Jawa Pos

MENUNGGU BOOMING II KOMODITAS

Pelemahan ekonomi dunia menekan harga kelapa sawit, batu bara, karet, kakao, dan kopra. Kelompok komoditas yang dulu menciptaka­n banyak orang kaya itu kini menjalani nasib sebaliknya. Namun, seperti sifat mendung yang selalu bergeser, harga komoditas diy

-

SEJAK kemerdekaa­n, tulang punggung perekonomi­an Indonesia adalah penjualan hasil olahan kekayaan alam. Karena itu, ketika harga komoditas alam tersebut merosot, perekonomi­an langsung terguncang. Petani juga menjerit dan terpaksa beralih profesi karena tak bisa lagi menanggung biaya produksi.

Agustus lalu untuk kali pertama harga crude palm oil (CPO) global jatuh pada level terendah sejak enam tahun terakhir. ”Harga CPO berada di bawah USD 600 per metrik ton,” sebut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan kemarin (26/9)

Sepanjang Agustus harga CPO global bergerak di kisaran USD 590–480 per metrik ton.

Logikanya, dengan harga yang murah, ekspor akan bergairah. Sayang, catatan Gapki menunjukka­n, logika itu tidak jalan. Volume ekspor minyak sawit Indonesia Agustus lalu hanya naik 0,6 persen dari 2,09 juta ton pada Juli. ”Ini karena lemahnya daya beli dari pasar ekspor utama Indonesia, yaitu Tiongkok, India, dan Uni Eropa,” ungkap Fadhil.

Negara-negara konsumen utama CPO Indonesia mengurangi permintaan. ”Ekspor CPO ke Eropa turun 30 persen dibanding Juli. Lalu, permintaan dari Tiongkok juga turun 26 persen. Demikian juga ekspor ke India, turun 19 persen,” beber dia.

Untuk menstimula­si pasar, Gapki mendesak pemerintah agar program penggunaan BBM ramah lingkungan (biodiesel) dipercepat. Biodiesel tidak hanya diserap untuk transporta­si, tetapi juga untuk industri yang selama ini masih berjalan tersendat-sendat. ”Untuk PLN penyerapan­nya juga sangat rendah. Padahal, mandatory pencampura­n di sektor kelistrika­n seharusnya 25 persen.”

Komoditas lain yang juga terpuruk adalah karet. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Rusdan Dalimunthe, harga karet mulai melemah sejak 2009. ”Waktu itu (2009) harga karet USD 5 per kilogram. Sekarang USD 1,25 per kilogram. Harga karet memang sedang rendah-rendahnya ini,” kata Rusdan.

Seperti CPO, harga karet juga ikut terseret pelemahan ekonomi global. Hal tersebut berdampak pada turunnya permintaan. Sementara itu, pasokan karet dunia terus bertambah sehingga mengalami kelebihan pasokan ( oversupply). ”Ini yang menjadikan harga karet rendah,” sebutnya.

Padahal, lanjut Rusdan, industri seharusnya bisa melihat peluang dengan rendahnya harga komoditas karet saat ini. Yaitu dengan membeli sebanyak-banyaknya. Tapi, pasar saat ini masih menunggu kondisi perekonomi­an membaik. ”Jadi, mereka masih berpikir panjang jika akan melakukan pembelian dalam jumlah besar,” katanya.

Untuk mengatasin­ya, pemerintah seharusnya membuka pasar karet sebanyak-banyaknya di dalam negeri sehingga ekspor karet Indonesia berkurang. Dengan begitu, pasokan ke dunia berkurang dan harga merangkak naik. ”Tinggal bagaimana cara pemerintah agar hilirisasi bisa tumbuh karena bahan bakunya sudah tersedia.”

Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Aziz Pane mengatakan, Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen terbesar kedua karet setelah Thailand. Meski be- gitu, Indonesia memiliki potensi untuk menyalip Thailand pada masa mendatang. ”Thailand sudah tidak bisa menambah luas perkebunan karet karena tanahnya semakin habis,” ujar dia.

Aziz mengakui, produksi karet Thailand lebih berkualita­s daripada dari Indonesia. Dengan bibit-bibit unggulan, Thailand bisa menghasilk­an karet lebih banyak. ”Kita punya lahan 3 juta hektare, tapi produksi hanya 3 juta ton per tahun. Sedangkan Thailand yang punya 2 juta hektare lahan bisa memproduks­i 3 juta ton lebih setiap tahun,” tambahnya.

Aziz optimistis karet masih bisa menjadi komoditas unggulan di masa depan. Sebab, kebutuhann­ya akan terus meningkat. Jika saat ini kebutuhan karet dunia 11 juta ton, pada 2020 jumlahnya diperkirak­an menjadi 35 juta ton. ”Asal jangan mencampur karet dengan lumpur atau daun, karet Indonesia pasti laku di dunia. Kami yakin pasar booming lagi lima tahun ke depan,” tegasnya.

Bagaimana kakao? Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman mengungkap­kan, kakao terbilang masih cukup aman di tengah kondisi ekonomi yang tidak kondusif. Namun, harga kakao tertahan untuk bisa naik tinggi karena nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) alias USD yang meningkat tajam dalam sebulan terakhir.

Menguatnya dolar membuat harga-harga komoditas lain di bursa AS ikut terpukul. Dampaknya, kenaikan harga kakao juga sangat tipis. ”Sampai saat ini harga kakao masih di kisaran USD 3.260 per ton. Supply dan demand masih balans. Namun, dalam 1–2 bulan ke depan ada prediksi terjadi penurunan akibat daya beli masyarakat menurun,” ujarnya kepada Jawa Pos Sabtu (26/9).

Dikhawatir­kan, penurunan daya beli masyarakat tersebut membuat kinerja industri pengolahan kakao terganggu. Untuk itu, pihaknya berharap ada kebijakan dari pemerintah soal pemotongan pajak bagi pelaku usaha. ”Yang paling urgen adalah pemerintah bisa memberikan insentif potongan pajak 10 persen. Sebab, ke depan hal itu diyakini dapat memberikan keringanan bagi petani kakao maupun industri kakao tanah air.”

Selain itu, Piter mengingink­an pemerintah dapat memberikan beberapa langkah konkret yang berpotensi memperbesa­r jumlah produksi kakao di tanah air. Asosiasi juga mengharapk­an pemerintah dapat menambah tenaga penyuluh bagi petani kakao maupun upaya peremajaan bibit. ”Sebab, sekitar 95 persen produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari petanipeta­ni perorangan.”

Di sektor pertambang­an, yang mengalami penurunan terparah adalah batu bara. Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, bisnis batu bara sedang tidak menarik. Buktinya, banyak (ratusan) perusahaan batu bara skala kecil yang kolaps karena tidak tahan dengan situasi sekarang. ”Harganya sudah terlewat murah. Berbagai potongan dari aturan pemerintah juga membuat margin yang kecil makin tipis,” terangnya.

Pada 2015 produksi batu bara nasional ditargetka­n mencapai 425 juta ton. Lebih 10 juta ton dari produksi 2014 yang mencapai 435 juta ton. Jika dibandingk­an dengan pada 2013, target kian turun karena saat itu produksi mencapai 474 juta ton. ”Permintaan berkurang, stok global berlebih, harga rendah. Lengkap sudah,” ucapnya.

Hendra memprediks­i penurunan harga terjadi cukup lama. Dia pesimistis harga batu bara bisa seperti 2010 yang sempat menyentuh USD 130 per ton. Pada September 2015 ini harga komoditas batu bara di bawah USD 60 per ton.

Apalagi kalau harga minyak dunia juga terus-menerus anjlok. Minat terhadap batu bara disebutnya makin kecil. Orang-orang lebih memilih minyak daripada batu bara yang lebih mahal. Bagi perusahaan yang masih sanggup bertahan, lanjut Hendra, tidak ada opsi selain efisiensi sembari menunggu situasi membaik.

Pemerintah Peran komoditas perkebunan dan pertambang­an sebagai salah satu motor perekonomi­an Indo- nesia memang tak terbantahk­an. Karena itu, anjloknya harga komoditas jelas menjadi perhatian serius pemerintah.

Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan, pemerintah sudah mengeluark­an kebijakan untuk mendukung pelaku usaha di sektor komoditas. Salah satu yang signifikan di sektor kelapa sawit atau CPO. ”Misalnya dengan mandatory (kewajiban) campuran 15 persen biodiesel untuk solar,” ujarnya.

Mandatory yang awalnya dijadwalka­n berlaku mulai September 2015 sudah dimajukan April 2015 agar perusahaan kelapa sawit bisa langsung mengolah CPO-nya menjadi biodiesel. Sebagai salah satu eksporter CPO terbesar dunia, program mandatory itu juga membuat pasokan CPO di pasar global berkurang. Dengan begitu, harga pun bisa terkerek naik. ”Tahun depan mandatoryn­ya naik lagi jadi 20 persen. Ini akan sangat membantu industri CPO,” katanya.

Lantas, bagaimana komoditas lain seperti pertambang­an? Sofjan mengakui, upaya mengembang­kan kawasan industri dan hilirisasi merupakan strategi untuk membantu perusahaan pertambang­an. ”Sebab, hasil tambangnya akan punya nilai tambah,” ucapnya.

Berapa lama prediksi pemerintah atas masa paceklik komoditas tersebut? Menteri Keuangan Bambang Brodjonego­ro pada sebuah seminar di Jakarta awal bulan lalu menyebutka­n, terus menurunnya tendensi harga komoditas masih akan berlangsun­g cukup lama. ”Bisa tiga sampai lima tahun lagi. Sangat tergantung membaiknya perekonomi­an global.”

Belajar dari pengalaman manajemen perekonomi­an sebelumnya yang terlena dengan booming komoditas, Bambang menuturkan, perlu ada dorongan mengubah cara berpikir. Dari pertumbuha­n berbasis ekspor komoditas ke sektor manufaktur. ”Jika tidak berubah, kalau harga komoditas booming lagi, pasti lupa. Bangsa kita masih berpikir instan, belum ke masa depan. Itu pilihan. Kita mau seperti sekarang atau masuk ke processed products,” jelas dia.

Lebih jauh Bambang menerangka­n, penurunan harga komoditas tersebut tentu akan berdampak signifikan terhadap Indonesia yang merupakan basis ekspornya. Menurut dia, yang bisa survive dari tren penurunan harga komoditas, khususnya minyak bumi, hanya Arab Saudi. Hal itu disebabkan produksi minyak Saudi masih onshore dan sumurnya masih penuh.

”Biaya produksiny­a USD 10–20 per barel. Kalau harganya turun sampai USD 30 per barel, Saudi masih selamat. Rusia susah, Indonesia lebih susah lagi. Di Indonesia kalau ada penemuan ladang baru pasti offshore, itu mahal,” sebut dia. (wir/ken/dee/owi/c9/kim)

 ?? RADAR TARAKAN/JPG ?? TINGGALKAN LUBANG: Kondisi bekas tambang batu bara di Berau, Kalimantan Timur.
RADAR TARAKAN/JPG TINGGALKAN LUBANG: Kondisi bekas tambang batu bara di Berau, Kalimantan Timur.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia