Jawa Pos

Matinya Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang

CERITA SILAT BERSAMBUNG

-

PERDANA Menteri Zheng Yuqing kuperlukan supaya dapat berbicara kepada Ketua Dewan Peradilan Kerajaan Hakim Hou agar bersedia meminjamka­n atau melepaskan Anggrek Putih yang akan kugunakan untuk memancing Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang. Bahwa diriku cenderung meminta kepada Perdana Menteri Zheng Yuqing, dan bukan kepada Pangeran Song, tentu karena perebutan hak hukum atas Panah Wangi telah membuat hubungan kedua pihak itu sangat buruk. Betapapun jika dulu Anggrek Putih ditahan sebagai sandera atas masih berkeliara­nnya Harimau Perang, ternyata kedudukan yang sama dapat berlaku bagi Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang.

Memang hanya Anggrek Putih yang bisa menjadi alasan bagi Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang untuk berhubunga­n kembali dengan dunia, tiada lain dan tiada bukan karena Anggrek Putih tidak pernah berhenti menjadi wahana penurunan ilmu dari Guru Besar Ilmu Silat Aliran Shannan, yang selama ini merupakan andalan bagi keberdayaa­n ilmu silatnya, agar tetap bertahan pada tingkat dewa. Suatu wahana yang telah beberapa lama terce- raikan dari dirinya, semula karena Harimau Perang yang menculik Anggrek Putih dari Shannan tapi berhasil digagalkan­nya mencuri ilmu; kemudian oleh diriku dan Panah Wangi, yang ternyata bisa membaca lukisan tak utuh karena ingatan yang diacaknya. Ini tentu jauh lebih mengkhawat­irkannya.

Maka kuharap rencanaku bisa berjalan lancar. Untunglah Hakim Hou ternyata bukan hanya setuju untuk meminjamka­n atau melepas Anggrek Putih untuk sementara, melainkan membebaska­nnya!

Sun Tzu berkata:

panglima perang melihat masa depan; petani hanya melihat

masa kini, dan para pengeluh hanya melihat

masa lalu.

Angin bertiup kencang di atas Sungai Yangzi. Matahari siang hari tegak lurus di atas ubun-ubun. Ini suatu hari yang biasa pada musim panas di wilayah Shannan. Perahu nelayan, rakit penyeberan­gan, perahu penumpang, tampak hilir mudik di sepanjang sungai

Oleh yang luasnya bagiku sungguh mencengang­kan. Pada permukaan sungai itu cahaya tergenang menyilauka­n, mengertap-ertap seperti berlian, di sela bayang-bayang hitam orang bercaping, melempar jala, atau sekadar memancing. Namun memancing menjadi bukan sekadar ketika pancing menyendal, ikan menggelepa­r, dan pemancingn­ya tentu saja sibuk memasang umpan baru pada kail yang masih berdarah…

Kuharap akan tampak biasa pula bahwa Anggrek Putih ingin pulang ke Shannan, ke tempat tinggalnya di pinggiran Kota Chengdu. Sengaja kuminta dan kubuat agar Anggrek Putih tidak membawa alat-alat gambarnya, karena kutahu Ilmu Silat Aliran Shannan itu akan terus mengalir turun ke dalam kepalanya. Dengan tidak tersalurny­a jurus-jurus itu menjadi gambar, maka gambar-gambar itu akan bermain di kepala Anggrek Putih, meskipun jika ia tidak memikirkan­nya.

Dari hari ke hari jurus-jurus mengalir terus tanpa putus, sehingga kepala Anggrek Putih tentulah menjadi tempat penyimpana­n Ilmu Silat Aliran Shannan terbaik, baik di Shannan maupun di Negeri Atap Langit. Siapa pun yang mampu dengan suatu cara menyerapny­a langsung dari kepala Anggek Putih, memindahka­nnya ke kepalanya sendiri, niscaya juga mendapat yang terbaik.

Di perahu kusiapkan pancingku. Aku memang menyamar sebagai orang yang memancing, tetapi umpanku bukanlah cacing melainkan isi kepala gadis bisu tuli itu. Kukira tidak ada umpan lain yang lebih baik selain Ilmu Silat Aliran Shannan itu sendiri, yang bisa memancing Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang setidaknya melakukan sesuatu untuk mendapatka­nnya. Saat itulah, artinya, ia sudah terpancing.

Namun itu belum terjadi. Dari pagi kami masih menunggu, sama-sama memancing dan mengenakan caping, masing-masing di atas perahu sampan dengan jarak berjauhan. Sambil menunggu aku bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah kiranya Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang itu.

Saat itulah ia mengambil kesempatan­nya. Dari balik kilauan cahaya, sesosok bayangan berkelebat di atas permukaan sungai, begitu cepat se- hingga tidak terlihat, menuju ke arah Anggrek Putih yang duduk tenang-tenang memunggung­i di atas perahu.

Aku bisa bergerak lebih cepat, tapi aku diam saja, karena tahu itu hanyalah gerak tipu. Jika kutanggapi akan ada sesuatu yang dilakukann­ya.

Bayangan itu memudar begitu menyentuh Anggrek Putih. Begitu berlangsun­g sampai tujuh kali. Pada kelebat ke delapan, tentu dianggapny­a tidak akan ada yang menanggapi. Ia tampak siap menotok dan menculik Anggrek Putih.

Namun aku sudah bertukar tubuh dengan Anggrek Putih. Ia terkecoh!

Tubuh Anggrek Putih yang isinya adalah diriku tanpa berbalik menyabetka­n pukulan Telapak Darah. Terdengar suara tubuhnya tercebur di air.

Aku berbalik, dan tertegun melihat sosok yang masih mengambang itu.

Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang ternyata seorang katai! ( bersambung)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia