Keluyuran di Tengah Kota
TAK enak dicap ”tukang keluyuran”. Konotasinya cenderung negatif. Juga tak mengenakkan.
Kesannya agak berbeda dengan kata piknik, tamasya, jalan-jalan, apalagi traveling. Walaupun sama-sama menghabiskan waktu dan uang, kata-kata terakhir itu agak lebih terhormat. Kata-kata barusan itu dianggap lebih positif. Sebab, wajar seseorang bersantai-santai sedikit setelah dihajar rutinitas kerja.
Lebih-lebih traveling. Belakangan, melakukan traveling bergaya backpacker- an bahkan menjelma sebagai hal keren. Walau jelas-jelas menyita waktu dan uang, traveling rasa-rasanya terbebas dari kesan hura-hura
DENGAN embel-embel untuk mengenal dan memperkenalkan tempat-tempat indah demi mempromosikan Indonesia, traveling ke berbagai pelosok tanah air akhirnya bisa dianggap sebagai kewajaran yang bisa memperlihatkan kadar cinta kepada tanah air.
Kalimat Soe Hok Gie dimunculkan lagi untuk menabalkan aktivitas traveling sebagai sesuatu yang penting bagi generasi muda. Sebagai aktivis yang gemar naik gunung, Gie memang memberi tempat terhormat kepada aktivitas yang sekarang disebut traveling. Naik gunung, bagi Gie, sangat penting bagi anak muda karena (saya kutipkan utuh):
”Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”
Maka, berbondong-bondonglah anakanak muda Indonesia bepergian ke berbagai pelosok Indonesia. Dengan merogoh saku sendiri, sering juga disponsori korporasi, mereka merayakan keindonesiaan sembari menenteng gadget sebagai ”alat perangnya”. Walau hanya sehari dua hari, bahkan kadang hanya hitungan jam, berbagai tempat in- dah dan ragam bentuk serta ekspresi kebudayaan lokal itu diabadikan dan lantas disebarluaskan.
Di media sosial, amat mudah menemukan foto-foto indah dari berbagai tempat dan kebudayaan Indonesia karya para traveler itu. Sebagian besar dilekati citraan-citraan nasionalisme. Dari pantai di pulau-pulau Maluku hingga ngarai-ngarai di Sumatera Barat. Dari kain tenunan khas Sumba hingga wajah-wajah ligat orang-orang dari Indonesia Timur.
Alih-alih memperlihatkan rasa cinta tanah air, citraan-citraan dalam berbagai foto itu justru menyibakkan sebentuk rasa asing yang mencuat diam-diam. Pada pemandangan indah atau wajah orang-orang suku pedalaman yang diabadikan dalam foto dan disebarkan di media sosial itu, kita menemukan semacam ketakjuban yang biasa muncul dari orang-orang asing yang baru melihat sesuatu.
Orang Jawa menyebutnya gumun. Foto-foto semacam itu amat mungkin lahir dari mata seseorang yang gumunan. Gampang terkagetkaget dan terheran-heran akan sesuatu yang baru, tak terduga, atau (dianggap) luar biasa.
Hanya sedikit traveler yang menyadari dokumentasi tempat-tempat dan ragam bentuk kebudayaan lokal yang mereka kumpulkan dan sebarkan itu memancarkan kembali cara pandang kolonial. Keindahan dan eksotisme tanah air itulah yang dulu disebut sebagai mooi Indie: Hindia yang molek, indah, tenang, tenteram, gemah ripah loh jinawi. Seakan-akan segala hal di pelosokpelosok itu berjalan serba-alami, baik-baik saja, dan bebas dari (potensi) kekacauan atau gangguan yang centang perenang.
Memperlihatkan pemandangan gunung yang rusak oleh perusahaan tambang atau hutan yang terbakar oleh perkebunan sawit jelas tak cocok dengan citraan mooi Indie. Hal itu juga akan tampak kurang patriotis karena justru mempromosikan hal-hal buruk yang terjadi di Indonesia kepada dunia luar.
Alih-alih membebaskan diri hipokrisi dan slogan-slogan, sebagaimana diutarakan Gie, traveling malah rentan terantuk menjadi perayaan nasionalisme yang sloganistis dan hipokrisi yang menutup-nutupi kebobrokan negeri sendiri. Misalnya, alih-alih membelejeti eksploitasi alam di Papua, tapi memilih mengeksplorasi kepala suku yang wajahnya eksotis dan auranya magis saat memimpin upacara.
Lagi pula, apa yang disebut Gie sebagai ”mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat” itu tak bisa dilakukan dengan sejam dua jam atau sehari dua hari. Itu terlalu singkat untuk memahami hal-hal yang tak tampak di permukaan. Mau bagaimana lagi? Wong bepergian hanya di Sabtu dan Minggu atau saat cuti bersama. Sisanya habis untuk kuliah atau bekerja.
Itulah sebabnya, kadang saya bisa menghargai mereka yang asyik menelusuri kotanya sendiri. Di tengah kehidupan yang sarat dengan tenggat, sangat mungkin seseorang terasing dari kotanya sendiri.
Hari demi hari dihabiskan dengan kerja, kerja, dan kerja. Tak banyak waktu tersisa untuk menyesap detail-detail yang terhampar di kotanya sendiri, menelusuri trotoar demi trotoar, lorong demi lorong, gang demi gang.
Melakukan hal demikian memang tampak tidak keren. Seorang anak muda Jakarta yang jalan-jalan di Pelabuhan Sunda Kelapa atau anak muda Bandung yang memutari gedung-gedung tua di Asia Afrika akan dianggap sebagai hal yang tidak istimewa dibandingkan, misalnya, mereka yang backpacker- an demi menghadiri festival di Jailolo atau upacara di Labuan Bajo. Paling banter disebut sedang keluyuran.
Sialnya, seperti sudah disinggung di paragraf pembuka, keluyuran dilekati konotasi yang agak negatif. Seturut kamus, keluyuran berarti ”(1) pergi ke mana-mana (2) tanpa tujuan tertentu”. Sudahlah bepergian ke berbagai arah/tempat, pendeknya ke manamana, tanpa tujuan tertentu pula. Benar-benar pengangguran, pemalas, kurang giat bekerja. Pendeknya: si penghura-hura dengan waktu.
Padahal, apa yang dikatakan Gie sebagai ”mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat” lebih mungkin tercapai dengan cara keluyuran di kota dan tempat tinggal sendiri. Sebab, di situlah sehari-hari kita hidup dan menghela napas. Sebab, di kota sendirilah kita sehari-hari bergumul dengan kenyataan yang tak selamanya indah dan menyenangkan. (*)
*) Esais, bisa ditemui di @zenrs