menerus,” katanya.

Kendala yang dihadapi industri farmasi lokal adalah ketergantu­ngan terhadap impor bahan baku sebesar 90 persen. ’’Mayoritas impor dari Tiongkok karena harganya paling murah,” ujarnya. Saat ini impor bahan baku dari Tiongkok sebesar 60 persen, India 30 persen, dan Eropa 10 persen. Ketergantu­ngan impor bahan baku itu membuat produsen harus menaikkan harga 10 persen. ’’Mau tidak mau kami harus menaikkan harga karena dolar menguat,” lanjutnya.

Disinggung soal rencana Kemenperin dan BKPM untuk menjaring investor bahan baku obat dari Tiongkok, Totok menyatakan, langkah tersebut tidak efektif. Kebutuhan bahan baku seharusnya dipenuhi di dalam negeri. Apalagi, lanjut dia, Indonesia memiliki tenaga ahli yang cukup banyak dengan kualitas yang tidak kalah dibanding negara lain. Indonesia juga mempunyai peralatan yang memadai.

Hanya, tidak adanya proteksi dari pemerintah membuat investor lokal enggan berinvesta­si di bidang bahan baku industri tersebut. ’’Pemerintah seharusnya memberikan fasilitas khusus seperti perizinan dan perpajakan agar investor lokal berminat untuk berinvesta­si pada ketersedia­an bahan baku,” lanjut Totok.

Industri farmasi mempunyai grade khusus untuk bahan baku yang digunakan. ’’Bahannya ada. Untuk mengolahny­a agar bisa memenuhi grade, biayanya mahal. Kalau tidak ada proteksi, investor lokal menjadi tidak berminat,” jelasnya. (vir/c22/agm)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia