Siapkan Ekspedisi ke Kutub Utara
YUNI tergabung dalam Female Trekkers for Lupus sejak 2006. Hal itu berawal dari obrolan saat kumpul-kumpul dengan sesama pendaki gunung perempuan yang di umur 30-an sangat aktif hiking. ”Kita lihat orang Jepang umur 60-an masih bisa hiking. Kenapa kita nggak? Karena selalu ada perasaan rindu kembali ke alam,” ujarnya.
Namun, kemudian Yuni dan teman-teman berpikir, kurang wise apabila hanya mendaki untuk kepuasan sendiri, padahal harus meninggalkan keluarga untuk waktu yang cukup lama. Harus ada sesuatu yang dihasilkan untuk orang lain. Akhirnya, tercetus misi untuk membantu penderita penyakit lupus. Kegiatan pendakian sekaligus penggalangan dana untuk Yayasan Lupus Indonesia.
Mengapa penyakit lupus yang dipilih? Alasannya, penyakit itu diderita 85 persen perempuan usia produktif. Karena gejalanya terselubung dan tidak secara langsung bisa dikenali, sering kali penderitanya tidak sadar sehingga terlambat diatasi. Ditambah lagi, salah seorang sahabat Yuni sesama pendaki perempuan juga didiagnosis menderita lupus.
Sampai saat ini, Female Trekkers sudah menyelenggarakan lima ekspedisi, yaitu Himalaya, Kilimanjaro, Ekuador, puncak gunung di garis khatulistiwa, dan Cartenz Jayawijaya. Setelah sempat absen di ekspedisi sebelumnya karena terkena musibah kebakaran saat rumah, Yuni memutuskan ikut pendakian ke puncak Cartenz di pegunungan Jayawijaya, Papua. ”Itu sekitar 2011, pertama saya keluar rumah, setelah tidak boleh kena sinar matahari selama enam bulan,” kenangnya.
Yuni mengisahkan, saat mendaki Himalaya, dirinya pernah hampir mati karena mountain sickness. Namun, seperti dimudahkan, Yuni cepat mendapatkan pertolongan. ”Saya masih hidup sampai sekarang. Buat saya, itu karunia dan saya harus membayarnya dengan berbuat untuk alam dan sesama,” tutur perempuan yang juga aktif di team rescue tersebut.
Menaklukkan gunung di usia lebih dari 40-an tentu berbeda dengan ketika masih berusia 20-an. Secara fisik tidak sekuat dulu. Namun, tekad kuat untuk berbuat bagi sesama dan persiapan intens menjadikan semua itu bisa dilakukan. ”Didampingi pelatih, tiap pagi denyut nadi dikontrol. Kita lebih tahu diri juga, kalau sudah capek berhenti dulu, tidak memaksakan,” ucapnya. Setelah ini, dia dan teman-teman menyiapkan ekspedisi ke Kutub Utara. Persiapan dilakukan sejak sekarang. Meski, konsentrasinya harus terbagi dengan persiapan untuk kejuaraan rafting dunia. (nor/c7/dos)