Jawa Pos

Malu karena Merasa Wajah Tak Proporsion­al

-

DOKTER Nalini, sebenarnya ini bukan masalah serius bagi saya. Saya hanya ingin tahu penyebabny­a supaya bisa menolong teman saya. Saya sekarang berumur 19 tahun. Ketika SMP, saya punya teman pemalu. Sebut saja namanya Dara.

Saat pertama mengenalny­a, saya kira dia punya luka di wajah atau masalah mulut. Sebab, hampir saban hari dia pakai masker. Tapi, saat kami wudu bersama, wajahnya biasa saja. Juga tak ada problem di mulutnya.

Saat saya tanya, katanya dia merasa malu. Malu kenapa? Ya, pokoknya malu! Menurut dia, mukanya jelek, berminyak, dan ada bekas jerawat. Saya bersikukuh bawah itu sama sekali tidak benar.

Suatu hari, dia tidak masuk sekolah dua hari. Ada jerawat di dahinya, katanya. Saya bilang, dia lebay. Kami kan sedang masa remaja.

Saat pengumuman kelulusan SMP, bertepatan dengan ulang tahunnya, dia sudah tidak masuk tiga hari. Ibunya bilang, Dara tidak mau keluar kamar setelah dari dokter kulit. Aduh, apa lagi sih ini? Kami memutuskan bikin kejutan dengan membawa kue. Tapi, saat kami kunjungi, dia tidak mau keluar kamar. Kami sampai memelas. Masak datang jauh-jauh dikacangin. Dia kukuh tak mau keluar kamar. Ibunya kasihan kepada kami dan membuka pintu kamar dengan kunci serep.

Saat kami masuk bawa kue, dia menutup badan dan mukanya dengan selimut. Sama sekali tak mau kami melihatnya. Bahkan dibelain dia nangis supaya kami keluar kamar. Nasihat sudah nggak kehitung panjangnya. Kami sampai gondok sendiri waktu itu. Saat kami tarik selimutnya, wajahnya juga nggak kenapa-kenapa tuh. Tapi, dia nangis katanya malu wajahnya gosong. Aneh sekali.

Itulah kenangan terakhir saya dengan dia. Sampai minggu lalu, saya bertemu dengan ibunya di toko swalayan. Ibunya curhat si Dara sudah nggak mau sekolah Consultant Psychiatri­st on Women’s Mental Health sekitar sebulan ini. Alasannya malu. Ibunya sampai bingung.

Bahkan, biasanya kalau dia kumat begitu, dokter kulit bisa mengembali­kan kepercayaa­n dirinya. Sekarang sudah nggak mempan. Dia bahkan tak mau membuka masker sama sekali. Ibunya kehilangan akal. Saya sarankan dibawa ke psikolog, tapi sang ibu tak sanggup membawa Dara keluar dari kamar.

Nyimas, Jogjakarta

KASIAAAN sekali yaaa... Yang saya suka, kamu punya empati kepada teman. Teruskan kebiasaan baik tersebut.

Ketika perempuan mulai berangkat remaja serta menengok cermin, mereka sering menemukan ada saja yang salah dengan wajah atau bagian tubuh lainnya. Yang pipi tembem, lah. Hidung pesek, lah. Kulit gosong, lah. Merasa badan kegendutan, dan seterusnya.

Yang kerap dikeluhkan perempuan atau laki-laki masa kini itu sering berkaitan dengan masalah citra tubuh ( body image) yang buruk. Mereka amat terobsesi dengan kekurangan penampilan fisik tersebut. Belum tentu lantaran dirinya tidak cantik atau bentuk tubuh tidak proporsion­al, mereka yang cantik atau tubuh aduhai juga sering mengalamin­ya lho...

Gangguan citra tubuh atau body dysmorphic disorder (BDD), biasa disebut begitu dalam ilmu kedokteran jiwa, bisa sampai serius akibatnya. Gangguan itu kerap berujung depresi. Bahkan, bila tingkatnya berat, mereka sampai ingin mengakhiri hidupnya.

Penyebabny­a adalah interaksi masalah biologis, psikologis, dan lingkungan. Memang ada potensi biologis yang cenderung tidak seimbang dalam sistem neurotrans­mitter- nya, didukung adanya self-esteem yang buruk, lantas terempas oleh kecemasan yang dicetuskan masalah-masalah kehidupan.

Dari faktor lingkungan, bisa dimengerti, pada zaman informasi sedemikian canggih saat ini, kita disuguhi gambaran perempuan cantik atau pria ganteng yang kerap diilustras­ikan atau diiklankan di media massa. Industri kecantikan sering ikut memanas-manasi dengan iklan yang ’’menyesatka­n’’. Bahwa wanita cantik itu mesti rambutnya, wajahnya, atau badannya begini begitu...

Begitu juga, lingkungan pergaulan kerap ikut menambah ketidakpua­san seseorang dengan citra tubuhnya, ikut tertular dan ingin seperti teman-teman yang begini begitu. Pokoknya tidak pernah puas lah dengan keadaan. Sejatinya, mereka kurang percaya diri.

Nah, kira-kira yang terjadi pada teman Anda tersebut, ya ada di seputar itulah, bergantung seberapa berat dia terobsesi dengan ’’kekurangan’’ tubuhnya dan sudah mengganggu kualitas hidupnya. Menyimak penuturan ibunya, mungkin bukan cuma gangguan citra tubuh yang masih tergolong ’’biasa’’ saja, tapi sudah disertai gangguan mental-emosional yang lebih serius. Anjurkan dengan berbagai cara agar ibunya membawanya ke seorang psikiater andal yang menguasai masalah tersebut. (*)

 ??  ?? Nalini M.A.
Nalini M.A.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia