Sawah Fiktif
SELASA kemarin saya sangat lega. Pemeriksaan soal sawah ”fiktif” di Bareskrim selesai dengan cepat
Saya kemukakan bahwa saya memang memutuskan agar BUMN membuka sawah baru. Sawah kita terus berkurang, penduduk terus bertambah.
Waktu itu saya tidak mau BUMN minta-minta APBN. Banyak dana di BUMN yang bisa dimanfaatkan lebih konkret.
Proyek sawah baru itu didanai dan dikerjakan secara gotong royong oleh BUMN. Tidak ada swastanya. Ada BUMN yang memang ahli tata air. Ada BUMN yang ahli pengolahan tanah.
Hutan belukar yang sudah diubah menjadi lahan tertata mencapai 4.000 hektare. Yang sudah dicoba ditanami padi mencapai lebih dari 1.000 hektare. Padi hasil tanaman pertama ini tentu masih jauh dari memuaskan. Dan memang, secara ilmiah (dan ini sudah diketahui sejak awal), sawah baru itu baru akan meng- hasilkan padi secara baik setelah tahun keempat. Mengapa? Sifat tanahnya harus terus diperbaiki. Penyakit-penyakit yang tersimpan di tanah itu harus dibersihkan dari tahun ke tahun. Tata airnya harus terus disempurnakan. Keasaman tanahnya harus terus disesuaikan.
Penanggung jawab proyek ini adalah PT Sanghyang Seri, BUMN bidang pangan. Dana pengabdian beberapa BUMN untuk pembu kaan sawah baru ini dikirim ke Sanghyang Seri. Tidak ada yang dikirim ke, misalnya, Kementerian BUMN atau ke alamat lain.
Kontrak-kontrak pengerjaan sawah itu, negosiasinya dan pembayarannya, semua dilakukan antara PT Sanghyang Seri dengan para kontraktor BUMN sendiri. Tidak ada campur tangan kementerian.
Tiga kali saya meninjau sawah itu. Salah satunya saya ke sana sendirian tanpa memberi tahu siapa pun. Saya harus melakukan evaluasi berdasarkan kenyataan di lapangan.
Kemampuan manajemennya pun saya evaluasi.
Saya pernah marah besar saat meninjau lokasi tersebut.
”Mengapa tidak ada pintu air? Pintu air kan pintu pernapasannya?,” tanya saya.
” Tidak boleh, Pak,” jawab pimpinan Sangyang Seri yang mendampingi saya. ”Siapa yang melarang?” ”Orang PU, Pak,” katanya. ”Karena PU sudah punya program akan membangun pintu air tersebut”. ”Kapan?,” ”Tahun depan, Pak.” Saya tidak puas dengan jawaban itu. Manajemen yang tidak berani menerobos birokrasi seperti itu saya anggap manajemen yang lemah.
Semula saya ingin sawah baru ini sekaligus bisa jadi tonggak kebangkitan Sanghyang Seri setelah bertahun-tahun terpuruk oleh berbagai kasus korupsi.
Kita malu di negara yang ingin berswasembada pangan, BUMN bidang pangannya sangat lemah.
Rupanya tubuh SHS sudah telanjur sangat lemah.
Karena itu, saya putuskan proyek sawah baru ini dialihkan ke BUMN raksasa, PT Pupuk Indonesia. Peralihan ini pun terhambat birokrasi. Memakan waktu berbulan-bulan. Kegiatan di lapangan slow-down. Rumput mulai tumbuh lagi.
Setelah peralihan beres, PT Pupuk Indonesia mulai menanam lagi. Secara bertahap, 100 hektare dulu. Dievaluasi. Lalu tanam lagi. Hasilnya kian baik. Saya memang yakin PT Pupuk Indonesia mampu.
Lalu saya berhenti menjadi menteri.
Kini saya hanya bisa berharap proyek ini diteruskan. Siapa pun menterinya. Ribuan petani di sana sudah sangat menanti…. (*)