Investor Petrokimia Desak Penurunan Harga Gas
JAKARTA – Kawasan Bintuni di Papua Barat diproyeksikan menjadi megapolitan industri petrokimia di Indonesia, bahkan skala global. Sebab, kawasan di Indonesia Timur itu memiliki potensi gas bumi yang melimpah dan banyak perusahaan multinasional yang siap menanamkan modal.
”Ferrostaal dari Jerman, LG Chemical Korea, dan Pupuk Indonesia siap masuk ke Bintuni. Tapi, mereka menunggu kepastian harga serta pasokan gas. Inilah yang harus dipercepat kepastian harganya. Kami mendesak turunnya harga gas demi kebutuhan industri petrokimia yang potensinya besar,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin kemarin (1/7).
Menurut dia, kawasan Bintuni memiliki potensi gas bumi melimpah yang dibutuhkan industri petrokimia. Menperin mengakui, calon investor beberapa kali meminta kepastian dukungan energi gas sebagai salah satu basis kalku- lasi investasi dan operasi mengingat industri petrokimia merupakan bisnis jangka panjang. ”Memang perlu intervensi pemerintah,” tuturnya.
Pemerintah selama ini menganggap harga gas domestik yang mahal menjadi kendala utama pengembangan industri petrokimia. Kini harga gas domestik USD 9–10 per MMBTU, sedangkan di luar negeri hanya USD 3–4 per MMBTU. ”Penurunan harga gas diperlukan demi kepastian investasi industri petrokimia yang mendukung beragam industri lain dan menciptakan lapangan kerja,” sebutnya.
Kemenperin memerinci, pembangunan industri petrokimia di Teluk Bintuni mempunyai beberapa alasan mendasar. Pertama, potensi gas bumi di Teluk Bintuni yang sudah diidentifikasi 23,8 TSCF dengan 12,9 TSCF dialokasikan untuk dua train LNG dan sisanya 10,9 TSCF untuk satu train LNG. Selain itu, ditemukan cadangan baru 6–8 TSCF. (wir/c6/agm)
– Bank Indonesia (BI) telah mewajibkan penggunaan rupiah di wilayah NKRI secara penuh mulai kemarin (1/7). Namun, pada praktiknya, BI memberikan kelonggaran pada beberapa perusahaan soal penggunaan rupiah dalam transaksi tersebut.
’’Saat itu banyak sekali pihak perusahaan yang datang. Ada sekitar 400 orang dari perusahaan Jepang yang datang untuk meminta klarifikasi atas aturan wajib transaksi rupiah itu,’’ ujar Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eny Panggabean di Jakarta kemarin (1/7).
Menurut dia, kewajiban penggunaan rupiah bertujuan menegakkan kedaulatan republik sekaligus mendukung stabilitas ekonomi makro. Tetapi, para pelaku usaha yang merasa keberatan dengan ketentuan tersebut dapat meminta pengecualian dengan beberapa catatan.
Penggunaan valuta asing masih dimungkinkan pada kegiatan tertentu dalam pelaksanaan proyek infrastruktur strategis. Yakni, penyesuaian sistem, pembukuan, strategi bisnis, evaluasi terhadap proses bisnis, dan keuangan perusahaan. Ketentuan itu memungkinkan kontrak atau perjanjian tertulis yang menggunakan valuta asing sebelum 1 Juli 2015 tetap berlaku sampai perjanjian tertulis tersebut berakhir. ’’Sepanjang bersifat detail dan tidak terdapat perubahan,’’ katanya.
Selama permohonan pengecualian masih diproses bank sentral, pelaku usaha dapat menggunakan valuta asing dalam kegiatan usaha yang dimohonkan tersebut. Pengenaan sanksi akan diberlakukan sejak dikeluarkannya penolakan atas permohonan yang diajukan ke BI. ’’Sanksi tidak langsung denda, tetapi tertulis. Kami ingatkan dulu. Kalau sudah dua kali mereka masih melakukan pelanggaran, baru di-