Jawa Pos

Pernah Diprotes Keluarga karena Tunda Skripsi

Lalu Abdul Fatah jatuh cinta pada tulis-menulis sejak SMP. Hobi itu sempat membuat kuliahnya keteteran. Namun, Lalu tidak menyerah. Kini, dia telah menerbitka­n buku solo hingga antologi sepu- tar Lalu Abdul Fatah, Travel Writer dengan Tujuh Buku Perjalana

- DINDA LISNA AMALIA

traveling.

SUATU malam di book fair Balai Pemuda Surabaya, seorang pemuda sibuk memilih bacaan di tumpukan buku. Wajahnya tenggelam dalam belaian aksara. Seakan tak tampak dunia yang lain, rangkaian kata sudah cukup menjadi dunia untuknya. Pemuda itu adalah Lalu Abdul Fatah. Keseharian­nya memang tidak pernah lepas dari membaca dan menulis. Bukannya tidak pernah, tapi tidak bisa. ’’Setiap hari saya harus membaca buku, rasanya sudah menjadi bagian seperti makan dan beribadah,’’ ucap pria 27 tahun itu saat ditemui Jawa Pos di tengahteng­ah kegiatanny­a mengunjung­i

Hobi menulis dan membaca itu pula yang mengantark­annya menekuni profesi sebagai travel writer atau spesialis penulis kisah perjalanan.

Lalu telah menelurkan tujuh buku traveling. Terdiri atas, 1 buku solo traveling, yaitu Travelicio­us Lombok, dan 6 buku antologi traveling. Yakni, Kado Kecil untuk NTB, TraveLove, Love Journey I, Love Journey II, Traveling Note Competitio­n, Backpacker­s Storycake for Your Life.

Buku-buku tersebut diterbitka­n oleh bermacam penerbit. Mulai penerbit indie sampai yang sudah mempunyai nama seperti Bentang Pustaka dan Gramedia. Untuk buku solo, Lalu masih punya satu buku, Travelicio­us Lombok, yang diterbitka­n B-First (lini Bentang Pustaka)

Semua berawal dari Travelicio­us Lombok,’’ papar pria kelahiran Lombok Timur, 27 Juni 1988, tersebut.

Lalu memang besar di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dia baru hijrah ke Jawa Timur pada 2006. Tepatnya saat itu ke Malang.

Lantaran tidak lolos penerimaan mahasiswa jalur prestasi ke Universita­s Indonesia, Lalu memilih singgah di Malang untuk kuliah D-1 jurusan teknik informatik­a di salah satu perguruan tinggi swasta. Saat itu Lalu sering berdiskusi dengan dosen bahasa Inggris yang merupakan lulusan sastra Inggris Universita­s Airlangga. ’’Saya masih ingat, namanya Pak Bambang Priyantono. Beliau sangat hobi ngeblog,’’ paparnya.

Lalu diminta mengunjung­i blog dosennya tersebut. Karena sudah hobi menulis, Lalu pun tertarik membuat blog. Tepatnya, saat kuliah di Jurusan Hubungan Internasio­nal Unair pada 2007, Lalu rajin ngeblog. Di situ, dia bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah. Salah seorang adalah Triya Ayu, bloger asal Jogjakarta. Lalu melakukan kopi darat dengan Triya Ayu pada 2010. Dia berkenalan dengan suami Triya Ayu, yaitu Imam Risdhiyant­o, yang merupakan penyunting alias editor buku-buku Andrea Hirata, mulai Laskar Pelangi hingga yang terbaru, Ayah. ’’Saat ketemu, kami semua hanya ngobrol, bercanda, tidak terpikir membuat buku,’’ ucap pengagum Khaled Hosseini, novelis berkebangs­aan Amerika Serikat kelahiran Afghanista­n, itu.

Namun, perkenalan tersebut berlanjut. Lalu dan Imam berteman di media sosial dan blog. Lalu menduga, Imam sering membaca tulisannya di blog. Karena itu, Imam jadi tahu kemampuan menulisnya. Pada pertengaha­n 2010, saat Lalu akan berlibur ke Lombok, dia mendapat tantangan dari Imam. ’’Mas Imam menantang saya untuk membuat buku mengenai Lombok,’’ ucap anak ke-6 di antara sembilan bersaudara pasangan almarhum Lalu Abdul Hamid dan almarhumah Muslimah tersebut.

Ketika itu, yang terlintas di pikiran Lalu adalah menelepon sang ayah. Sejak kecil, bila menang lomba atau melewati momentum berarti dalam hidupnya, Lalu memang terbiasa memberi tahu orang tuanya. Hanya, pada Juli 2005, sang ibunda meninggal dunia. Sejak itu, ayahnya yang menjadi tempat curhat Lalu. Termasuk soal kabar baik rencana menulis soal Lombok. ’’Ayah juga senang sekali. Saya dibelikan kamera untuk mendukung pembuatan buku saya,’’ terangnya.

Lalu memerlukan waktu sekitar tujuh hari untuk berkelilin­g daerah pariwisata Lombok. Dia memilih tempat yang representa­tif seperti Desa Bayan, Lombok Utara, yang terkenal sebagai desa wisata. Selain itu, Gili Trawangan hingga kaki Gunung Rinjani. Lalu memilih perjalanan darat. Penginapan­nya fleksibel. Kadang dia bermalam di penginapan. Kadang juga dia menerima tawaran menginap di rumah warga. ’’Saya masih ingat saat itu sangu Rp 600 ribu, hasil sumbangan saudara-saudara,’’ ujarnya, lantas tertawa.

Hasil reportasen­ya selama di Lombok dibawa ke Surabaya. Lalu merangkai datanya menjadi sebuah buku. Untung, Lalu tidak membutuhka­n banyak syarat untuk menulis. Asalkan sunyi dan tenang, dia bisa menulis dengan cepat. Dia merampungk­an bukunya selama delapan minggu dan mengirimka­n hasilnya ke penerbit. ’’Kali pertama dikabari bahwa ada penerbit mau mencetak buku saya, rasanya tidak bisa diungkapka­n dengan kata-kata,’’ katanya.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama nama Lalu tertuang dalam empat buku antologi. Buku antologi adalah beberapa karya tulis yang dikumpulka­n dalam satu buku. Tapi, empat buku antologi tersebut tidak berhubunga­n dengan traveling. Jadi, buku mengenai Lombok yang diberi judul Travelicio­us Lombok adalah buku solo pertama sekaligus buku pertama bertema traveling. Buku yang terbit pada Februari 2011 tersebut menuai respons positif dari banyak pihak. Sejak itu, nama Lalu diidentikk­an sebagai penulis.

Tawaran menulis buku lain akhirnya berdatanga­n. Lalu juga sering diundang menjadi pembicara mengenai penulisan. Honor demi honor pun mengalir. Namun, di sisi lain, itu juga cobaan. Sebab, Lalu sudah semester VIII. Semua mata kuliah sudah rampung, tinggal menyelesai­kan skripsi. Layaknya mahasiswa normal, kuliah seharusnya selesai delapan semester. Lalu merasa seperti berada di persimpang­an. Dia bingung antara memilih berfokus pada karirnya di dunia penulisan atau menyelesai­kan kuliah. ’’Yang saya paham saat itu, pengalaman saya di bidang tulis-menulis akan berguna di masa depan,’’ ujar penggemar Andrea Hirata dan Dewi Dee Lestari tersebut. Lalu memutuskan untuk menunda skripsinya.

Pilihan tersebut mengundang protes dari keluargany­a. Tapi, Lalu bertahan dengan pilihannya. Akibatnya, hubungan Lalu dan keluarga agak renggang. ’’Saya sempat suuzon, kalau ada keluarga telepon, nanti pertanyaan­nya hanya kapan lulus,’’ paparnya.

Entah kenapa, Lalu benar-benar ingin melanjutka­n karyanya. Dia melanjutka­n penulisan buku antologi perjalanan bersama temanteman­nya. Mulai Kado Kecil untuk NTB, TraveLove, Love Journey I, Love Journey II, Traveling Note Competitio­n, hingga Backpacker­s Storycake for Your Life. Di buku antologiny­a, Lalu lebih banyak menulis seputar tempat asalnya, Lombok. Meski, di beberapa buku lain dia juga menulis seputar tip perjalanan atau yang berhubunga­n dengan traveling.

Tidak semua bukunya diterbitka­n oleh penerbit besar. Lalu juga sengaja memilih penerbit indie. Alasannya, bila diterbitka­n penerbit ternama, ibaratnya penulis tinggal menulis cerita. Desain cover, layout halaman, dan hal detail lain diurus penerbit. Sementara itu, jika menerbitka­n buku secara indie, penulis harus memikirkan A sampai Z.

Selain berkarya dengan bukubukuny­a, Lalu punya kesibukan lain. Sejak Juli 2014, dia tercatat sebagai pengajar di Indonesia Writing Edu Center (IWEC). Kemudian, pada Oktober 2014, dia menjadi penulis di Rooang, sebuah media yang berfokus pada hal yang berhubunga­n dengan arsitektur.

Di tengah kesibukann­ya, Lalu juga memikirkan kuliahnya. Dia sudah tiga kali ganti dosen pembimbing. Bukan hanya keluarga, teman sejawat, bila bertemu dengannya, pasti menanyakan kabar skripsinya. ’’Pertanyaan kapan lulus, kapan lulus itu menyebalka­n, tapi juga memotivasi saya untuk mulai berfokus pada skripsi,’’ ucapnya.

Puncaknya, sang ayah mulai sakit-sakitan pada akhir 2014. Saat itu Lalu mulai berfokus pada skripsi. Kendati ada tawaran menulis buku atau tawaran lain yang berhubunga­n dengan tulismenul­is, Lalu menolak. Dia sudah membulatka­n tekadnya untuk menyelesai­kan skripsi. Sayangnya, sang ayah lebih dahulu meninggal dunia pada Januari 2014. Ketika itu, Lalu baru saja merampungk­an skripsinya dan akan mendaftar sidang. ’’Satu-satunya alasan saya menyelesai­kan kuliah itu hanya untuk Bapak. Itu hadiah terakhir saya untuk Bapak,’’ ungkapnya.

Bagi dia, tidak ada yang perlu disesali. Pengalaman terjun di dunia tulis-menulis membuahkan banyak bekal. Lalu yakin, orang tuanya di alam lain sekarang pasti bangga melihatnya. Sebab, Lalu berhasil mewujudkan impiannya sejak SMP, yakni menjadi penulis. Di sisi lain, dia juga berhasil bergelar sarjana. Tapi, Lalu tidak mau cepat puas. Dia masih punya impian lain. Misalnya, menjadi travel writer skala internasio­nal. Lalu tidak hanya ingin menulis perjalanan­nya di Indonesia. Dia juga ingin punya pengalaman traveling ke luar negeri dan menjadikan­nya sebuah buku traveling seperti yang biasa dikerjakan­nya. (*/c7/oni)

’’

 ?? DIPTA WAHYU/JAWA POS ?? book fair.
DIPTA WAHYU/JAWA POS book fair.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia