Kontrol Harga Efektif, Inflasi Juni Terkendali
JAKARTA – Upaya pemerintah untuk menjaga inflasi pada bulan puasa dan Lebaran berindikasi membuahkan hasil. Indikasi itu bisa dilihat dari capaian inflasi bulan Juni yang masih terkendali di level 0,54 persen. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menuturkan, inflasi pada Juni naik sedikit daripada Mei yang 0,5 persen
Namun, inflasi Juni tahun ini cukup rendah jika dikomparasikan dengan inflasi empat tahun terakhir, pada periode yang sama. Padahal, Juni kali ini bertepatan dengan bulan Ramadan.
”Kalau dibanding Juni tahun lalu memang sedikit lebih tinggi inflasinya karena pada saat itu masih jauh dari momen puasa. Dengan inflasi Juni 2015 yang sebesar 0,54 persen ( month-to-month) ini, menggambarkan pengendalian harga kebutuhan pangan pokok pemerintah terjaga,” ujar Suryamin dalam konferensi pers di gedung BPS kemarin.
Sebagai informasi, pada 2010 di bulan Juni inflasi menembus 0,97 persen. Sedangkan 2011 inflasi Juni 0,55 persen. Kemudian, 2012 inflasi Juni mencapai 0,62 persen, 2013 sebesar 1,03 persen, dan 2014 hanya 0,43 persen.
Suryamin melanjutkan, kenaikan harga hampir terjadi di seluruh kota. Dia menuturkan, dari 82 kota indeks harga konsumen (IHK), 76 kota mengalami inflasi. Sisanya, enam kota, mengalami deflasi. Inflasi tertinggi di Sorong sebesar 1,9 persen dan inflasi terendah di Palu sebesar 0,03 persen.
Di sisi lain, selama enam bulan terakhir tingkat inflasi memang cukup terkendali di bawah 1 persen. Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo, tren positif tersebut bisa berlanjut hingga bulan ini. ”Juni (inflasi) bagus ya. Juli kan ditandai oleh Lebaran, tapi mungkin bagus karena tahun ini Lebaran jatuh pada pertengahan bulan. Jadi, dari awal Juli sampai pertengahan Juli terjadi kenaikan tajam harga barang-barang. Tapi, dari pertengahan Juli sampai akhir Juli bisa terjadi penurunan tajam. Jadi, peluangnya (inflasi) di bawah 1 persen,” paparnya di gedung BPS kemarin.
Direktur Statistik Harga Yunita Rusanti menambahkan, beberapa komoditas yang patut diwaspadai menjelang Lebaran adalah cabai merah, daging ayam, dan telur ayam. Sebab, komoditas-komoditas tersebut selalu masuk daftar inflasi selama dua bulan terakhir. Selain itu, beras menjadi komoditas yang harus dikontrol kenaikan harganya.
Secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengungkapkan bahwa rendahnya inflasi Juni disebabkan oleh mulai menurunnya daya beli masyarakat. ”Memang betul daya beli masyarakat sudah mulai turun. Sebab, apabila inflasi tinggi tentu daya beli masyarakat tinggi, nah kali ini inflasi tergolong melandai, otomatis penyebabnya adalah daya beli masyarakat yang tidak terlalu tinggi,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Eko mengungkapkan bahwa menurunnya daya beli masyarakat terbilang cukup wajar. Sebab, rendahnya pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama yang hanya sebesar 4,7 persen menjadi salah satu pemicu masyarakat mengurangi konsumsi. Selain itu, historis dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa capaian inflasi terbilang melandai di bulan puasa.
Daya beli masyarakat, lanjutnya, diprediksi mulai bergairah pada H-7 sebelum Lebaran hingga H+7 Lebaran. ”Karena lebaran tahun ini jatuh di pertengahan bulan, nantinya bisa terefleksikan pada H-7 hingga H+7 Lebaran. Nah, setelah momen itu, perhitungan inflasi untuk bulan Juli diproyeksikan naik hingga 0,9 persen hingga 1 persen lantaran masyarakat mulai aktif melakukan konsumsi,” jelasnya.
Selain itu, capaian pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua juga diungkapkannya menjadi faktor penentu daya beli mayarakat. Namun, apabila pertumbuhan ekonomi masih di bawah 5 persen, daya beli masyarakat dipastikan belum ada perubahan. ”Faktor daya beli masyarakat itu menyumbang sekitar 50 persen dari pertumbuhan ekonomi.” (ken/dee/c10/kim)