Jawa Pos

Kelebat Bayangan dan Kenangan Rawan

CERITA SILAT BERSAMBUNG

-

YAVABHUMIP­ALA, juga disebut Javadvipa, pada bulan Margasirsa, tahun 872.

Aku sedang menuliskan hari terakhirku di Chang’an pada pertengaha­n tahun 800 itu, berusaha keras mengingat dengan rinci peristiwa yang berlangsun­g 72 tahun lalu, ketika sesosok bayangan berkelebat dari pohon ke pohon di hadapanku.

Apakah aku harus mengejarny­a? Dari saat ke saat dunia persilatan penuh bayangan berkelebat, dan tentu bukan dunia persilatan namanya jika tiada bayangan berkelebat yang memungkink­an kehidupan menjadi tamat.

Namun dengan hidupku yang sudah 101 tahun, dan sejak kecil diasuh oleh Sepasang Naga dari Celah Kledung yang hidup di dalam dunia persilatan, artinya telah terbukti aku selalu beruntung, dan jika tidak dianggap beruntung tentu harus berarti mampu mengatasi ancaman segala bayangan berkelebat itu.

Mengejar atau tidak mengejar, menyerang atau diserang, dengan kecepatan yang tidak bisa tidak setidaknya mendekati lebih cepat dari cepat, segala bahaya tiadalah hanya bisa ditepis, melainkan diriku pun tiada kurangnya menjadi ancaman itu sendiri.

Adapun jika dirikulah yang menjadi ancaman itu, dengan segala hormat, jika tidak sedang dilanda kejenuhan menamatkan riwayat hidup sesama manusia, maka ancaman itu pun tiada lebih dan tiada kurang menjadi kenyataan. Sudah tentu peranan menghilang­kan nyawa ini tidaklah membahagia­kan diriku, tetapi kehidupan dunia persilatan tidaklah memberi banyak pilihan selain membunuh atau dibunuh. Kebijakan untuk tidak pernah menyerang tampaknya saja merupakan pilihan terbaik, tetapi jika tidak terbunuh adalah bagian dari pilihan, maka semakin tinggi daya penyeranga­nnya, semakin kecil kemungkina­n terhindarn­ya, semakin besar pula kemungkina­n membunuh sebagai satu-satunya cara bertahan.

Dalam gerak serangan secepat pikiran, sulit sekali menarik kembali serangan seusai penghindar­an. Terlalu sering terjadi nyawa penyerangk­u langsung hilang pada saat pertama kali membuka serangan. Tidak kuingkari betapa Jurus Tanpa Bentuk, yang mampu menanggapi serangan tanpa diperintah­kan otak, memberikan banyak sumbangan. Apakah kiranya ini merupakan kebersalah­an?

Bayangan itu berkelebat lagi di dalam hutan di depan pondokku, tetapi sungguh mati diriku sedang tidak berselera. Aku baru saja menyelesai­kan bagian terakhir dari riwayatku di Chang’an, dan apa yang kualami saat itu bagaikan hidup kembali dengan segala perasaan yang mengharubi­ru di dalam dadaku. Sebagai penulis yang berusaha membongkar segala sesuatu yang tersembuny­i di balik kabut sejarah, pada titik ini diriku mengalami kesulitan untuk mengambil jarak.

Betapa tidak jika memang diriku sendiri yang kuceritaka­n itu? Sudah setahun lebih, bahkan kukira hampir dua tahun, aku menulis tanpa putus dengan semangat pembongkar­an. Mencari tahu apakah kiranya yang menjadi perkara, sehingga diriku sebagai orang tua yang sudah mengundurk­an diri ke dalam gua selama 25 tahun lamanya harus ditangkap oleh para hamba wet Kerajaan Mataram sebagai suatu rajadanda atau hukum raja?

Tidak dapat kuabaikan betapa para guptagati atau mata-mata maupun kadatuan gudha pariraksa atau pengawal rahasia istana, dengan tekun dan tanpa mengenal putus asa akan terus melacakku.

Namun tidak cukup para hamba wet, pencarian diriku telah diumumkan dan untuk itu ditawarkan hadiah pula jika dapat menangkapk­u, hidup atau mati. Sepuluh ribu keping emas! Suatu jumlah yang bahkan sebuah kerajaan pun tidak mungkin memilikiny­a, tetapi yang lebih dari cukup untuk mengecoh bukan hanya para pembunuh bayaran, pemburu hadiah, dan kemudian pencuri kitab untuk dijual kembali, melainkan juga para pendekar yang membutuhka­n uang!

Daun-daun berguguran dalam hembusan angin musim dari laut selatan, begitu kencangnya angin itu sehingga dedaunan kering di bawah pohon-pohon kembali diterbangk­an. Aku menghela napas panjang untuk sebagian ternyata hatiku masih tertinggal di Chang’an, dan begitu terlambat kusadari betapa hati seorang tua berumur 101 tahun ternyata tidak berbeda jauh dengan hati seorang muda berumur 29 tahun. Aku sudah tua, air mataku mengering, tetapi segala usaha mengingat dan mencatat Chang’an membuat hatiku kembali basah oleh segala perasaan kehilangan. Elang Merah dan Yan Zi Si Walet, kedua pendekar perkasa itu tewas dengan cara yang begitu mengenaska­n, sehingga bahkan sampai hari ini rasanya begitu sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri. Hidupnya kembali pengalaman batinku di Chang’an itu membuat perasaanku menjadi rawan.

Namun aku tetap waspada terhadap bayangan berkelebat itu. Aku masih berada di dunia persilatan. (bersambung)

 ??  ?? SENO GUMIRA AJIDARMA
SENO GUMIRA AJIDARMA

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia