Mantan Atlet Tenis Nasional
TAIWAN King of the Mountain (KOM) Challenge benar-benar tantangan yang menggiurkan. Makin tahun makin bergengsi. Walau bukan lomba resmi UCI, makin banyak bintang dunia yang ikut serta.
Tantangannya memang luar biasa. Hanya dalam 105 km, peserta harus melaju nonstop dari nol meter hingga ketinggian 3.275 meter, di titik tertinggi Taiwan yang bisa dicapai dengan mobil.
Dan yang menggiurkan adalah hadiahnya: total uang NTD 2,4 juta atau sekitar Rp 1,1 miliar. Dari jumlah itu, NTD 1 juta atau Rp 450 juta untuk pemenang kategori Men’s Elite.
Nilai itu mendekati total hadiah yang didapatkan pembalap WorldTour ketika memenangi satu etape Tour de France.
Dalam beberapa tahun terakhir, barisan pro yang ikut antara lain Jeremy Roy (FDJ) dan Simon Clarke (Orica-GreenEdge).
Tahun ini, pada 30 Oktober lalu, ada Omar Fraile (Caja Rural). Pembalap asal Spanyol itu adalah pemenang klasifikasi KOM di Vuelta a Espana 2015, September lalu.
Lalu, ada superstar Asia seperti Chun Kai Feng (Taiwan), pembalap tim Lampre-Merida. Plus Lasse Norman (Denmark), pembalap Garmin-Cannondale dan peraih medali emas Olimpiade 2012 di arena velodrom.
Walau lomba internasional, pendaftarannya terbuka untuk umum. Total, tahun ini ada 412 peserta dari 32 negara. Terbagi dalam kategori Elite, 20–30, 30–40, 40–50, dan 50+.
Melihat daftar peserta, ada dua orang Indonesia. Saya sendiri di kategori 30–40 serta Hendra Palisades, usia 20–30, yang membalap untuk Ohio State University di Amerika.
Saya datang bersama temanteman ekspatriat di Indonesia, Alexander Ivakhov (Rusia) dan Maarten van der Horst (Belanda). Mereka ikut kategori usia 40–50.
Kami sadar, peluang kami untuk meraih hadiah sangat kecil. Tapi, itu bukan tujuan utama kami ikut. Tujuan utama adalah merasakan dan menaklukkan tantangan menanjak hingga 3.275 meter di atas permukaan laut. Plus merasakan berlomba bersama para pembalap top dunia.
Walau sudah mengoptimalkan kondisi fisik dengan latihan dan mengatur pola makan, kami masih sempat merasa minder ketika tiba di Hualien City, sehari sebelum lomba. Bagaimana tidak, di hotel resmi lomba, ada begitu banyak orang yang badannya lebih kurus daripada kami!
Pada hari H, kami begitu bersemangat untuk start. Rute 105 km dimulai dengan zona datar dan netral (rombongan dijaga bersama) sepanjang 18 km. Speed dikontrol dengan barikade mobil dan motor dari panitia.
Baru setelah melewati zona netral, lomba dimulai. Mengatur pace/ kecepatan sangatlah penting untuk
menanjaksepertiini. Saya masih bisa mengikuti peloton terdepan di tahap awal tanjakan, yang kemiringannya ”hanya” 3–5 persen.
Pemandangan begitu indah sepanjang Taroko Gorge, plus sensasi melewati sejumlah terowongan membuat kami merasa seperti menanjak di Pegunungan Alps di Eropa.
Saya baru ”copot” dari peloton di km 40. Sasha –sapaan Alexander Ivakhov– lebih apes lagi karena bannya bocor hanya beberapa km setelah zona netral.
Rata-rata kemiringan masih sekitar 4 persen saat mendekati puncak Gunung HeHuan. Sampai km 95, total elevasi sudah mencapai sekitar 2.800 meter.
Sampai di sini, kalau dibandingkan dengan
Bromo 100 Km di Jawa Timur, 5 kilometer (km) terakhir Bromo via Tosari, Pasuruan, terasa lebih berat. Apalagi, antara km 85 ke 89, ada bonus turunan.
Sakitnya event ini dibuat di bagian akhir. Saat mendekati finis, oksigen sudah menipis karena ketinggian. Temperatur juga sudah drop hingga hanya 10 derajat Celsius. Pada 8 km terakhir, tanjakan jadi makin sadis. Miring antara 17 hingga 27 persen!
Dengan paha kanan dan kiri sama-sama kram, saya pun masuk survival mode. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak turun sepeda alias MTB (mari tuntun bike).
Sasha, yang memang climber edan, menyalip saya pada bagian-bagian akhir lomba. Good news, walau ban sempat bocor, dia masih dapat posisi podium (peringkat ketiga) untuk kelompok usia 40–50. Dengan catatan waktu 4 jam 27 menit.
Saya? Setelah disalip dan ditinggal jauh oleh Sasha, alangkah bahagianya perasaan begitu melihat ada bonus turunan lagi hanya 2 km sebelum finis. Setelah itu, pada kilometer terakhir yang rata-rata 12 persen, saya upayakan habis-habisan. Apalagi melihat ada dua orang lain yang masuk dalam kelompok umur saya tidak jauh di depan.
Akhirnya, saya menyalip mereka, masuk finis dengan catatan waktu 4 jam40menit. Setelahfinis, karenakaki sudahkramparah,saya sempatdiam di atas sepeda selama lima menit.
Untung, ada banyak relawan di garis finis yang siap membantu saya turun dari sepeda. Overall, saya finis di urutan ke-103 dari 412 peserta. Dan peringkat ke-20 dari 128 orang di kelompok umur 30–40.
Juara overall? Damien Monier, 33, pembalap Prancis yang tergabung di tim Continental Bridgestone Anchor. Catatan waktunya 3 jam 34 menit. Pada 2010, Monier pernah merebut satu etape di Giro d’Italia.
Di kategori perempuan, Eri Yonamine ( Jepang) merebut juara untuk kali kedua (kali pertama pada 2013) dengan catatan waktu 4 jam 3 menit.
Secara keseluruhan, kami sangat puas karena mampu menuntaskan Taiwan KOM Challenge ini. Salut pula dengan penyelenggara, Taiwan Cyclist Federation dan Taiwan Tourism Bureau.
Kami yakin, event ini ke depan akan makin bergengsi. Saat ini saja, majalah Le Cycle Prancis sudah menyebutnya sebagai satu di antara sepuluh lomba paling bergengsi di muka bumi. Ke depan, jangan heran kalau bintang-bintang terbesar tergoda untuk ikut serta. Siapa tahu, kelak Chris Froome atau Alberto Contador ikut berpartisipasi! (*)
EDO Bawono adalah mantan pemain tenis nasional Indonesia. Sejak umur 14 tahun, Edo berguru selama empat tahun di beberapa kampus tenis di Amerika serta sempat berlatih bersama Serena dan Venus Williams, juga Andy Roddick.
Di usia muda ini, Edo juga sudah tidak asing lagi dengan dunia kompetisi, sempat meraih peringkat dunia junior ITF Top 90 di cabang tunggal serta peringkat pertama nasional di kelompok umur 16 tahun dan 18 tahun untuk cabang tunggal serta ganda. Edo juga terpilih sebagai anggota termuda tim inti nasional Indonesia dan sempat meraih Peringkat Nasional Pelti (PNP) 5 untuk kelas Men’s Open.
Pada 1998, Edo mendapat tawaran beasiswa untuk mewakili tim tenis University of Kentucky di Amerika. Prestasi Edo juga cukup bagus di liga amatir yang pernah melahirkan petenis kondang seperti John McEnroe itu. Selain mendapatkan gelar S-1 dan S-2 di jurusan bisnis, Edo mengakhiri karir tenisnya dengan meraih peringkat ke-25 di NCAA Division 1 Men’s Singles pada 2001.
Sembilan tahun dan 20 kilogram kemudian, Edo pulang ke Indonesia. Karena dan mengalami beberapa masalah sendi di kaki, pria kelahiran Jakarta, 24 Desember 1977, itu sulit untuk bermain tenis lagi. Oleh seorang teman lama, dia direkomendasikan untuk bersepeda. Dari sinilah kecintaannya terhadap dunia sepeda terbentuk.
Hampir lima tahun setelah mulai bersepeda, Edo telah menurunkan berat badan hingga 22 kg. Banyak persahabatan baru terjalin serta dia bisa menikmati balapan dan jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri bersama teman-teman bersepeda. (*)